- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 1269
Jakarta - Dalam menghadirkan siaran ramah anak, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak dapat berdiri sendiri. Kerja sama dengan semua pihak yang berkepentingan, terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menjadi sebuah kemestian, agar harapan bersama bahwa layar kaca memiliki konten yang ramah anak dapat terwujud. Hal itu disampaikan Evri Rizqi Monarshi, selaku anggota KPI Pusat bidang kelembagaan, dalam diksusi Ngobrol Penuh Inspirasi (NGOPI) yang bertema “Menghadirkan Siaran Ramah Anak di Layar Kaca”, bersama KPPPA dan perwakilan lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi di Jakarta, (23/6).
Pertemuan ini, ujar Evri, adalah bentuk semangat kolaboratif dari KPI dengan seluruh pemangku kepentingan. Sejalan juga dengan amanat dari undang-undang penyiaran yang mewajibkan KPI memberi pembinaan terhadap sumber daya manusia (SDM) di bidang penyiaran. Harapannya, pertemuan dengan KPPPA ini, dapat memberi pencerahan pada pengelola program di televisi swasta untuk menjaga komitmen dalam mengutamakan kepentingan anak.
Pertemuan yang menyinergikan KPI dan KPPPA bersama pengelola lembaga penyiaran merupakan momen yang penting, ujar Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga yang juga hadir dalam acara tersebut. Dalam kesempatan tersebut, Bintang menyampaikan tentang hak-hak dasar dari anak yang harus dipenuhi, tidak saja oleh orang tua mereka tapi juga oleh seluruh orang dewasa yang hidup bersamanya. Diantara hak-hak anak tersebut, ujar Bintang, adalah hak untuk mendapat perlindungan, hak berpartisipasi dan hak mendapatkan informasi yang layak sesuai dengan usia mereka. Secara khusus, Bintang pun meminta lembaga penyiaran untuk memberi kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus untuk dapat muncul di layar televisi dalam menghadirkan karya dan prestasi.
Dalam diskusi ini, hadir pula penanggung jawab program lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi yang ikut urun rembug tentang konten siaran ramah anak. Ekin Gabriel dari Indosiar mengingatkan tentang potensi munculnya muatan LGBT dalam program siaran anak yang diadopsi dari luar negeri. “Muatan LGBT masuk dengan sangat halus,” ujarnya. Selain itu, adegan kekerasan pada tayangan anime yang banyak ditonton anak-anak juga harus mendapat perhatian lebih serius.
Masukan lainnya disampaikan oleh Dedy Risnanto dari Kompas TV tentang pentingnya survey kepemirsaan tentang perilaku penonton yang lebih komprehensif dibanding survey kepemirsaan saat ini. Dedy menyampaikan pengalaman Kompas TV membuat program siaran anak yang sarat budaya lokal. Namun program ideal seperti ini memakan biaya produksi sangat besar dan tidak terbayar dengan iklan yang penempatannya masih bergantung pada survey kepemirsaan dengan responden 60% dari Jakarta. Dedy pun berharap ada insiatif mengubah currency pengiklan yang menurutnya tidak mewakili populasi masyarakat Indonesia. Dia pun memberi contoh kebijakan pemerintah di India dan China dalam membuat survey kepemirsaan yang lebih mencerminkan selera masyarakatnya.
Menjawab masukan dari Kompas TV, Amin Shabana selaku anggota KPI Pusat bidang kelembagaan yang juga penanggungjawab program Indeks Kualitas Program Siaran Televisi mengaku telah bertemu penyelenggara survey kepemirsaan. “Kami sudah menyampaikan pada mereka, tentang dosa besar yang dibuat,” ujar Amin. Termasuk menyampaikan catatan KPI tentang program yang populer di survey kepemirsaan justru memiliki nilai indeks yang rendah dari KPI.
Hadir pula dalam pertemuan tersebut, perwakilan dari KPI DKI Jakarta, Rizky Wahyuni. Menurut Rizky, ada perbedaan antara program anak dan program yang ramah terhadap anak. Dia berpendapat, perlu digiatkan literasi untuk mengajak orang tua kembali menonton televisi sebagai referensi untuk tontonan anak. Sekalipun dalam televisi masih ada catatan atas program siaran untuk kategori sinetron, variety show dan infotainment. Sedangkan untuk program berita atau jurnalistik, masih sering ditemukan pengungkapan identitas anak pada kasus-kasus hukum yang melibatkan anak. Yang jelas, tambahnya, kualitas tayangan harus linier dengan usaha kita mengajak publik kembali menonton televisi.
Secara konkrit Rizky menyampaikan saran agar pemerintah memberikan insentif pada pembuat konten, salah satunya menggelar pelatihan menulis script atau naskah cerita televisi, agar dapat mengisi program-program siaran di televisi yang sesuai koridor regulasi. “Sehingga kekosongan ruang akan naskah cerita untuk program anak atau pun program yang ramah anak dapat terisi,”ujarnya.
Terkait kualitas sinetron, Aliyah selaku anggota KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran mengakui, masih banyak sinetron yang belum ramah anak. Menurutnya, sinetron yang mengambil latar belakang sekolah harus mengurangi muatan perundungan atau bullying. Dengan demikian, televisi hadir sebagai tuntunan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Sedangkan untuk daerah blank spot yang tak terjangkau sinyal televisi, Aliyah menilai hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama, karena publik akhirnya mengakses informasi ke media sosial. Sedangkan konten di media sosial belum dapat diverifikasi kebenarannya dan belum ada pengawasan terhadap kontennya.
Terkait dengan regulasi konten di media sosial, Ketua KPI Pusat Ubaidillah menyampaikan bahwa saat ini revisi undang-undang penyiaran masih berproses di Komisi I DPR RI. Terkait media baru, KPI banyak mendapat aduan dari publik yang resah dengan konten yang dinilai tidak aman bagi anak-anak. Jika ke depan KPI diberikan mandat baru dalam pengawasan media, tentunya masukan semua pihak termasuk Kementerian PPPA sangat dibutuhkan demi menghasilkan regulasi baru yang dapat menjaga anak-anak dari konten negatif media.