Jakarta – Hoax atau berita bohong maupun ujaran kebencian yang seringkali menyebar melalui media sosial adalah akibat freedom of speech yang tidak diimbangi oleh wisdom of speech atau kebebasan berbicara tidak disertai dengan kebijaksanaan dalam berbicara. Hal itu dikatakan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, dalam satu diskusi yang diselenggarakan Forum Jurnalis Anti Hoax (JAH) di salah satu hotel di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (1/11/2018).
Hardly menyatakan, kebebasan berbicara itu harus dikontrol secara hati-hati dengan mengedepankan etika dan norma yang ada. “Saat ini, publik bebas mengeluarkan pendapat dan menyebarkan informasi apapun melalui media sosial tanpa harus ada verifikasi dan validasi. Ini dampaknya berbahaya jika informasi yang disampaikannya tidak benar dan berisikan kebencian,” jelasnya.
Menurutnya, harus ada upaya pencegahan agar kebiasaan meneruskan informasi hoax dan membuat ujaran kebencian hilang yakni dengan meliterasi masyarakat. “Literasi media harus dilakukan secara massif agar publik dapat semakin cerdas dan selektif dalam menerima maupun menyebarkan informasi. Sehingga informasi yang disebarkannya nanti informasi yang benar dan juga bermanfaat,” kata Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat.
Ibarat strategi total football, perlawanan terhadap hoax dan ujaran kebencian tak bisa setengah-tengah, tapi harus total dan juga massif. Upaya itu juga harus didukung banyak sumber daya diantaranya oleh media mainstream seperti lembaga penyiaran.
Harldy menegaskan, keterlibatan lembaga penyiaran dalam meredam informasi hoax yang beredar di media sosial dinilai efektif. Kepercayaan publik terhadap media seperti TV dan Radio, yang menerapkan prinsip jurnalistik, masih tinggi. Dan, salah satu cara menangkal hoax adalah dengan melakukan cek berita pada lembaga penyiaran.
“Untuk melawan hoax, lembaga penyiaran harus senantiasa menyajikan informasi yang akurat dan kredibel,” katanya.
Lembaga penyiaran juga harus berperan menjaga kohesitas sosial, dengan tidak menyebarkan informasi dengan muatan sara apalagi yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Sebaliknya lembaga penyiaran perlu menyampaikan berita yang mampu membangun optismisme publik.
Dalam kesempatan itu, Hardly meminta media mainstream khususnya lembaga penyiaran untuk senantiasa berpedoman pada kode etik jurnalistik dan P3SPS KPI, agar informasi yang disajikan kepada masyarakat berkualitas. ***
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat berfoto bersama Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla usai pertemuan di Kantor Istana Wapres, Kamis (1/11/2018).
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan pertemuan dengan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla di Kantor Istana Wapres, Kamis (1/11/2018). Sejumlah persoalan penyiaran dibahas dalam audiensi yang berlangsung hampir satu jam tersebut.
Di awal pertemuan, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, menyampaikan dinamika penyiaran di tanah air antara lain pelaksanaan desentraliasasi siaran melalui penyediaan konten lokal 10% di televisi berjaringan nasional. Menurutnya, sistem ini harus diawasi secara ketat oleh KPID. Untuk melakukan peran itu, KPID harus diperkuat baik dari sisi penganggaran maupun kebijakan.
“Tapi disini ada masalah karena benturan antara UU Pemerintah Daerah dan UU Penyiaran. Sehingga hal ini menyulitkan KPID untuk bekerja. KPID jadi sangat tergantung dari pemimpin pemerintah daerahnya,” kata Andre ke Wapres.
Soal iklan layanan masyarakat (ILM) juga menjadi perhatian dalam pertemuan ini. KPI menyampaikan ke Wapres usulan agar setiap lembaga dan instansi pemerintah membuat ILM yang menyosialisasikan agenda pesta demokarasi tahun 2019. ILM ini sangat penting khususnya untuk masyarakat di perbatasan yang banyak dibanjiri siaran asing.
“Berkaitan dengan informasi Pemilu di daerah perbatasan. Hal ini perlu ada sinergi seluruh lembaga untuk menyampaikan ILM terkait informasi ini ke daerah perbatasan,” kata Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, di pertemuan itu.
Persoalan rating share yang menyebabkan konten menjadi seragam dan menyebabkan kualitas program tidak berkembang turut disampaikan ke Wapres. Terkait hal itu, Wapres diberirahu jika KPI telah melakukan survey indeks yang kontradiksi dengan rating share yang sudah ada. “Ada perbedaan pendapat dan keinginan dari setiap daerah terhadap siaran televisi dari survei di 12 kota yang kami lakukan pak,” tambah Ketua KPI Pusat.
