- Detail
- Dilihat: 16342
Palembang – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus berupaya meminimalisir bias gender dalam penyiaran. Upaya meminimalisir bias tersebut ditempuh KPI dengan beberapa cara yakni melalui pengaturan dalam P3SPS, survey MKK (minat kepentingan dan kenyamanan publik) dan evaluasi dengar pendapat (EDP). Hal itu dikatakan Komisioner KPI Pusat, Azimah Subagijo, pada talkshow di konferensi para jurnalis televisi se-Asia Pasifik, pada 20 November 2015 di Palembang.
“Kami mencoba melakukan perubahan tersebut dengan memasukan isu bias gender dalam aturan P3SPS. Upaya ini dilakukan supaya ada keterbukaan informasi. Melalui proses EDP, salah satu rangkaian proses permohonan bagi lembaga penyiaran untuk mendapatkan izin penyiara, KPI bisa mengidentifikasi , mengklarifikasi dan memverifikasi calon lembaga penyiaran dengan melibatkan perempuan dalam proses tersebut. Begitu juga dengan survey MKK yang dilakukan KPI,” jelas Azimah di depan peserta konferensi yang diinisiasi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Menurut Azimah, bias gender di penyiaran terjadi dalam bentuk citra perempuan hanya sekedar sebagai objek seperti pornografi, kekerasan dan eksploitasi privasi. Bahkan, bias gender ini tidak hanya ditemukan dalam program non jurnalistik tetapi juga di program jurnalistik. “Kita bisa lihat contohnya dalam pemberitaan prostitusi,” kata Azimah.
Dijelaskan dirinya, KPI telah melakukan upaya penindakan terhadap tayangan yang melanggar aspek pornografi, kekerasaan dan eksploitasi privasi melalui peringatan, sanksi teguran hingga penghentian sementara. Upaya ini tidak lain agar program-program televisi bisa mengusung kualitas intelektul daripada sekadar mempertontonkan tubuh perempuan.
Namun upaya untuk meminimalisir bias gender tersebut tidak hanya dilakukan oleh KPI semata. Menurut Azimah, perlu keterlibatan semua pihak yang sadar gender untuk menjaganya. “Meskipun agak sulit karena adanya faktor bisnis di dalamnya. Kita tetap perlu secara bersama-sama melakukan upaya perubahan tersebut,” tandas Azimah.
Hal itu senada dengan yang dikatakan Endah, salah satu jurnalis senior dari Indonesia. Endah mengatakan, jurnalis perempuan harus berani berjuang untuk menyeimbangkan keadaan ini. “Banyak hak perempuan yang harus diangkat. Ini tanggungjawab bersama baik di Indonesia maupun Asia Fasifi,” katanya bersemangat.
Sementara itu, ditempat yang sama, salah satu jurnalis senior dari stasiun TV Al Jazeera Drew menjelaskan bagaimana prosedur yang dilakukan dirinya saat meliput berita-berita yang berdampak bias gender. Kehati-hatian dalam memilih narasumber, memberikan pertanyaan hingga hal-hal yang terkait menjadi aspek yang perlu diperhatikan dalam peliputan yang bersinggungan dengan bias gender.
Lain halnya dengan perwakilan jurnalis dari negara tetangga yang bercerita soal pengambil kebijakan dan jajaran redaksi lebih banyak dilakukan dan dikuasi oleh kaum lelaki. Perempuan ditempatnya hanya lebih banyak terlibat dalam pemberitaan yang soft saja atau soft news. ***