Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyambut baik pelaksanaan analog switch off (ASO) atau penghentian siaran TV analog berganti siaran TV digital secara menyeluruh di seluruh wilayah layanan siaran di Pulau Jawa per 1 Juli 2023. Sayangnya, proses migrasi siaran ke TV digital ini urung diikuti beberapa lembaga penyiaran TV. Hal ini menyebabkan akses informasi dan manfaat siaran digital ke publik tersendat, termasuk dalam hal pencegahan dampak bencana atau early warning system (EWS). 

“Kami masih menemukan beberapa stasiun TV yang bersiaran di wilayah Jawa belum melakukan perpindahan siaran ke digital per Juli ini. Padahal, wilayah Jawa termasuk daerah rawan bencana termasuk gempa bumi atau tsunami. Jadi semestinya harus ASO total, supaya sistem peringatan dininya (EWS) segera difungsikan,” kata Anggota KPI Pusat, Muhammad Hasrul Hasan, Sabtu (1/7/2023).

Ia menjelaskan, manfaat dari ASO atau siaran TV digital sangat banyak termasuk menerima informasi cepat atau peringatan dini bencana gempa atau tsunami. “Teknologi dalam siaran TV digital terdapar sistem peringatan dini bencana. Namanya, early warning system atau EWS dan itu cuman ada jika kita sudah ASO,” jelas Hasrul. 

Terkait hal ini, Hasrul berharap seluruh stasiun TV yang belum melakukan ASO untuk secepatnya berpindah. Menurutnya, kepentingan utama dari pelaksanaan ASO adalah pelayanan dan pemenuhan informasi untuk masyarakat. “Harapannya kalau di Jawa selesai, berarti penonton siaran TV digital secara nasional akan mendekati 90 persen. KPI berharap ASO bisa declare di momen puncak Hari Penyiaran Nasional pada 12 Agustus 2023 di Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau,” ujar Hasrul.

KPID pantau pelaksanaan ASO

Pelaksanaan ASO per 1 Juli di wilayah Jawa Barat (Jabar) ikut dipantau KPID Jabar secara mandiri. Terkait hal ini, Ketua KPID Jabar, Adiyana Slamet, menyampaikan apresiasi kepada lembaga penyiaran yang sudah melaksanakan migrasi secara menyeluruh di wilayah Jawa. Menurutnya, ASO merupakan keharusan berdasarkan ketetapan dalam UU No.11 tahun 2020 Pasal 60A yang semestinya dilakukan secara menyeluruh pada 2 November tahun lalu. 

Karenanya, KPID Jabar berharap ketegasan dari Pemerintah Pusat untuk secepatnya menuntaskan ASO di 7 wilayah layanan siaran di Jabar. Pasalnya, wilayah layanan 1 Jabar (Bandung dan sekitarnya) sudah ASO per Desember 2022 lalu. “Hal tersebut juga harus diikuti seluruh TV yang berijin di Indonesia, karena kita semua harus taat pada regulasi yang ada,” tegas Adiyana yang dihubungi kpi.go.id melalui pesan pendek.  

Dia menambahkan, KPID Jabar sudah beberapa kali mengingatkan semua pihak untuk segera menuntaskannya. “ASO ini kebijakan strstegis. Adapun TV yang belum menaati regulasi, kami berharap pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika bisa melakukan langkah-langkah strategis, bagaimana bisa ada TV yang tidak taat regulasi,” ujar Ketua KPID Jabar sekaligus mengingatkan komitmen pemegang MUX agar secepatnya mendistribusikan bantuan STB untuk masyarakat pra-sejahtera.

Sementara itu, Ketua KPID Jawa Timur (Jatim) Immanuel Yosua Tjiptosoewarno, menyampaikan sejumlah masalah yang timbul dalam pelaksanaan ASO di wilayah provinsi paling timur di Pulau Jawa tersebut. Menurutnya, dari 10 wilayah layanan siaran di Jatim, baru 1 wilayah layanan yang telah total berpindah ke siaran digital yakni wilayah Jatim 1 (Surabaya dan sekitarnya).