Menurut Andre, panggilan akrabnya, permasalahan rating di Indonesia harus ada regulasi yang mengatur seperti di Amerika Serikat. FCC, lembaga semacam KPI di AS, bisa melakukan audit terhadap lembaga rating di sana. Sedangkan kita, kebijakan ini tidak bisa dilakukan. “UU Penyiaran yang baru nanti diharapkan dapat mengakomodasinya,” katanya ke Wapres.
Dalam kesempatan itu, KPI melaporkan perkembangan broadcasting di internet yang makin massif. Menurut Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, hal ini perlu diawasi dan harus segera memiliki paying hukum alias regulasi.
“Ada kecenderungan sekarang industri di dunia dan Asia khususnya sudah masuk ke teknologi over the top. Sayangnya, kita masih kita masih berkecimpung di free to air. Ini harus jadi pemikiran dan perlu ada regulasi karena Indonesia yang belum,” jelas Hardly.
Dia menjelaskan, konten di internet sangat bebas tanpa ada sensor dan lainnya. Pengaturan internet di Indonesia masih tergantung kepada UU ITE. Padahal ada kegiatan broadcasting di dalamnya. “Ke depan, harus ada pengawasan dan KPI bisa atur itu tapi harus ada UU nya dulu. Masyarakt kita nikmati hal ini, tapi tidak ada UU sehingga kita tidak bisa melindungi industri kita. Kita bisa melindungi masyarakat jika sudah dan aturan itu,” terang Hardly.
Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla, meminta KPI untuk bertindak tegas jika ada pelanggaran terhadap aturan penyiaran. Selain itu, Wapres mengakui jika perkembang tekonolgi tidak diimbangi dengan regulasi yang memadai. “Teknologi sekarang tanpa batas. Undang-undang selalu ketinggalan. Seharusnya UU itu fleksibel dan terbuka terhadap semua perubahan,” katanya.
Wapres juga menceritakan bagaimana seumur hidupnya belum pernah menonton sinteron sampai habis. Menurutnya, yang paling dari konten itu harus sesuai dengan etika, moral, nilai agama dan aturan yang berlaku. ***
Pontianak – Masyarakat Pontianak meminta agar konten lokal yang disiarkan Stasiun TV Jaringan lebih dari dua jam penayangan. Alasannya, banyak potensi di daerah yang belum terpublikasikan dengan baik. Mulai dari potensi wisata, kebudayaan, prestasi daerah dan kehidupan bermasyarakat di daerah.
Permintaan tersebut mengemuka dalam kegiatan Literasi Media KPI Pusat bersama Anggota Komisi I DPR RI di Ruang Khatulistiwa Hotel Aston Jalan Gajah Mada Kota Pontianak Kalimantan Barat, Jumat lalu (26/10/2018). Hadir dalam kegiatan tersebut sebagai narasumber yakni Biem T. Benjamin (Anggota Komisi I DPR RI), Mayong Suryo Laksono (Komisioner KPI Pusat) dan Netty Herawati (Akademisi Universitas Tanjungpura Pontianak).
Ari, seorang pekerja di salah satu radio di Pontianak merasa prihatin. Pasalnya, selama ini dirinya merasa belum puas dengan tayangan siaran televisi lokal yang ada di wilayahnya. Banyak potensi daerah yang belum terekspose pada tayangan lokal. Hal senada diungkapkan oleh Fauziah, aktivis Partai Gerindra Kalimantan Barat. “Potensi wisata saja belum semuanya terekspose, belum lagi kuliner Kalimantan Barat yang sangat beragam,” katanya geram.
Komisioner KPI Pusat Mayong Suryo Laksono yang mendapatkan kesempatan pertama menyampaikan tentang frekuensi yang digunakan oleh Lembaga Penyiaran adalah milik masyarakat yang dikelola oleh negara dan pemerintah. Frekuensi yang digunakan TV dan Radio sifatnya menyewa kepada pengelola yakni pemerintah. Oleh karenanya, Lembaga Penyiaran tidak serta merta memiliki sarana tersebut sebagian atau sepenuhnya.
“Masyarakat perlu mengetahui bahwa frekuensi yang digunakan TV dan radio pada prinsipnya bukan milik mereka. Televisi dan radio hanya menyewa frekuensi tersebut. Jadi bijaklah dalam menggunakannya. Siarkanlah program-program yang bermanfaat untuk masyarakat,” katanya.
