Jakarta – Media penyiaran berperan penting dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) mendatang. Menyajikan informasi yang adil, proporsional, menyehatkan sekaligus menyejukan adalah bagian dari peran itu. Hal ini selaras dengan amanah yang dituangkan dalam Undang-Undang (UU) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, serta kontrol dan perekat sosial. 

Terkait hal ini, Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Amin Shabana mengatakan KPI hadir dalam tugas dan fungsinya sebagai pengawas konten siaran pasca tayang dan dipastikan tidak menghambat industri kreatif. Adanya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), lanjutnya, adalah acuan dalam memproduksi produk siaran yang sehat sekaligus mendidik masyarakat. 

“P3SPS adalah rambu–rambu untuk industri, salah satunya perlindungan terhadap publik. Mengajak lembaga penyiaran yang kreatif untuk mengutamakan kepentingan publik, tidak untuk kepentingan tertentu,” kata Amin saat menjadi narasumber dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Direktorat Politik dan Komunikasi Bappenas di Jakarta, (25/10/2023).

Amin juga menerangkan, KPI secara langsung melakukan pengamatan terhadap program siaran dengan hasil analisa dari tim pemantauan KPI. Mengukur kualitas program siaran bukanlah sebuah pekerjaan mudah bagi KPI. Salah satu yang menjadi program prioritas nasional adalah Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) dengan melibatkan 12 perguruan tinggi se-Indonesia. 

Menurutnya, berdasarkan data hasil IKPSTV tahun 2022, ada dua program siaran televisi yang masih di bawah standar kualitas 3,00 yang ditetapkan KPI yakni sinetron dan infotaimen. “Hasil IKPSTV secara umum tahun 2022 hasilnya 3,20 standar tetapi dari 8 kategori belum semua kategori aman atau berkualitas. Kategori sinteron dan infotaimen selama 3 tahun ini masih dibawah 3,00,” katanya. 

Pada kesempatan itu, Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana mengatakan, dunia penyiaran hari ini didominasi tayangan entertainmen dan sinetron. Hal ini berbanding kecil dengan kategori acara berita. Menyikapi pemilu, dia melihat maraknya temuan efektivitas media untuk berkampanye. 

“Pers yang dipersepsikan sebagai pilar ke empat demokrasi seharusnya memiliki porsi yang lebih dibandingkan dengan kategori tayangan hiburan. Secara undang-undang pun, pers memiliki velue of freedom yang terukur, bertanggung jawab dan berada dilingkungan demokrasi,” tegas Yadi.

Berdasarkan data hasil temuannya, jika di rata-rata tiap pasangan calon yang mengikuti pemilu dengan berbagai tingkatan minimal memiliki 1 media online. Yadi melihat para peserta calon pemilu mendirikan atau membeli sebuah media sebagai sebuah cara yang efektif namun memiliki resiko besar ketika media itu terbengkalai setelah kontestasi. “Hampir setiap paslon ketika ikut pemilu memiliki minimal 1 media online,” katanya.

Dalam acara ini, turut hadir Direktur Komunikasi dan Politik Bappenas, Astri Mayasari, Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, Sekretaris Jenderal ATVSI, Gilang Iskandar. Syahrullah

 

 

Jakarta - Perpustakaan Nasional melakukan kegiatan pemantauan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Dalam kesempatan tersebut, Sekretaris KPI Pusat Umri menyampaikan, hingga saat ini KPI masih menerbitkan buku atau monograf terkait isu-isu penyiaran yang aktual. Sebagian besar buku-buku tersebut merupakan kolaborasi dengan kalangan akademisi di 12 perguruan tinggi di 12 kota besar di Indonesia yang menjadi pelaksanan kegiatan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV). Selain itu, KPI juga punya Newsletter yang terbit berkala setiap dua bulan. Newsletter Penyiaran Kita merupakan produk kehumasan KPI yang juga menjadi bentuk pertanggungjawaban KPI kepada publik. Hal ini disampaikan Umri saat menerima kehadiran Perpustakaan Nasional di kantor KPI Pusat, (24/10). 