“Untuk cover siaran digital di 10 wilayah siaran memang sudah siaran digital maupun simulcast (analog dan digital), namun daya pancarnya belum optimal sehingga di beberapa wilayah siaran belum dapat diterima dengan baik. Kami juga sedang melakukan pemantauan untuk daerah lain yang rencananya kick off ASO per 1 Juli ini terutama untuk daerah Madiun, Kediri dan Malang,” jelasnya.

Perihal stasiun TV yang belum melakukan ASO, KPID Jatim tetap akan melakukan imbauan dan memaklumi jika kondisi tersebut akibat adanya persoalan di lapangan. Menurutnya, kewenangan untuk melakukan sebuah tindakan administratif ada di tangan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). 

“Kami menemukan beberapa penyebab kenapa masih ada yang bersiaran simulcast seperti pengiklan tidak mau pasang iklan dengan harga sama kalau analog dimatikan. Kalaupun mau digital mereka pasang dengan harga 50 persen. Ini dialami TV lokal,” ungkap Yosua. ***

 

Jakarta – Tujuan utama dari hadirnya lembaga penyiaran adalah memberikan siaran yang mengandung nilai edukasi dan informatif. Namun dengan tetap menjadikan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012 sebagai acuan bersiaran. 

Harapan ini mengemuka pada saat pertemuan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dengan jajaran pimpinan dan redaksi BTV di Kantor KPI Pusat, Senin (26/6/2023) Jakarta Pusat. Hadir dalam pertemuan tersebut Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, Anggota KPI Pusat, Aliyah dan Tulus Santoso.

BTV merupakan nama baru dari stasiun TV jaringan digital di Indonesia yang konsep siarannya umum (infotainment). Sebelumnya, BTV bernama Q Channel, QTV dan Berita Satu (kanal TV berita yang bersiaran melalui televisi berlangganan). Saat ini, siaran BTV sudah dapat disaksikan di berbagai daerah di tanah air.

Mengawali diskusi, Anggota KPI Pusat, Aliyah mengingatkan beberapa penting terkait aturan dalam P3SPS seperti soal klasifikasi program acara. Pasalnya, terkadang ada pemasangan klasifikasi atau kategori program siaran yang tidak tepat dan sesuai dengan P3SPS sehingga berujung sanksi. 

“Ini menjadi konsen KPI soal jam tayang. Tayangan ini untuk konsumsi siapa dan harus selaras dengan jam tayangnya,” tambahnya.

Harapan lain yang diutarakan Aliyah perihal siaran TV yang berpihak kepada anak-anak atau ramah anak. Menurutnya, siaran TV tidak hanya mengedepankan kepentingan bisnis belaka tapi juga mengandung nilai-nilai yang manfaat. 

Pendapat senada turut disampaikan Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran sekaligus Anggota KPI Pusat, Tulus Santoso. Ia menambahkan pentingnya konten siaran diisi dengan hal-hal bernilai kebangsaaan. 

“Kami membuka ruang seluas-luasnya untuk komunikasi yang konstruktif demi menciptakan penyiaran yang lebih baik sehingga layar kaca kita menjadi lebih sehat dan manfaat,” ujar Tulus Santoso. 

Diawal pertemuan, Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, menjelaskan mengenai sistem siaran jaringan (SSJ) dan perbedaan antara induk jaringan dan anak jaringan. Menurutnya, siaran induk jaringan meliputi 70 persen siaran nasional dan sisanya untuk lokal. Hal ini berlaku terbalik dengan komposisi siaran untuk anak jaringan. 