Mayong Suryo Laksono dalam kesempatan tersebut juga menyampaikan hasil survey indeks kualitas program siaran televisi kedua tahun 2018. Survei kedua tersebut dilaksanakan pada bulan Juni 2018. Hasilnya, indeks kualitas program siaran televisi tahap kedua naik tipis 3 poin, dari 2,84 pada tahap pertama (Maret-April) menjadi 2,87. “Program siaran yang berada di atas batas berkualitas adalah wisata budaya, talkshow, religi dan berita,” katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI Biem Triani Benjamin menyoroti tentang fungsi media penyiaran yang semakin tergerus. Menurutnya, sesuai dengan amanat UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, fungsi media adalah memberikan informasi, memberikan pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol sosial, ekonomi serta menampilkan kebudayaan lokal.
“Semua fungsi tersebut terdegradasi kecuali hanya memberikan hiburan. Itu pun hiburannya tidak sehat. Saling membully satu sama lain. Belum lagi maraknya berita hoax,” ungkap anak tokoh betawi legendaris Benyamin S.
Kedua, Biem mengungkapkan, makin meningkatnya jumlah media membuat kue iklan televisi dan radio turun sejak 10 tahun belakangan. “Meski APBD dan APBN konsisten naik, tapi penyerapan belanja iklan di media penyiaran masih minim,” kata Biem. Sehingga, lanjut Biem, media yang tidak sehat berdampak pada penurunan kualitas.
Netty Herawati, akademisi Universitas Tanjungpura Pontianak menyampaikan tentang pengaruh konten siaran. Menurutnya, saat ini penetrasi media di negara berkembang masih 90%, termasuk Indonesia. Oleh karenanya, mau tidak mau, televisi digunakan sebagai alat propaganda terpenting untuk mempengaruhi khalayak banyak.
“Makanya, masyarakat sebagai objek televisi mesti memiliki kemampuan literasi yang baik. Masyarakat perlu memilih mana tayangan yang diperlukan atau tidak. Masyarakat harus menonton tayangan yang sesuai dengan usianya,” ungkap Netty.
Literasi Media di Pontianak dihadiri oleh 120 orang yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan dan masyarakat umum di sekitar Kota Pontianak. Selain di Pontianak, Literasi juga serentak dilaksanakan di kota lainnya seperti di Semarang, Ambon, Padang, Tuban, dan Medan. Cup
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidillah.
Badung - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidillah, mengingatkan lembaga penyiaran baik radio ataupun televisi untuk aktif melakukan sosialisasi pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 2019, salah satunya melalui bentuk iklan layanan masyarakat (ILM).
Sebagai pengguna frekuensi publik, lembaga penyiaran memiliki kewajiban untuk memberikan informasi dan mengedukasi publik mengenai pelaksanaan pemilu.
Hal tersebut diungkapkan Ubaidilah disela-sela kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Panel Ahli terkait survei indeks kualitas program siaran televisi tahun 2018 wilayah Bali di Badung pada Rabu, (31/10).
Menurut Ubaidillah, Sosialisasi melalui media penyiaran menjadi sangat penting karena hampir semua masyarakat memiliki televisi dan radio di rumah. Harapannya semakin banyak masyarakat yang teredukasi dengan ILM maka kualitas demokrasi kedepan juga menghasilkan pemimpin yang semakin baik.
“Karena itu sudah mandatory undang-undang (Undang-Undang 32 Tahun 2002 tentang penyiaran), 20 persen dari iklan niaga yang diatur oleh undang-undang, 10 persennya iklan layanan masyarakat dan kami minta penayanganya juga di jam-jam produktif, sehingga masyarakat juga teredukasi,“ ujar Ubaidillah.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran disebutkan bahwa “iklan layanan masyarakat (ILM) adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut”.
Dampak penayangan ILM terhadap perubahan pola pikir masyarakat sudah terbukti sejak lama. Melalui ILM lembaga penyiaran memiliki peran dalam menggerakkan masyarakat untuk melakukan perbaikan.
Jika dicermati dari segi tujuan, ILM merupakan kampanye sosial yang bertujuan menawarkan ide atau pemikiran untuk kepentingan layanan masyarakat umum. Mengingat ILM berisi pesan ajakan kepada masyarakat untuk melakukan suatu aksi untuk kepentingan umum.
Ubaidillah menegaskan tidak ada alasan keterbatasan alat dan sumber daya manusia untuk tidak menayangkan ILM, karena ketika pengajuan ijin sebagai lembaga penyiaran seharusnya sudah siap.
