Serang - Netralitas lembaga penyiaran dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) menjadi sebuah kemestian yang harus dilaksanakan. Hal ini sebagai usaha menciptakan pesta demokrasi yang netral serta kondusif dan aman di tengah masyarakat. Anggota Komisi I DPR RI Tb Hasanuddin menyampaikan hal tersebut dalam kegiatan kunjungan kerja spesifik Komisi I DPR RI ke Provinsi Banten bersama mitra Komisi I diantaranya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), KPI Daerah Banten, dan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI dan RRI.
Hasanuddin juga menegaskan, pentingnya kolaborasi antarlembaga terkait, baik itu TVRI, RRI, Lembaga Penyiaran atau juga KPI Daerah yang mengawasi konten dan isi siaran Pilkada Serentak 2024 di Banten. Menurutnya konten siaran yang netral dan berimbang bagi seluruh kandidat kepala daerah, dapat membantu menghadirkan suasana yang kondusif di tengah masyarakat, sehingga perta demokrasi juga memberi banyak kemaslahatan bagi masyarakat Banten, termasuk melahirkan pemimpin yang membawa provinsi ini lebih sejahtera, ujarnya.
Hadir pula dalam Kunker Spesifik Komisi I DPR RI di Banten, Ketua KPI Pusat Ubaidillah yang didampingi anggota KPI Pusat bidang Kelembagaan Mimah Susanti, Evri Rizqi Monarsi dan Amin Shabana. Pada pertemuan tersebut Ubaidillah berharap pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 ini dapat mengikutsertakan LPP lokal dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) lokal untuk menyiarkan konten Pilkada. “Apalagi ini kan pemilihannya tingkat provinsi, kabupaten dan kotamadya, seharusnya televisi dan radio lokal juga diberikan peluang berkontribusi pada momentum demokrasi ini,” ujarnya.
Ubaidillah melihat, dengan mengikutsertakan televisi dan radio lokal, baik itu LPP atau pun LPS, tentunya konten siaran yang disampaikan akan lebih tepat sasaran pada para pemilih setempat. Jangan sampai juga, kegiatan debat kandidat tingkat kabupaten atau kotamadya, justru disiarkan secara nasional. “Hal seperti ini tentu tidak tepat sasaran,” tambahnya.
Lebih jauh dirinya berharap, pemerintah daerah dapat menempatkan iklan sosialisasi Pilkada Serentak pada lembaga penyiaran lokal yang selama ini telah berkiprah menunaikan hak-hak informasi bagi publik. “Kami berharap, pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 ini juga memberikan stimulus finansial bagi lembaga penyiaran lokal yang saat ini berjuang tetap eksis di tengah gempuran media digital,” pungkasnya. (Foto: KPI PUsat/Agung R)
Sanur – Lembaga penyiaran, TV dan radio, memiliki andil besar dalam membangkitkan ekonomi masyarakat di Bali paska pandemi Covid. Peran ini harus lebih ditingkatkan dalam bentuk sinergi antar keduanya, masyarakat dan lembaga penyiaran. Sinergi ini diharapkan akan mendorong pengembangan usaha keduanya.
Selain itu, TV dan radio, berperan penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat untuk lebih peduli terhadap isu pelestarian lingkungan. Kesadaran ini dapat dipicu melalui konten siaran yang berisikan edukasi tentang pentingan menjaga linkungan dimulai dari lingkungan keluarga.
Pandangan ini disampaikan Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, dalam sambutannya sebelum membuka kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) KPI Pusat, Sabtu (31/8/2024) di bilangan Sanur, Denpasar, Bali.
Menurut Ubaidillah, sinergi antara lembaga penyiaran dan masyarakat yang tergabung dalam UMKM (Usaha Masyarakat Kecil Menengah) menjadi jawaban atas kesulitan yang dihadapi TV dan radio lokal terkait kurangnya pemasukan iklan. Dari sisi UMKM, sinergi ini akan mengembangkan produk usahanya sehingga dikenal secara luas.
“Literasi ini penting sekali untuk mensienerigikan antara UMKM dan lembaga penyiaran yang ada di provinsi Bali. Bahwa keluhan yang dirasakan lembaga penyiaran terkait kue iklan dengan ditopang iklan dari UMKM yang ada di Bali sehingga mereka bisa tertolong,” ujarnya.
Ubaidillah kemudian menceritakan pengalamannya saat menjalankan program pemerintah di daerah Buleleng saat pademi. Dalam prosesnya, program tersebut berupaya memberi dukungan kepada UMKM di pedesaan wilayah Buleleng yang mengalami kesulitan akibat pademi.