Ia juga mengingatkan BTV soal siaran pemberitaan terkait peliputan sidang untuk kasus terorisme. Harap diperhatikan untuk menjaga dan melindungi identitas seluruh aparat penegak hukum, baik pribadi, lingkungan maupun keluarga. “Perlindungan terhadap aparat hukum harus diutamakan,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Pemberitaan BTV, Apreyvita Wulansari, mengungkapkan maksud dan tujuan pihaknya berkunjung ke KPI Pusat. Selain sebagai silahturahmi, kata Ia, pertemuan ini untuk menanyakan beberapa hal terkait aturan penyiaran. “Kami ingin menjadi TV yang patuh,” tuturnya yang pada saat bersamaan didampingi Direktur Utama BTV, Rio Abdurcahman. ***/Foto: Syahrullah

Jakarta - Dalam menghadirkan siaran ramah anak, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak dapat berdiri sendiri. Kerja sama dengan semua pihak yang berkepentingan, terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menjadi sebuah kemestian, agar harapan bersama bahwa layar kaca memiliki konten yang ramah anak dapat terwujud. Hal itu disampaikan Evri Rizqi Monarshi, selaku anggota KPI Pusat bidang kelembagaan, dalam diksusi Ngobrol Penuh Inspirasi (NGOPI) yang bertema “Menghadirkan Siaran Ramah Anak di Layar Kaca”, bersama KPPPA dan perwakilan lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi di Jakarta, (23/6). 

Pertemuan ini, ujar Evri, adalah bentuk semangat kolaboratif dari KPI dengan seluruh pemangku kepentingan. Sejalan juga dengan amanat dari undang-undang penyiaran yang mewajibkan KPI memberi pembinaan terhadap sumber daya manusia (SDM) di bidang penyiaran. Harapannya, pertemuan dengan KPPPA ini, dapat memberi pencerahan pada pengelola program di televisi swasta untuk menjaga komitmen dalam mengutamakan kepentingan anak. 

Pertemuan yang menyinergikan KPI dan KPPPA bersama pengelola lembaga penyiaran merupakan momen yang penting, ujar Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga yang juga hadir dalam acara tersebut. Dalam kesempatan tersebut, Bintang menyampaikan tentang hak-hak dasar dari anak yang harus dipenuhi, tidak saja oleh orang tua mereka tapi juga oleh seluruh orang dewasa yang hidup bersamanya. Diantara hak-hak anak tersebut, ujar Bintang, adalah hak untuk mendapat perlindungan, hak berpartisipasi dan hak mendapatkan informasi yang layak sesuai dengan usia mereka. Secara khusus, Bintang pun meminta lembaga penyiaran untuk memberi kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus untuk dapat muncul di layar televisi dalam menghadirkan karya dan prestasi. 

Dalam diskusi ini, hadir pula penanggung jawab program lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi yang ikut urun rembug tentang konten siaran ramah anak. Ekin Gabriel dari Indosiar mengingatkan tentang potensi munculnya muatan LGBT dalam program siaran anak yang diadopsi dari luar negeri. “Muatan LGBT masuk dengan sangat halus,” ujarnya. Selain itu, adegan kekerasan pada tayangan anime yang banyak ditonton anak-anak juga harus mendapat perhatian lebih serius.

Masukan lainnya disampaikan oleh Dedy Risnanto dari Kompas TV tentang pentingnya survey kepemirsaan tentang perilaku penonton yang lebih komprehensif dibanding survey kepemirsaan saat ini. Dedy menyampaikan pengalaman Kompas TV membuat program siaran anak yang sarat budaya lokal. Namun program ideal seperti ini memakan biaya produksi sangat besar dan tidak terbayar dengan iklan yang penempatannya masih bergantung pada survey kepemirsaan dengan responden 60% dari Jakarta. Dedy pun berharap ada insiatif mengubah currency pengiklan yang menurutnya tidak mewakili populasi masyarakat Indonesia. Dia pun memberi contoh kebijakan pemerintah di India dan China dalam membuat survey kepemirsaan yang lebih mencerminkan selera masyarakatnya.