Catur Fitri Widyawati selaku Pengelola Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam Perpustakaan Nasional menyampaikan, berdasarkan undang-undang, karya rekam dan karya cetak yang dimiliki kementerian dan lembaga harus diserahkan pada Perpustakaan Nasional sebanyak dua eksemplar. Peruntukannya adalah satu eksemplar untuk bagian layanan publik di gedung yang ada di Merdeka Selatan. Sedangkan yang satu lagi disimpan di gedung yang ada di Salemba. Koleksi ini sendiri, ujar Catur, diperlakukan secara khusus. “Tidak dapat diakses langsung oleh publik,” ujarnya. Berbeda dengan koleksi cetak yang biasa, koleksi dari serah simpan karya cetak ini hanya dapat diakses oleh pemustaka. Jika tidak ditemukan di Perpustakaan Nasional yang ada di Merdeka Selatan, baru bisa diakses lewat koleksi yang ada di Salemba. 

Pada prinsipnya, ujar Catur, Perpustakaan Nasional memiliki semangat melestarikan karya anak bangsa. Untuk itu, pemantauan yang dilakukan sekarang untuk menjaga dan melestarikan semua karya cetak dan karya rekam yang sudah diterbitkan, baik cetak ataupun digital. 

Dalam kesempatan tersebut, hadir pula Mauludi Rachman selaku Sub Koordinator Humas dan Kerja Sama KPI Pusat yang menjadi penanggungjawab dalam setiap karya cetak. Pada pertemuan tersebut, Mauludi menyampaikan pula bahwa KPI memiliki saluran media sosial yang menyiarkan video dan juga liputan langsung kegiatan KPI. “Apakah konten tersebut juga terkena kewajiban untuk diserahkan karya rekamnya pada Perpustakaan Nasional?” tanya Mauludi. 

Menjawab pertanyaan tersebut, Maria Nurmala Sari selaku Pustakawan Ahli Pertama mengungkap Perpustakaan Nasional sudah memiliki meta data dari akun media sosial yang memuat video dan juga siaran langsung dari kementerian dan lembaga. “Dengan demikian, sudah tidak ada kewajiban bagi KPI untuk menyerahkan rekaman videonya,” ujar Maria. 

Lebih jauh Maria menjelaskan, untuk karya rekam seperti film dokumenter yang juga dapat diakses oleh publik, harus diserahkan kopi siarnya pada Perpustakaan Nasional. Dalam kesempatan tersebut, dilakukan pula simulasi penggunaan aplikasi e-deposit untuk karya rekam dan karya siar yang berbentuk digital. 

Maria juga menyampaikan, penyerahan karya rekam merupakan kewajiban dari lembaga yang memproduksi. Karenanya, terkait dengan pemantauan langsung yang dilakukan KPI, maka kewajiban serah simpan ada di lembaga penyiaran. Namun, tambah Maria, jika KPI melakukan kemas ulang atas konten-konten pemantauan yang kemudian dapat diakses pada publik, maka karya rekam tersebut harus diserahkan pada Perpustakaan Nasional. Hal ini disampaikannya merespon rencana KPI yang disampaikan Umri untuk melakukan kemas ulang informasi berdasarkan rekaman pemantauan yang dimiliki KPI.  

 

 

Jakarta – Semangat dari hadirnya peraturan daerah (perda) tentang penyiaran adalah membentuk penyiaran yang selaras dengan keinginan daerah tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya pengembangan dan pemberdayaan potensi yang ada di daerah diataranya sumber daya alam dan sumber daya manusia (SDM).

Hal itu disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Ubaidillah, saat menerima kunjungan kerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dan Dinas Komunikasi dan Informatika (Disinfokom) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) di Kantor KPI Pusat, Jumat (20/10/2023). Kunjungan ini dalam rangka konsultasi rencana pembentukan perda tentang penyiaran di Kalsel.

Dia menjelaskan keberadaan perda ini akan ikut menguatkan penerapan aturan 10% siaran lokal di lembaga penyiaran (induk jaringan). Hal ini tentunya mendorong tumbuhnya konten lokal yang sejalan dengan konsep berjaringan. “Jadi produksi kontennya dilakukan di daerah, dikerjakan oleh SDM daerah, dan programnya disiarkan pada jam produktif,” ujar Ubaidillah.