“Ada sekitar 30 UMKM yang kami support. Lalu setelah pademi masyarakat di sana mulai bangkit, baik UMKM maupun usaha wisatanya. Hal ini tentu tidak lepas dari dukungan lembaga penyiaran melalui pemberitaannya. Jika ini tidak diberitakan, tentunya masyarakat di luar jadi tidak bisa tahu jika Bali sudah mulai pulih kembali,” kata Ketua KPI Pusat ini.
Mengenai isu pelestarian lingkungan, Ubaidillah mengungkapkan, pihaknya telah mengumandangkan isu ini di lembaga penyiaran dalam beberapa tahun belakangan. Dia menekankan pentingnya menyematkan pesan edukasi terkait penyadaran masyarakat pada kelestarian lingkungan dalam konten siaran.
“Kami mendorong penayangan iklan layanan masyarakat (ILM) di lembaga penyiaran tentang isu lingkungan. Harapan kami, iklan ini dapat mengedukasi masyarakat untuk peduli kelestarian alam seperti mengurangi sampaik sejak dini dimulai dari rumah masing-masing. Edukasi seperti akan mengajarkan bagaimana mengelola sampah yang benar,” ujarnya.
Anggota DPR RI, I Nyoman Parta, dalam sambutan kuncinya di acara ini mengakui jika kepedulian masyarakat terhadap isu lingkungan sangat rendah. Kondisi ini disebabkan oleh literasi yang rendah. “Mereka tidak pernah dididik dari nol seperti kampus-kampus, sekolah-sekolah, di luar negeri yang memang dari kecil sudah diajari,” katanya.
Menurut politisi dari Partai PDI Perjuangan ini, kesadaran ini harus dikembangkan melalui kegiatan literasi seperti yang dilakukan KPI Pusat. “Kami berterima kasih kepada KPI Pusat yang telah menyelenggarakan kegiatan ini di Bali,” ujar I Nyoman Parta.
Dalam kesempatan itu, dia berharap kesadaran ini juga dicontohkan melalui pemimpin-pemimpin. Menurut I Nyoman Parta, penyadaran terhadap masyarakat terhadap isu lingkungan melalui teladan pemimpin dapat lebih efektif.
Usai sambutan, kegiatan GLSP bertajuk “Peran Penyiaran dalam Pengembangan UMKM dan Pelestarian Lingkungan” dilanjutkan dengan forum diskusi yang menghadirkan nara sumber antara lain Anggota KPI Pusat I Made Sunarsa, Pengamat Politik sekaligus Dekan FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto, CEP Griya Luhu Digital Waste Bank, Ida Bagus Mandhara Brasika, dan Pendamping UMKM Bali, Ni Luh Putu Diah Sesvi Arina. Diskusi ini dimoderatori Anggota KPID Bali, Ketut Udi Prayudi.
Turut hadir Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, Anggota KPI Pusat sekaligus penanggung jawab kegiatan GLSP, Evri Rizqi Monarshi, Anggota KPI Pusat, Mimah Susanti dan Muhammad Hasrul Hasan, serta Kepala Sekretariat KPI Pusat, Umri. ***/Foto: Syahrullah
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menggelar Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD sebagai tindak lanjut masukan draft PKPI tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Denda Pelanggaran Isi Siaran, Rabu (28/8/2024) di Kantor KPI Pusat.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber antara lain Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang diwakili Victor S. Hanamongan, Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Madya, Arnando J.P. Siregar, Kepala Bidang Komunikasi dan Informatika Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Anas Fazri, Kepala Subdit Potensi Penerimaan dan Pengawasan K/L III dan Kepala Seksi Potensi Penerimaan dan Pengawasan K/L III dari DJA PNBP Kemenkeu Wahyu Indrawan. FGD yang dimoderatori Peri Umar Farouk, Konsultan Hukum dan Kebijakan Publik. Turut hadir Ketua KPI Pusat, Ubaidillah beserta jajarannya secara daring, serta Sekretaris KPI Pusat, Umri.
Di awal acara Umri menyampaikan, pemberlakukan sanksi berupa denda terhadap lembaga penyiaran merupakan salah satu hal yang dibahas Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) selain penguatan kelembagaan KPI di pusat dan daerah, serta penganggaran. Mekanisme pemberian sanksi ini juga dipertanyakan masyarakat yang mendapati tidak munculnya efek jera bagi pelanggar sehingga terjadi pelanggaran lain.
“Regulasi turunan dari PP Nomor 43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu segera ditetapkan untuk membuat informasi lebih layak diterima dan mengedukasi masyarakat,” katanya.
