- Detail
- Ditulis oleh Super User
- Dilihat: 197
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menggelar Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD sebagai tindak lanjut masukan draft PKPI tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Denda Pelanggaran Isi Siaran, Rabu (28/8/2024) di Kantor KPI Pusat.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber antara lain Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang diwakili Victor S. Hanamongan, Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Madya, Arnando J.P. Siregar, Kepala Bidang Komunikasi dan Informatika Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Anas Fazri, Kepala Subdit Potensi Penerimaan dan Pengawasan K/L III dan Kepala Seksi Potensi Penerimaan dan Pengawasan K/L III dari DJA PNBP Kemenkeu Wahyu Indrawan. FGD yang dimoderatori Peri Umar Farouk, Konsultan Hukum dan Kebijakan Publik. Turut hadir Ketua KPI Pusat, Ubaidillah beserta jajarannya secara daring, serta Sekretaris KPI Pusat, Umri.
Di awal acara Umri menyampaikan, pemberlakukan sanksi berupa denda terhadap lembaga penyiaran merupakan salah satu hal yang dibahas Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) selain penguatan kelembagaan KPI di pusat dan daerah, serta penganggaran. Mekanisme pemberian sanksi ini juga dipertanyakan masyarakat yang mendapati tidak munculnya efek jera bagi pelanggar sehingga terjadi pelanggaran lain.
“Regulasi turunan dari PP Nomor 43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu segera ditetapkan untuk membuat informasi lebih layak diterima dan mengedukasi masyarakat,” katanya.
Ketua KPI Pusat Ubaidillah, menyoroti turbulensi yang terjadi pada ekosistem ekonomi industri penyiaran yang berdampak pada kualitas media penyiaran. Lembaga penyiaran didapati mengadopsi konten media sosial, yang sekedar viral dan ini menjadi hal yang memprihatinkan. Pemberlakuan sanksi berupa denda diharapkan bisa menjadi sarana menyesuaikan keinginan masyarakat dengan proses bisnis lembaga penyiaran.
“Pembahasan PKPI mengenai sanksi administrasi sudah melalui 4 pertemuan dengan berbagai stakeholder dan mendapat masukan yang kemudian disesuaikan dalam draft hasil Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas). Dari pertemuan terakhir, dicantumkan bahwa pemberlakuan denda akan diaplikasikan secara berjenjang, setelah KPI memberikan 2 hingga 3 teguran kepada LP terkait,” ujarnya.
Sementara itu, Anas Fazri menyampaikan, perlunya klasterisasi pemberlakuan denda yang pada draft PKPI tentang sanksi belum ada pembedanya antara pelanggaran I, II, dan seterusnya. Asosiasi memberi masukan untuk menunda penetapan PKPI tersebut, namun sebenarnya penetapan dan pemberlakuan PKPI agar lembaga penyiaran patuh pada aturan. Pun demikian, perlu digarisbawahi bahwa Lembaga Penyiaran Publik (LPP) tidak sama dengan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), sehingga tidak memungkinkan bagi LPP mengalokasikan untuk pembayaran denda.
Hal ini didukung DJA Kementerian Keuangan yang tidak menganggarkan pembiayaan untuk perilaku yang merugikan. Didasari PP Nomor 43 Tahun 2023, pada kondisi demikian, denda Rp 0,- (nol rupiah) bisa diberlakukan, sanksi hukuman disiplin diberikan kepada pegawai yang melakukan kesalahan. Jika sanksi yang diberikan terlalu ringan, dikhawatirkan tidak memberikan efek jera. Menurut Anas Fazri, keluhan dari lembaga penyiaran didasari kompetitor yang tidak tertampung penyiaran, misalnya Over The Top (OTT) atau media on demand.
Hal serupa juga menjadi keluhan penyedia layanan seluler yang menyatakan bahwa 70% bandwithnya digunakan untuk OTT namun tidak ada share untuk provider yang berarti tidak ada pemasukan untuk dalam negeri. Terkait hal ini, Wahyu Indrawan menyarankan perlunya penanggung jawab tersendiri untuk mekanisme sanggah atas temuan pelanggaran dengan merujuk pada peraturan PMK Nomor 155/2021.
Pada draft PKPI yang disusun, Arnando J.P. Siregar, mendapati ketidaksesuaian dengan PP Nomor 43 Tahun 2023, yaitu jangka waktu yang diberikan untuk sanggahan atas temuan pelanggaran yang dilakukan LP. Batang tubuh PKPI harus secara rinci menguraikan ketentuan melalui pasal dan ayat dan fokus pada PNBP yang diperoleh dari denda administrasi karena tidak memenuhi persyaratan yang ada sehingga diidentifikasi sebagai pelanggaran atas isi siaran. Perlu ditegaskan juga bahwa regulasi disusun dengan pertimbangan matang, rinci, dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu.
Sementara itu, perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Victor S. Hanamongan menyampaikan dukungan kepada KPI atas upayanya menciptakan iklim penyiaran menjadi lebih baik. Meskipun demikian, dia menekankan perlunya pengaturan angka yang pasti, penempatan denda, pejabat yang melakukan penghitungan, serta proses penagihan atau teknis pelaksanaannya, dengan mengacu pada Pasal 86 Ayat (2) pada PP Nomor 46 Tahun 2021.
FGD ditutup dengan kesepakatan perlunya melaksanakan diskusi lanjutan bersama dengan publik atau asosiasi untuk menyampaikan bahwa PKPI disusun untuk menjaga ruang siaran ramah, bersih, dan beretika. Tentunya diskusi juga akan menghadirkan narasumber dari K/L terkait sebelum dilanjutkan ke Pertemuan Antar Kementerian dan harmonisasi. Anggita