Perda ini juga penting di tengah makin berkembangnya teknologi komunikasi dan penyiaran. Terlebih lagi hingga saat ini RUU Penyiaran belum selesai. “Perda ini bisa jadi payung. Apalagi sekarang ini sudah ada platform lain. Belum lagi soal iklan di lokal. Dalam konteks menumbuhkan konten lokal alangkah baiknya iklan tersebut di iklankan di siaran lokal,” tambah Ubaidillah yang mengatakan baru Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang sudah memiliki perda tentang penyiaran. 

Sementara itu, Anggota KPI Pusat, I Made Sunarsa, menyatakan dukungan hadirnya perda penyiaran di Kalsel. Menurutnya, aturan ini akan menguatkan peran daerah dalam penyiaran. Hal ini sejalan dengan upaya mencerdaskan masyarakat melalui penyiaran. 

“Tujuannya adalah untuk menjamin hak masyarakat mendapatkan informasi, mendorong iklim penyiaran, membuat keseimbangan dan pemerataan, hingga mendorong meningkatkan sumber daya manusia penyiaran,” jelas Koordinator bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.

Sebelumnya, Ketua Pansus Perda DPRD Provinsi Kalsel, Fahruri menyampaikan, pihaknya ingin mendapat banyak masukan dan pendapat terkait rencana pembentukan Perda Penyiaran di Kalsel. “Kami sudah menemui berbagai pihak. Intinya, kami ingin menguatkan peran daerah dalam penyiaran,” katanya.

Menurut salah satu Anggota DPRD yang ikut hadir dalam pertemuan, adanya perda ini akan mengawal proses penayangan konten lokal di daerah. Sehingga lembaga penyiaran yang bersiaran di daerah akan memenuhi kewajiban tersebut secara baik dan benar. 

“Konten lokalnya hanya mengulang-ulang saja. Tidak ada konten lokal yang baru sehingga potensi yang kami miliki tidak terkondisikan dari dalam isi siaran. Padahal di Kalsel sangat banyak potensi termasuk SDM lokalnya,” lanjutnya.

Dia berharap hadirnya perda ini akan mendorong peran aktif masyarakat Kalsel dalam mengawal siaran di daerahnya. “Ruang relasi dengan publik harus dikuatkan agar berperan aktif. Ini salah satu spirit dari akan dibentuknya perda,” tandasnya. ***/Foto: Agung R

 

 

Bandung – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tengah menyusun Peraturan KPI tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pelanggaran Isi Siaran. PKPI ini akan menerapkan penjatuhan sanksi administratif berupa denda kepada lembaga penyiaran yang melanggar. 

Penerapan sanksi denda ini bagian dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No.43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatik (Kemenkominfo). 

Menurut Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta pihaknya untuk segera menyusun peraturan berkaitan dengan sanksi denda. Sanksi ini bagian dari pelaksanaan dari PP No.43 yang telah dikeluarkan Kemenkominfo beberapa waktu lalu. 

“Waktu kami tidak lama untuk diminta membuat peraturan ini. Kami juga mengapresiasi untuk teman-teman periode sebelumnya yang sudah menggarap dan mengusulkan terkait sanksi denda ini,” katanya saat membuka kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pelanggaran Isi Siaran, Sabtu (21/10/2023) di Bandung, Jawa Barat.

Pembahasan soal sanksi denda sebenarnya telah jauh hari dikerjakan KPI bersama-sama Kemenkeu, Kemenkominfo dan stakeholder terkait. Hingga pada akhirnya Pemerintah cq Kemenkominfo mengeluarkan PP No.43  tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kemenkominfo.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, rencana ini disambut baik Pakar Hukum dari Universitas Hasanuddin Makassar (Unhas) Judhariksawan. Menurutnya, sanksi denda akan membuat KPI punya kekuatan baru dalam mengatur lembaga penyiaran. “KPI jadi punya senjata baru untuk menertibkan lembaga penyiaran agar berhati-hati dalam menampilkan tayangan di frekuensi publik,” kata Ketua KPI Pusat Periode 2013-2016. 