Ketua KPI Pusat Ubaidillah, menyoroti turbulensi yang terjadi pada ekosistem ekonomi industri penyiaran yang berdampak pada kualitas media penyiaran. Lembaga penyiaran didapati mengadopsi konten media sosial, yang sekedar viral dan ini menjadi hal yang memprihatinkan. Pemberlakuan sanksi berupa denda diharapkan bisa menjadi sarana menyesuaikan keinginan masyarakat dengan proses bisnis lembaga penyiaran.
“Pembahasan PKPI mengenai sanksi administrasi sudah melalui 4 pertemuan dengan berbagai stakeholder dan mendapat masukan yang kemudian disesuaikan dalam draft hasil Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas). Dari pertemuan terakhir, dicantumkan bahwa pemberlakuan denda akan diaplikasikan secara berjenjang, setelah KPI memberikan 2 hingga 3 teguran kepada LP terkait,” ujarnya.
Sementara itu, Anas Fazri menyampaikan, perlunya klasterisasi pemberlakuan denda yang pada draft PKPI tentang sanksi belum ada pembedanya antara pelanggaran I, II, dan seterusnya. Asosiasi memberi masukan untuk menunda penetapan PKPI tersebut, namun sebenarnya penetapan dan pemberlakuan PKPI agar lembaga penyiaran patuh pada aturan. Pun demikian, perlu digarisbawahi bahwa Lembaga Penyiaran Publik (LPP) tidak sama dengan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), sehingga tidak memungkinkan bagi LPP mengalokasikan untuk pembayaran denda.
Hal ini didukung DJA Kementerian Keuangan yang tidak menganggarkan pembiayaan untuk perilaku yang merugikan. Didasari PP Nomor 43 Tahun 2023, pada kondisi demikian, denda Rp 0,- (nol rupiah) bisa diberlakukan, sanksi hukuman disiplin diberikan kepada pegawai yang melakukan kesalahan. Jika sanksi yang diberikan terlalu ringan, dikhawatirkan tidak memberikan efek jera. Menurut Anas Fazri, keluhan dari lembaga penyiaran didasari kompetitor yang tidak tertampung penyiaran, misalnya Over The Top (OTT) atau media on demand.
Hal serupa juga menjadi keluhan penyedia layanan seluler yang menyatakan bahwa 70% bandwithnya digunakan untuk OTT namun tidak ada share untuk provider yang berarti tidak ada pemasukan untuk dalam negeri. Terkait hal ini, Wahyu Indrawan menyarankan perlunya penanggung jawab tersendiri untuk mekanisme sanggah atas temuan pelanggaran dengan merujuk pada peraturan PMK Nomor 155/2021.
Pada draft PKPI yang disusun, Arnando J.P. Siregar, mendapati ketidaksesuaian dengan PP Nomor 43 Tahun 2023, yaitu jangka waktu yang diberikan untuk sanggahan atas temuan pelanggaran yang dilakukan LP. Batang tubuh PKPI harus secara rinci menguraikan ketentuan melalui pasal dan ayat dan fokus pada PNBP yang diperoleh dari denda administrasi karena tidak memenuhi persyaratan yang ada sehingga diidentifikasi sebagai pelanggaran atas isi siaran. Perlu ditegaskan juga bahwa regulasi disusun dengan pertimbangan matang, rinci, dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu.
Sementara itu, perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Victor S. Hanamongan menyampaikan dukungan kepada KPI atas upayanya menciptakan iklim penyiaran menjadi lebih baik. Meskipun demikian, dia menekankan perlunya pengaturan angka yang pasti, penempatan denda, pejabat yang melakukan penghitungan, serta proses penagihan atau teknis pelaksanaannya, dengan mengacu pada Pasal 86 Ayat (2) pada PP Nomor 46 Tahun 2021.
FGD ditutup dengan kesepakatan perlunya melaksanakan diskusi lanjutan bersama dengan publik atau asosiasi untuk menyampaikan bahwa PKPI disusun untuk menjaga ruang siaran ramah, bersih, dan beretika. Tentunya diskusi juga akan menghadirkan narasumber dari K/L terkait sebelum dilanjutkan ke Pertemuan Antar Kementerian dan harmonisasi. Anggita
Jakarta - Pancasila selalu tangguh mengakomodir semua perbedaan dan keragaman yang ada pada bangsa ini. “Dengan Pancasila, setiap Bhinneka menjadi Tunggal Ika. Setiap yang beragam dapat harmonis tumbuh berdampingan,” ujar Ubadillah, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) yang diselenggarakan Badan Pembinaan ideologi Pancasila (BPIP) tentang peluang kerja sama BPIP dan KPI dalam Internalisasi Nilai Pancasila di Lembaga Penyiaran, (29/8)
Dalam paparannya Ubaidillah mengatakan, regulasi penyiaran telah menetapkan bahwa penyelenggaraan penyiaran di Indonesia didasarkan atas nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Hal ini termaktub dalam Asas Penyiaran dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, yang juga menegaskan bahwa arah penyiaran adalah menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. “Inilah kenapa, lembaga penyiaran harus ikut terlibat dalam upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat Indonesia,” tegasnya.