Menjawab masukan dari Kompas TV,  Amin Shabana selaku anggota KPI Pusat bidang kelembagaan yang juga penanggungjawab program Indeks Kualitas Program Siaran Televisi mengaku telah bertemu penyelenggara survey kepemirsaan. “Kami sudah menyampaikan pada mereka, tentang dosa besar yang dibuat,” ujar Amin. Termasuk menyampaikan catatan KPI tentang program yang populer di survey kepemirsaan justru memiliki nilai indeks yang rendah dari KPI. 

Hadir pula dalam pertemuan tersebut, perwakilan dari KPI DKI Jakarta, Rizky Wahyuni. Menurut Rizky, ada perbedaan antara program anak dan program yang ramah terhadap anak. Dia berpendapat, perlu digiatkan literasi untuk mengajak orang tua kembali menonton televisi sebagai referensi untuk tontonan anak. Sekalipun dalam televisi masih ada catatan atas program siaran untuk kategori sinetron, variety show dan infotainment. Sedangkan untuk program berita atau jurnalistik, masih sering ditemukan pengungkapan identitas anak pada kasus-kasus hukum yang melibatkan anak. Yang jelas, tambahnya, kualitas tayangan harus linier dengan usaha kita mengajak publik kembali menonton televisi. 

Secara konkrit Rizky menyampaikan saran agar pemerintah memberikan insentif pada pembuat konten, salah satunya menggelar pelatihan menulis script atau naskah cerita televisi, agar dapat mengisi program-program siaran di televisi yang sesuai koridor regulasi. “Sehingga kekosongan ruang akan naskah cerita untuk program anak atau pun program yang ramah anak dapat terisi,”ujarnya.

Terkait kualitas sinetron, Aliyah selaku anggota KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran mengakui, masih banyak sinetron yang belum ramah anak. Menurutnya, sinetron yang mengambil latar belakang sekolah harus mengurangi muatan perundungan atau bullying. Dengan demikian, televisi hadir sebagai tuntunan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. 

Sedangkan untuk daerah blank spot yang tak terjangkau sinyal televisi, Aliyah menilai hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama, karena publik akhirnya mengakses informasi ke media sosial. Sedangkan konten di media sosial belum dapat diverifikasi kebenarannya dan belum ada pengawasan terhadap kontennya. 

Terkait dengan regulasi konten di media sosial, Ketua KPI Pusat Ubaidillah menyampaikan bahwa saat ini revisi undang-undang penyiaran masih berproses di Komisi I DPR RI. Terkait media baru, KPI banyak mendapat aduan dari publik yang resah dengan konten yang dinilai tidak aman bagi anak-anak. Jika ke depan KPI diberikan mandat baru dalam pengawasan media, tentunya masukan semua pihak termasuk Kementerian PPPA sangat dibutuhkan demi menghasilkan regulasi baru yang dapat menjaga anak-anak dari konten negatif media. 

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mendapat kunjungan dari mahasiswa Institut Ilmu Al Quran (IIQ) Jakarta, Senin (26/6/2023). Kunjungan tersebut diterima langsung Anggota KPI Pusat, Amin Shabana dan tim ahli KPI Pusat.

Usai menjelaskan secara singkat tugas dan fungsi KPI, Amin menyilahkan mahasiswa untuk bertanya. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan salah satu mahasiswa yang menanyakan dimana letak kewenangan KPI dalam mengawasi siaran. “Apakah KPI tidak melakukan kontrol kepada lembaga penyiaran sebelum tayang,” tanya Dina, mahasiswi tersebut.

Terkait pertanyaan itu, Amin Shabana menegaskan, KPI tidak melakukan pengawasan pada tahap awal siaran atau sebelum tayang. Namun, KPI memberikan acuan kepada lembaga penyiaran untuk mengikuti aturan yang terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012 agar tidak terjadi pelanggaran.

“Jika lembaga penyiaran mengikuti acuan dalam P3SPS, maka pelanggaran dapat diminimalisir. Tapi kami juga menyelenggarakan sekolah P3SPS bagi awak media seperti tim kreatif dan produksi agar mereka memahami pedoman penyiaran ini,” tambah Anggota KPI Pusat bidang Kelembagaan tersebut.