Namun begitu, sambung Judha, adanya sanksi administratif denda ini jangan dianggap sebagai bentuk tekanan terhadap lembaga penyiaran. Konteks dari sanksi ini lebih mengedepankan koreksi atau pencegahan terhadap pelanggaran siaran.   

“Kita harus menyampaikan kepada stakeholder terkait rencana ini bahwa denda administratif bukan dalam konteks balas dendam, namun lebih kepada korektif atau pencegahan. Sifatnya menjadi pengingat bahwa ada hal-hal yang sifatnya bisa mereka terima sebagai sebuah sanksi namun untuk mencegah,” jelas Judhariksawan.  

Dengan adanya PP No.43 ini KPI membutuhkan adanya PKPI baru. Sayangnya, ujar Judha, batas waktunya sangat ketat. Pasalnya, mekanisme keluarnya peraturan KPI memiliki hukum acara sendiri yakni melalui persetujuan dalam Rapat Koodinasi Nasional (Rakornas) KPI. 

“Saran dari saya, kita bisa mengamandemen ini dan bisa dilakukan Rakornas khusus melalui daring untuk mengubah 1 pasal. Isinya semua hal yang diwajibkan pada PNBP ini adalah indeks pelanggaran tadi,” usul Judha. 

Perlu segeranya KPI membuat aturan turunan teknis terkait sanksi denda ini turut disampaikan Irsal Ambia. Menurutnya, aturan ini akan melengkapi PKPI yang sudah dibuat KPI. 

Kendati demikian, lanjut Anggota KPI Pusat Periode 2019-2022, KPI harus membuat besaran angka dendanya. “Ini yang perlu kita buat. Perlu dilakukan besaran indeks diseluruh pelanggaran yang ada,” katanya.  

Selain itu, Irsal menekankan agar penyusunan PKPI ini berurutan dimulai dari pengawasan konten. Pasalnya, proses ini berujung di penetapan denda. “Maka kita harus memastikan pengawasan yang dilakukan bisa dipertanggungjawabkan. Kita harus melakukan pengawasan berdasarkan SOP serta terbuka untuk publik,” pintanya.

Irsal juga menegaskan penerapan sanksi ini jangan dipandang sebagai pemasukan, Menurutnya, mekanisme denda ini dilihat sebagai instrumen yang mendorong pengembangan kualitas siaran. 

Perwakilan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kemenkeu Anas menjelaskan, adanya jenis PNBP denda dalam PP No.43 mengharuskan KPI untuk mengelolanya. Karena itu, dia mengingatkan agar pengeloaannya dilakukan dengan benar. “Dampak jika mengelola tidak tepat ada pelanggaran oleh karena itu kita harus berhati-hati dalam mengelola PNBP,” ujarnya sekaligus menambahkan proses penetapan penentuan tarif PNBP cukup Panjang.

Sementara itu, Ketua KPID Jabar Adiyana Slamet meminta adanya pelibatan lembaga penyiaran dalam pembahasan. “Ada beberapa asosiasi yang berdiskusi tentang PP No. 43 tahun 2023 karena dendanya cukup besar,” tutupnya.

Dalam diskusi ini, hadir Anggota KPI Pusat Muhammad Hasrul Hasan, Aliyah, Tulus Santoso, Evri Rizqi Monarshi, dan I Made Sunarsa. Turut hadir Anggota KPID dari sejumlah provinsi. ***/Foto: Teddy

 

 

 

Depok - Salah satu sebab internet lebih disukai publik saat ini adalah ketersediaan informasi yang dirasakan lebih cepat dibanding televisi dan radio. Meski tingkat akurasi dari media yang berbasiskan internet belum dapat dipastikan, namun tingkat kecepatan inilah yang juga menjadi penyebab generasi Z lebih senang mengaksesnya dibandingkan lembaga penyiaran. Pernyataan ini mengemuka dalam kuliah umum yang diselenggarakan program Vokasi Kehumasan Universitas Indonesia dengan dosen tamu anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Amin Shabana, (19/10). 