Kerja sama BPIP dengan KPI Pusat dan KPI Daerah ke depannya akan difokuskan pada sosialisasi nilai-nilai Pancasila melalui penyiaran serta pelatihan pegawai. KPI merespon positif peluang kerja sama dalam usaha internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam lembaga penyiaran, termasuk juga dalam program-program siaran seperti sinetron dan berita. “Yang pasti internalisasi tersebut dilakukan tidak secara kaku atau pun saklek,” tegas Ubaidillah. Namun bagaimana lembaga penyiaran ini ikut berkontribusi dalam peneguhan nilai-nilai luhur yang ada dalam dasar negara kita, Pancasila. Untuk itu, dikuatkan pula dengan adanya pelatihan bagi pegawai di lembaga penyiaran, yang sasarannya adalah penyiar, pengisi acara dan penanggungjawab program siaran lainnya.
Hingga saat ini, lembaga penyiaran masih punya kekuatan yang besar dalam memengaruhi pola pikir masyarakat, sekalipun tren yang berkembang kehadiran media sosial mulai menggerus dominasi lembaga penyiaran. Karenanya, ujar Ubaidillah, dibutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak dalam rangka distribusi nilai-nilai Pancasila, termasuk televisi dan radio yang punya pengaruh besar dalam mengonstruksi perilaku masyarakat.
Diskusi tersebut juga dihadiri Ketua KPID Jawa Barat Adiyana Slamet, Ketua KPI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Hazwan Iskandar Jaya, dan Ketua KPID Jawa Tengah Muhammad Aulia Syihabuddin. Sedangkan dari BPIP dihadiri oleh Deputi Hub. Antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi dan Jaringan, Prakoso, Direktur Hubungan Antar Lembaga dan Kerja Sama, M. Akbar Hadiprabowo, Direktur Sosialisasi dan Komunikasi Prof Agus Moh. Najib, Direktur Analisis dan Penyelarasan BPIP Abbas, Direktur Evaluasi BPIP, Elfrida Herawati Siregar, dan Direktur Penyusunan Rekomendasi Kebijakan dan Regulasi BPIP. R. Dian M. Johan Johor Mulyadi.
Bandung – Dimulainya kontestasi politik di tingkat daerah atau pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024, seharusnya dibarengi dengan pemerataan aksesibilitas siaran bagi masyarakat. Sayangnya, keterjangkauan siaran free to air (FTA), TV dan radio, masih jadi kendala. Masih banyak masyarakat daerah yang belum dapat menerima siaran karena blank spot. Padahal, informasi terkait pesta demokrasi lokal ini sangat dibutuhkan mereka.
Pada saat pendampingan Kunjungan Kerja Spesifik Komisi I DPR RI terkait Persiapan Pengawasan Penyiaran Pilkada di Lembaga Penyiaran yang berlangsung di kantor Gubernur Jabar, Bandung, Jawa Barat (Jabar), Rabu (28/8/2024), permasalahan siaran Pilkada di wilayah blank spot ini diutarakan Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza.
Terkait hal ini, Reza mengusulkan dan mendorong pemanfaatan media penyiaran lain yakni Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) untuk memasok kebutuhan informasi tersebut. Pasalnya, di banyak daerah yang tidak tersedia siaran free to air justru terjangkau siaran dari LPB.
Berdasarkan data, dari 416 kabupaten dan kota terdapat 113 wilayah kabupaten dan kota yang tidak terjangkau siaran free to air. Bahkan, di Jabar khususnya daerah Bandung, masih ada wilayah yang blank spot seperti di Bandung wilayah timur dan selatan.
“Keterbatasan ini tentunya akan menyulitkan pihak penyelenggara dan juga kontestan untuk mensosialisasikan dan mengkomunikasikan pesan politiknya ke masyarakat. Masyarakat juga jadi tidak tahu siapa saja calon-calon pemimpin dan visi misinya. Inilah kenapa kami mendorong LPB, termasuk di wilayah NTB (Obel-obel) yang baru tiga tahun terjangkau siaran itu, untuk bisa dimanfaatkan dalam menyiarkan pilkada ini,” kata Mohamad Reza.