“Lembaga penyiaran juga diharapkan tidak mencari-cari alasan, kewajiban mereka sebagai lembaga penyiaran harus sudah siap dengan SDM dan peralatan. Kalau itu terjadi kami minta KPID mengevaluasi ijin lembaga penyiaran tersebut, sebagai lembaga penyiaran harusnya sudah siap,” tegas Ubaidillah.
Ubaidillah mengakui selama ini penayangan ILM di lembaga penyiaran secara umum masih sangat minim. ILM juga cenderung di tayangkan pada jam-jam dengan jumlah penonton yang minim dan bukan di prime time.
Berdasarkan hasil survey uji petik yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Bali pada 2014 terhadap 15 radio menunjukkan hanya 5 radio yang memproduksi ILM sendiri. Sedangkan radio lainnya menayangkan ILM milik lembaga atau instansi lain.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali Dewa Agung Gede Lidartawan mengakui sampai saat ini belum ada melihat adanya penayangan ILM oleh lembaga penyiaran di Bali. Semestinya ada rasa tanggungjawab dari lembaga penyiaran untuk menyiarkan dan memproduksi sebagai konsekuensi penggunaan frekuensi publik.
"Untuk iklan layanan masyarakat seperti ajakan, himbauan memang sangat kita harapkan, apalagi jika teman-teman mampu melakukannya sebanyak mungkin , sehingga dengan semakin banyaknya iklan layanan akan menjaga pemilu itu tetap demokratis tetapi tetap berintegritas,” kata Mantan Ketua KPUD Bangli tersebut.
Lindartawan berharap lembaga penyiaran mampu berperan secara optimal dalam mensukseskan pelaksanaan Pemilu 2019. Dimana melalui ILM lembaga penyiaran pada dasarnya dapat berkontribusi bagi pelaksanaan demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Lindartawan juga berharap KPI mendorong lembaga penyiaran lebih proaktif dan mengambil peran dalam pelaksanaan Pemilu 2019.
Pada sisi lain, Lindartawan menyesalkan sikap lembaga penyiaran yang selama ini cenderung hanya mencari untung. Padahal seharusnya untuk informasi yang sifatnya untuk kepentingan publik diberikan harga khusus dan tidak sama dengan harga iklan komersial.
“Saya sayangkan kemarin diberikan harga yang terlalu tinggi, jangan harga komersial yang diberikan ke kita, jangan terlalu tinggi,” ungkap Lindartawan.
Ketua Bali Sruti Luh Riniti Rahayu menilai wajar jika lembaga penyiaran hingga kini belum mengambil peran melakukan edukasi melalui iklan layanan masyarakat karena cenderung menunggu iklan layanan masyarakat dari penyelenggaran pemilu.
Apalagi selama ini lembaga penyelenggaran pemilu juga cenderung memproduksi iklan layanan masyarakat untuk kepentingan sosialisasi.
“Soalnya iklan seperti itu dibuat juga oleh lembaga penyelenggara pemilu dan berbayar jadi wajar-wajar saja mereka menunggu itu, walaupun menyadari mempunyai kewajiban untuk memproduksi” jelas perempuan yang juga seorang akademisi di Universitas Ngurah Rai Denpasar.
Riniti mengungkapkan terdapat keengganan dari lembaga penyiaran untuk memproduksi ILM, karena tidak ada sanksi bagi lembaga penyiaran.
“Jadi saya kira wajar saja, itu tidak dibuat karena tidak ada sanksi ketika tidak dibuat. Saya kira lebih menguntungkan, ngapain bikin susah-susah , tunggu saja dari KPU, di bayar lagi, daripada bikin sendiri” papar Riniti.
Sedangkan Kepala Biro INews Bali Lutfi Setiawan mengakui belum memproduksi dan menayangkan iklan layanan masyarakat karena belum ada surat edaran dari KPI. Apalagi umumnya lembaga penyiaran baru akan memproduksi jika sudah ada seruan dari KPI.
“Biasanya akan membuat kalau ada surat edaran, sekarang belum ada, jadi kita sifatnya masih nunggu,” ujar Lutfi.
Permasalahan lainnya yang menjadi kendala bagi lembaga penyiaran, khususnya yang di daerah adalah keterbatasan jam tayang. Mengingat lembaga penyiaran yang berjariungan di daerah memiliki waktu siaran yang terbatas dan siarannya lebih banyak merelay dari induk jaringan yang ada di Jakarta.