Pada kesempatan ini Amin menjelaskan perbedaan kerja di lembaga penyiaran seperti televisi dan radio, dengan media-media yang berbasiskan internet dan juga media sosial yang bertumpukan pada konten pengguna. “Jurnalis di televisi dan radio memiliki kewajiban melakukan check and recheck terhadap semua konten yang disampaikan pada publik,” ujarnya. Hal ini untuk memastikan berita atau informasi yang disajikan sudah dipastikan validitas atau faktualitasnya. Dalam televisi dan radio juga ada ruang redaksi dengan mekanisme kurasi untuk menjaga konten tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik. “Inilah yang membedakan dengan informasi yang kita dapat di media sosial, saat semua orang bisa menyampaikan kepada dunia informasi apapun juga,” terangnya. 

Kepada mahasiswa vokasi, Amin juga menjelaskan prinsip komunikasi publik yang dilakukan KPI Pusat dalam setiap saluran komunikasi yang dimiliki. Hingga saat ini, ujarnya, ada media sosial, website, dan juga newsletter KPI yang menjadi sarana komunikasi kepada publik sebagai stakeholder utama lembaga ini. Seluruh konten di media KPI merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada publik tentang kinerja KPI sebagai regulator penyiaran. “Termasuk setiap sanksi yang dijatuhkan KPI kepada lembaga penyiaran, pasti dimuat di media sosial dan juga website KPI,” terang Amin. 

Beberapa fakta diungkap Amin kepada mahasiswa, terkait tugas pokok dan fungsi KPI. “Yang jelas KPI tidak menyensor”, terangnya. KPI membuat pedoman tentang prinsip-prinsip yang harus diikuti lembaga penyiaran dalam menyiarkan konten ke tengah publik, yakni Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS).

Menjawab pertanyaan mahasiswa tentang sepinya pemberitaan terkait kepentingan publik di televisi, Amin menjelaskan bahwa KPI tidak pernah melakukan pelarangan terkait suatu konten kepada lembaga penyiaran. KPI sangat menghormati prinsip kebebasan pers, ujarnya. Jadi kalau ada kondisi seperti yang disampaikan tadi, yang harus ditanyakan adalah redaksi dan lembaga penyiaran yang bersangkutan. 

Pertanyaan lain yang disampaikan mahasiswa adalah soal konten televisi yang sarat dengan kesia-siaan dan tidak bermanfaat. Jikalau KPI berkepentingan untuk mengajak publik kembali menonton televisi, menurut mahasiswa, harusnya konten televisi dibenahi dan ditingkatkan kualitasnya. 

Merespon hal ini, Amin menyampaikan program Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) yang dibuat KPI sejak sembilan tahun terakhir. Pada program ini, ada delapan kategori program siaran televisi yang dinilai secara kualitatif oleh para ahli. Amin berharap, mahasiswa segera mencari tahu program-program siaran televisi yang mendapatkan penilaian baik dari KPI. Selain itu, dia juga mengajak mahasiswa untuk ikut mengawal konten siaran televisi dengan terus menyuarakan jika ditemukan nilai-nilai yang tidak layak hadir di ruang publik. Hal ini tentu menjadi bahan bakar juga bagi KPI untuk memaksa lembaga penyiaran terus berbenah diri memperbaiki kualitas siarannya. 

Terakhir, Amin juga menyampaikan agenda KPI dalam mengawal kepentingan publik di Pemilu 2024. KPI memiliki kepentingan untuk memastikan informasi kepemiluan yang hadir di televisi dan radio adil dan berimbang untuk seluruh kandidat dan kontestan Pemilu 2024. Termasuk juga yang menjadi concern KPI adalah informasi tentang seluruh tahapan pemilu yang akan dijalani. “Sehingga seluruh masyarakat termasuk mahasiswa dapat menyalurkan pilihan politiknya berdasarkan informasi yang valid, bukan dari sebaran hoax atau pun ujaran kebencian,” pungkasnya.

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.