Jakarta - Komitmen Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menjaga kepentingan anak di televisi sebenarnya sudah termuat dengan jelas dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI tahun 2012. Ada banyak aturan rinci yang membatasi eksploitasi terhadap anak-anak, terutama pada kasus kebencanaan dan hukum. Misalnya, larangan mewawancarai anak yang menjadi korban bencana atau mengungkap identitas anak yang terlibat dalam kasus hukum. Hal ini semata-mata dilakukan karena kepedulian KPI terhadap masa depan anak-anak Indonesia. 

Hal tersebut terungkap dalam kegiatan Ngobrol Penuh Inspirasi (Ngopi) dengan tema “Menghadirkan Siaran Ramah Anak di Layar Kaca", yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama KPI Pusat, (23/6). Pada pertemuan tersebut, Ketua KPI Pusat Ubaidillah juga menyitir ayat Alquran, tentang perintah menjaga diri sendiri dan keluarga dari api neraka. Menurut Ubaidillah, upaya melindungi kepentingan anak-anak Indonesia adalah implementasi  dari menjaga keluarga secara khusus, dan juga bangsa ini secara umum. 

Sejalan dengan itu, Ubaidillah juga menyampaikan tentang revisi undang-undang penyiaran yang masih dibahas di DPR RI. “Revisi ini masih butuh masukan dari publik, termasuk kelompok pemerhati kepentingan anak dan perempuan,” ujarnya. Apalagi terkait media baru sendiri, KPI banyak mendapat aduan dari publik yang resah dengan konten yang dinilai tidak aman bagi anak-anak. Jika ke depan KPI diberikan mandat baru dalam pengawasan media, tentunya masukan Kementerian PPPA sangat dibutuhkan demi menghasilkan regulasi baru yang dapat menjaga anak-anak dari konten negatif media. 

Pada pertemuan yang dihadiri para penanggungjawab program di televisi swasta, turut hadir pula Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga. Menurut Bintang, pertemuan dengan pengelola media, khususnya televisi ini sudah lama direncanakan. Bintang menyampaikan pula hak-hak anak yang harus dipenuhi tidak saja oleh orang tua mereka, tapi juga oleh seluruh orang dewasa yang hidup bersama anak-anak. Diantaranya hak untuk mendapat perlindungan, hak mendapat pendidikan, termasuk juga hak untuk berpartisipasi dan hak mendapat informasi yang sesuai dengan usianya. 

Selain itu, Bintang juga menyampaikan pada lembaga penyiaran untuk memberi kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus untuk dapat muncul di layar televisi. Dia menceritakan pertemuan jajaran KPPPA dengan Puteri Ariani, penyandang disabilitas buta, yang mampu berprestasi di ajang internasional. “Kalau kita bicara masalah dunia industri, pasti orientasinya adalah profit. Tapi saya harap Bapak dan Ibu memiliki idealisme terhadap bangsa ini, untuk melindungi hak anak untuk mendapatkan informasi yang layak,” ujar Bintang 

Sementara itu, dari jajaran lembaga penyiaran, hadir Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Gilang Iskandar. Pada pertemuan tersebut, Gilang mengungkap adanya peningkatan kepemirsaan anak dalam waktu setahun terakhir. Hal ini menurut Gilang, juga disebabkan dengan dimulainya migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital yang mengakibatkan munculnya televisi-televisi khusus anak. “Dari komposisi pemirsa maupun durasi kepemirsaan terjadi peningkatan,” ungkap Gilang. Hal ini juga diiringi dengan peningkatan alokasi program anak di televisi yang awalnya sekitar empat jam sehari menjadi enam jam. 

Terkait konten anak dalam program siaran, Gilang mengatakan televisi membutuhkan materi yang banyak namun sumber daya manusia (SDM) bidang ini terbatas. Misalkan cerita Malin Kundang yang hanya bisa diproduksi 1-5 episode dan belum ada SDM yang mampu memperluas cerita tersebut. “Ini salah satu kendala kita di televisi,” tambahnya. Selain itu, biaya produksi untuk program anak mahal, karena waktu produksi lebih lama bisa memakan waktu 1 bulan 1 episode. Alokasi biaya iklan untuk anak dibanding usia remaja itu lebih sedikit produk atau jasa, nilai ekonominya rendah, dan pengiklan juga tidak melirik program anak. Akibatnya harga iklan di program ini pun rendah, terangnya. Realitas ini yang diungkap Gilang untuk menggambarkan kesulitan televisi menjaga kontinuitas program siaran anak yang ideal. 

Narasumber lainnya yang turut hadir adalah dari Emar Pasha Amangku selaku Wakil Ketua Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI). Tidak mudah sebenarnya untuk mengalihkan anak-anak ke program khusus untuk usianya, ketika mereka terbiasa menonton tayangan dewasa. Karenanya, ujar Emar, kehadiran kode klasifikasi program siaran di setiap program siaran menjadi salah satu panduan untuk orang tua, saat menonton bersama anak. Meskipun tentu saja, setiap lembaga penyiaran memiliki tim yang melakukan quality control dan sensor internal, tambahnya. 

Di akhir diskusi, Bintang memaparkan tugas dan fungsi dari kementerian yang dipimpinnya. Sebagai non kementerian teknis, KPPPA memiliki banyak keterbatasan. Untuk itu, dia sangat berharap lembaga penyiaran ikut membantu agenda dari KPPPA dalam memberikan perlindungan pada anak dan perempuan. Bicara soal anak yang bermasalah dengan hukum, apakah anak sebagai korban atau pun pelaku, Bintang melihat pentingnya lembaga penyiaran untuk tidak menampilkan wajah atau pun identitasnya. “Kita harus punya komitmen untuk mereka memiliki masa depan yang lebih baik,”tegasnya. 

Sedangkan untuk materi program anak di televisi, Bintang mengatakan pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar dapat ikut memberi perhatian yang serius. “Kita akan coba bicarakan dengan Kemendikbud agar isu ini juga menjadi perhatian serius dari Mas Menteri,” ujar Bintang. Selain itu, harus dipikirkan juga bagaimana narasi kekayaan budaya Indonesia untuk dihadirkan pada konten anak di televisi, misalnya dalam cerita rakyat. Menyambut arahan dari Menteri Bintang, Gilang menegaskan komitmen pengelola televisi untuk ikut menyampaikan pesan-pesan perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.