- Detail
- Dilihat: 9391
Jakarta - Sejumlah pihak amat berharap akan keberadaan payung hukum yang melarang iklan rokok. Harapan ini sempat membuncah tatkala muncul butir larangan iklan rokok dalam draf revisi UU Penyiaran yang tengah digodok DPR. Namun belakangan diketahui larangan tersebut urung dicantumkan.
Jika disetujui, draf ini akan menggantikan UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran karena mengikuti perkembangan hukum dan norma terbaru. Sebenarnya, pelarangan iklan rokok secara menyeluruh sudah dimuat dalam draft awal revisi UU yang disiapkan oleh Komisi I DPR.
Namun menurut Direktur Eksekutif Lentera Anak, Hery Chariansyah, ketika draft RUU ini masuk dalam pembahasan di Badan Legislatif (Baleg) DPR sekitar bulan Oktober 2012, terjadi perubahan norma. "Yang awalnya melarang (iklan rokok) menjadi pembatasan. Sehingga tidak berbeda dengan norma pada UU Penyiaran yang lama," kata Hery dalam acara Media Briefing Menyoal Isu Iklan Rokok dalam RUU Penyiaran yang diselenggarakan di Yayasan Kanker Indonesia, Jl Dr. Sam Ratulangi No.35, Jakarta Pusat, Kamis, 4 Juli 2013.
Hal tersebut disampaikan Hery berdasar salinan draf revisi UU Penyiaran yang diperolehnya.
Menanggapi hal itu, Kartono Muhammad, ketua Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) menyebut Baleg tidak konsisten. "Apalagi Undang-undang Kesehatan menyatakan bahwa rokok itu adiktif," kata Kartono.
Pemerintah sebelumnya telah melakukan pembatasan iklan rokok, yaitu hanya membolehkan penayangannya di media penyiaran mulai pukul 21.30 sampai 05.00. Tujuannya untuk memberi perlindungan kepada anak-anak, dengan asumsi anak-anak sudah tertidur pada jam-jam tersebut.
Sayangnya, pembatasan jam penayangan tersebut dirasa tidak efektif. Global Youth Tobacco Survey tahun 2006 menunjukkan bahwa 83 persen anak dan remaja melihat iklan rokok di televisi. Demikian juga hasil penelitian Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2007 yang menemukan bahwa 99,7 persen anak-anak melihat iklan rokok di televisi.
"Kalau alasannya karena belum ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa rokok boleh diiklankan, itu kan sebelum ada UU Kesehatan. Sekarang sudah ada keputusan MK bahwa rokok adalah zat adiktif, jadi harusnya diikuti," tegas Kartono.
Sebelumnya, uji materi mengenai pasal 113 dan 116 Undang-undang Kesehatan mengenai tembakau sebagai zat adiktif telah ditolak oleh MK. Dengan demikian, tembakau tetap digolongkan sebagai zat adiktif. Kartono lantas menyoroti bahwa berbagai zat adiktif lain di Indonesia sudah dilarang iklannya, kecuali rokok.
"Mengapa industri miras dan susu formula dilarang beriklan, tetapi rokok tidak? Padahal susu formula saja bukan zat adiktif. Mengapa Badan Legislatif mengurusi iklan rokok? Mengapa rokok diistimewakan dalam hal ini?" ucap Kartono mempertanyakan. Red dari detikhealth