“Kita siaran lokal Cuma 2,5 jam, jadi terbatas. Sebenarnya bisa membuat ILM, tergantung kreativitas, tapi tetap menunggu komando pusat. Ketika lampu hijau baru kita produksi,” kata Lutfi.
Penayangan ILM merupakan sebuah kewajiban bagi lembaga penyiaran sesuai aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 46 ayat (7). Pada ayat (9) disebutkan “waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 persen dari siaran iklanya.
Dalam Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) bahkan terdapat aturan terkait penayangan ILM secara cuma-cuma. Pasal 44 ayat (4) P3 menyebutkan lembaga penyiaran wajib menyediakan slot iklan secara cuma-cuma sekurang-kurangnya 50 persen dari seluruh siaran iklan layanan masyarakat per-hari untuk iklan layanan masyarakat yang berisi : keselamatan umum, kewaspadaan pada bencana alam, dan/atau kesehatan masyarakat, yang disampaikan oleh badan-badan publik.
Khusus untuk ILM yang berasal dari lembaga pemerintah atau institusi sosial lembaga penyiaran wajib memberikan potongan harga sekurang-kurangnya 50 persen dari harga siaran iklan niaga, sesuai ketentuan dalam pasal 44 ayat (5) P3.
Tentunya kewajiban-kewajiban tersebut terkait hak masyarakat sebagai pemilik frekuensi untuk mendapatkan informasi dan pendidikan secara cuma-cuma melalui ruang publik di lembaga penyiaran.
Ketentuan pada pasal 44 ayat (4) dan (5) juga memberi amanah bahwa lembaga penyiaran juga wajib memproduksi dan menyiaran ILM, tanpa menunggu adanya permintaan ataupun pesanan dari badan-badan publik.
Pelanggaran terhadap penayangan ILM, baik disengaja atau tidak tentu berujung pada penjatuhan sanksi. Pada aturan Standar Program Siaran (SPS), khususnya pasal 83 menyebutkan lembaga penyiaran swasta yang tidak menyediakan waktu siaran untuk program siaran iklan layanan masyarakat paling sedikit 10 persen dari seluruh waktu siaran iklan niaga perhari, setelah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 2 kali dikenakan sanksi adminitratif berupa denda administratif yang untuk jasa penyiaran radio paling banyak Rp. 100 juta. Sedangkan untuk jasa penyiaran televisi paling banyak Rp. 1 miliar. Red dari BBN
Banjarmasin - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, mengajak masyarakat untuk rasional dalam memilih progran siaran televisi. Hal ini disampaikan dalam gelaran kegiatan Literasi Media di Ruang Meeting Venus, Golden Tulip Galaxy Hotel, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (31/10/2018).
"Ada tanyangan televisi ratingnya bagus, tapi kualitasnya buruk. Nah, ini adalah tugas kita semua untuk memilah siaran," ungkap Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat itu.
"Kuncinya publik musti rasional. Dan, literasi media, upaya KPI untuk mengajak publik rasional," lanjutnya yang disambut tepuk tangan.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPRD Suripno Sumas. Menurutnya, tak jarang terjadi parnomedia. "Peranan kita adalah melakukan kontrol. Tidak hanya pasif. Apakah siaran sudah sesuai dengan nilai dan norma sosial kita," ungkap mantan Ketua KPI Daerah Provinsi Kalsel.
Sri Astuty, Akademisi Universitas Lambung Mangkurat, menegaskan adanya potensi negatif siaran terutama kepada anak-anak. "Imitasi sangat sering terjadi bagi anak-anak, bahkan kita semua. Dan masih kita temukan tayangan yang buruk. Sangat perlu proses pendampingan," Tutur Sri Astuty.
Gelaran acara yang berlangsung sampai jam 16.00 WITA ini dihadiri oleh Sekretaris Daerah Drs. Abdul Haris, sekaligus membuka kegiatan. Hadir juga Komisioner KPI Daerah, mahasiswa dan komunitas-komunitas di Kalsel.
Bahwa Program Siaran Jurnalistik “Primetime News” yang ditayangkan oleh stasiun METRO TV pada tanggal 07 Februari 2022 pukul 18.48 WIB menampilkan pemberitaan terkait “Keji, Guru Dibunuh Saat Hendak Mengajar” di Bandung, Jawa Barat. Dalam pemberitaan tersebut terdapat muatan kata kasar “anjing” yang diucapkan seorang pria pada saat pihak kepolisian berada di sekolahan sebagai lokasi kejadian pembunuhan;