Dalam pertemuan itu, para mahasiswa membahas banyaknya konten di media baru yang dijadikan sumber informasi di lembaga penyiaran. Mengenai ini, Amin mengatakan, konten viral di media baru banyak yang menjadi bahan informasi di lembaga penyiaran. Namun begitu, aturan yang berlaku di lembaga penyiaran tetap harus disesuaikan.

“Aturan di penyiaran berbeda dengan di media sosial. Penyiaran itu menggunakan ruang publik yakni frekuensi. Misalnya, soal penggunaan pakaian harus mengikuti etika dan norma yang berlaku atau dialog di media baru akan berbeda dengan acara dialog di lembaga penyiaran,” jelas Amin Shabana.

Di akhir pertemuan, Amin meminta mahasiswa IIQ untuk ikut terlibat aktif dalam mengawasi isi siaran. “KPI butuh pelibatan aktif masyarakat khususnya mahasiswa untuk jadi garda terdepan pemantauan siaran. Kita berharap siaran kita makin sehat, bermanfaat dan bermartabat,” paparnya. 

Setelah pertemuan, seluruh mahasiswa IIQ diajak melihat secara langsung sistem pemantauan isi siaran KPI Pusat. Pemantauan siaran KPI saat ini mengawasi 43 televisi digital, 5 provider lembaga penyiaran berlangganan dan 15 radio berjaringan. Total 63 lembaga penyiaran menjadi obyek pantauan KPI pada tahun 2023. ***/Foto: Agung R

 

 

 

 

Jakarta - Komitmen Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menjaga kepentingan anak di televisi sebenarnya sudah termuat dengan jelas dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI tahun 2012. Ada banyak aturan rinci yang membatasi eksploitasi terhadap anak-anak, terutama pada kasus kebencanaan dan hukum. Misalnya, larangan mewawancarai anak yang menjadi korban bencana atau mengungkap identitas anak yang terlibat dalam kasus hukum. Hal ini semata-mata dilakukan karena kepedulian KPI terhadap masa depan anak-anak Indonesia. 

Hal tersebut terungkap dalam kegiatan Ngobrol Penuh Inspirasi (Ngopi) dengan tema “Menghadirkan Siaran Ramah Anak di Layar Kaca", yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama KPI Pusat, (23/6). Pada pertemuan tersebut, Ketua KPI Pusat Ubaidillah juga menyitir ayat Alquran, tentang perintah menjaga diri sendiri dan keluarga dari api neraka. Menurut Ubaidillah, upaya melindungi kepentingan anak-anak Indonesia adalah implementasi  dari menjaga keluarga secara khusus, dan juga bangsa ini secara umum. 

Sejalan dengan itu, Ubaidillah juga menyampaikan tentang revisi undang-undang penyiaran yang masih dibahas di DPR RI. “Revisi ini masih butuh masukan dari publik, termasuk kelompok pemerhati kepentingan anak dan perempuan,” ujarnya. Apalagi terkait media baru sendiri, KPI banyak mendapat aduan dari publik yang resah dengan konten yang dinilai tidak aman bagi anak-anak. Jika ke depan KPI diberikan mandat baru dalam pengawasan media, tentunya masukan Kementerian PPPA sangat dibutuhkan demi menghasilkan regulasi baru yang dapat menjaga anak-anak dari konten negatif media. 

Pada pertemuan yang dihadiri para penanggungjawab program di televisi swasta, turut hadir pula Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga. Menurut Bintang, pertemuan dengan pengelola media, khususnya televisi ini sudah lama direncanakan. Bintang menyampaikan pula hak-hak anak yang harus dipenuhi tidak saja oleh orang tua mereka, tapi juga oleh seluruh orang dewasa yang hidup bersama anak-anak. Diantaranya hak untuk mendapat perlindungan, hak mendapat pendidikan, termasuk juga hak untuk berpartisipasi dan hak mendapat informasi yang sesuai dengan usianya. 