Masih menyoal siaran Pilkada, Reza juga mendorong lembaga penyiaran untuk memproduksi konten Pilkada berdasarkan kebutuhan di masing-masing daerah. Pada pengalaman Pilkada sebelumnya, hampir sebagian besar siaran kontestasi lokal ini diolah, diproduksi dan dimanfaatkan lembaga penyiaran dari Jakarta.
“Jangan bawa pilkada ke Jakarta. Debatnya dan iklannya bawa ke daerah. Bikin di daerah masing-masing dan dimanfaatkan oleh lembaga penyiaran di daerah itu. Hal ini agar radio maupun TV dapat pemerataan dan masyarakat daerah dapat menikmati informasi pilakda ini. Kami berharap ini menjadi perhatian. Kami berharap LPP, LPS dan LPB termasuk radio bisa bersama-sama memanfaatkannya,” tuturnya yang turut diamini Anggota KPI Pusat Aliyah, Tulus Santoso, dan Muhammad Hasrul Hasan yang hadir dalam pertemuan koordinasi itu.
Menyangkut pengawasan siaran Pilkada, Reza menyampaikan jika pihaknya terus melakukan dan melanjutkan kolaborasi serta kerja sama dengan berbagai stakeholder termasuk KPID dan Dinas Infokom di daerah. “Kami melakukan banyak kegiatan bersama melalui program sosialisasi dan literasi terkait pemantauan dan pengaduan siaran pilkada,” tandasnya.
Kolaborasi pengawasan siaran pilkada
Sementara itu, Komisi I DPR RI mendorong adanya kolaborasi antara Pemerintah Provinsi Jabar melalui Diskominfo, KPI Pusat, KPID Jabar serta LPP TVRI dan RRI dalam hal pengawasan program penyiaran pilkada yang tidak keberpihakan.
“Sekarang 3 bulan lagi pilkada serentak, ini akan lebih riuh kondisinya karena pemilihan di 27 kota/kabupaten dan 1 provinsi. Dengan konfergensi media hari ini begitu hebatnya, maka peran TVRI dan RRI sangat signifikan untuk membentuk opini publik. Ini yang sedang kita jaga untuk tujuan pemilu damai, netral,” kata Ketua Tim Komisi 1 DPR RI Junico Siahaan dalam pertemuan itu.
Saat ini, lanjutnya, penyebaran jangkauan siar masih terbatas, sehingga masih ada risiko potensi dis-informasi yang dapat merugikan masyarakat, “Oleh karena itu kita ingin menjaga netralitas, jangan sampai kita terlena dengan tantangan kedepan distrupsi digital, dis informasi. Jangan sampai masyarakat menjadi korban karena literasi informasi yang beredar itu salah,” jelasnya.
Penjabat Gubernur Jabar Bey Machmudin menambahkan, kolaborasi antara Pemprov, KPI dan lembaga penyiaran merujuk pada Deklarasi Jabar Anteng (Aman Netral Tenang) yang terbukti membawa Jabar kondusif saat Pilpres 14 Februari lalu.
"Kami telah mendeklarasikan Jabar Anteng dan berharap masyarakat menyikapi proses demokrasi ini dengan penuh kedewasaan, tetap menjadikan persatuan dan kesatuan di tengah perbedaan pandangan politik," ujar Bey.
Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak hampir 50 juta jiwa, dan DPT terbanyak sekitar 35 juta pemilih, Jabar relatif sukses menggelar pelaksanaan Pemilu. "Kami termasuk provinsi yang terendah dalam pelanggaran yang dilakukan oleh ASN. Kami akan terus bertahan dan mengedepankan azas tersebut," imbuhnya.
Dia juga memandang lembaga penyiaran berperan krusial sebagai media informasi yang dapat membentuk opini publik dan memengaruhi persepsi masyarakat tentang Pilkada. Karenanya, kolaborasi pihaknya dengan lembaga penyiaran juga mencakup pengawasan konten publikasi di kanal publikasi Pemprov serta pengawasan konten media digital yang bekerja sama dengan media di Jabar. ***
lebih di kaji lagi dalam penayangan sinetron indonesia..alur cerita yang mengumbar kebencian balas dendam dan melakukan segala cara agar tujuan tercapai mencerminkan sikap yang tak pantas di contoh...tolong KPI lebih teliti lagi dan menegur sutradara serta penanggung jawab sinetron yang alur cerita nya Negatif...adabaiknya dalam setiap cerita narasi ada pesan mendidik .