Selain itu, Bintang juga menyampaikan pada lembaga penyiaran untuk memberi kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus untuk dapat muncul di layar televisi. Dia menceritakan pertemuan jajaran KPPPA dengan Puteri Ariani, penyandang disabilitas buta, yang mampu berprestasi di ajang internasional. “Kalau kita bicara masalah dunia industri, pasti orientasinya adalah profit. Tapi saya harap Bapak dan Ibu memiliki idealisme terhadap bangsa ini, untuk melindungi hak anak untuk mendapatkan informasi yang layak,” ujar Bintang 

Sementara itu, dari jajaran lembaga penyiaran, hadir Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Gilang Iskandar. Pada pertemuan tersebut, Gilang mengungkap adanya peningkatan kepemirsaan anak dalam waktu setahun terakhir. Hal ini menurut Gilang, juga disebabkan dengan dimulainya migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital yang mengakibatkan munculnya televisi-televisi khusus anak. “Dari komposisi pemirsa maupun durasi kepemirsaan terjadi peningkatan,” ungkap Gilang. Hal ini juga diiringi dengan peningkatan alokasi program anak di televisi yang awalnya sekitar empat jam sehari menjadi enam jam. 

Terkait konten anak dalam program siaran, Gilang mengatakan televisi membutuhkan materi yang banyak namun sumber daya manusia (SDM) bidang ini terbatas. Misalkan cerita Malin Kundang yang hanya bisa diproduksi 1-5 episode dan belum ada SDM yang mampu memperluas cerita tersebut. “Ini salah satu kendala kita di televisi,” tambahnya. Selain itu, biaya produksi untuk program anak mahal, karena waktu produksi lebih lama bisa memakan waktu 1 bulan 1 episode. Alokasi biaya iklan untuk anak dibanding usia remaja itu lebih sedikit produk atau jasa, nilai ekonominya rendah, dan pengiklan juga tidak melirik program anak. Akibatnya harga iklan di program ini pun rendah, terangnya. Realitas ini yang diungkap Gilang untuk menggambarkan kesulitan televisi menjaga kontinuitas program siaran anak yang ideal. 

Narasumber lainnya yang turut hadir adalah dari Emar Pasha Amangku selaku Wakil Ketua Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI). Tidak mudah sebenarnya untuk mengalihkan anak-anak ke program khusus untuk usianya, ketika mereka terbiasa menonton tayangan dewasa. Karenanya, ujar Emar, kehadiran kode klasifikasi program siaran di setiap program siaran menjadi salah satu panduan untuk orang tua, saat menonton bersama anak. Meskipun tentu saja, setiap lembaga penyiaran memiliki tim yang melakukan quality control dan sensor internal, tambahnya. 

Di akhir diskusi, Bintang memaparkan tugas dan fungsi dari kementerian yang dipimpinnya. Sebagai non kementerian teknis, KPPPA memiliki banyak keterbatasan. Untuk itu, dia sangat berharap lembaga penyiaran ikut membantu agenda dari KPPPA dalam memberikan perlindungan pada anak dan perempuan. Bicara soal anak yang bermasalah dengan hukum, apakah anak sebagai korban atau pun pelaku, Bintang melihat pentingnya lembaga penyiaran untuk tidak menampilkan wajah atau pun identitasnya. “Kita harus punya komitmen untuk mereka memiliki masa depan yang lebih baik,”tegasnya. 

Sedangkan untuk materi program anak di televisi, Bintang mengatakan pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar dapat ikut memberi perhatian yang serius. “Kita akan coba bicarakan dengan Kemendikbud agar isu ini juga menjadi perhatian serius dari Mas Menteri,” ujar Bintang. Selain itu, harus dipikirkan juga bagaimana narasi kekayaan budaya Indonesia untuk dihadirkan pada konten anak di televisi, misalnya dalam cerita rakyat. Menyambut arahan dari Menteri Bintang, Gilang menegaskan komitmen pengelola televisi untuk ikut menyampaikan pesan-pesan perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.