- Detail
- Dilihat: 15360
Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk lebih mengatur isi dan unsur dari iklan kampanye partai politik, dan bukan hanya tarif iklan saja.
"Saya pikir, yang lebih penting untuk diatur dalam siaran iklan kampanye partai politik melalui media itu bukan tarifnya, melainkan substansi iklan parpol," kata Ketua Umun AJI Eko Maryadi saat dikutip dari kantor berita Antara di Jakarta, Minggu (10/2).
Ia berpendapat, pada zaman sekarang, suatu iklan kampanye oleh partai politik sudah tidak layak lagi bila hanya menampilkan hal-hal baik tentang profil partai atau tokoh politik tanpa memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.
"Misalnya, ketimbang iklan kampanye itu hanya 'menjual' calon yang cantik atau tampan, lebih baik iklan itu menampilkan rekam jejak. Jadi, harus ditunjukkan kebajikan apa yang pernah dilakukan si kandidat ini hingga partai mengusung dia," ujarnya seperti dikutip pikiran rakyat dan antara.
Ia juga mengatakan iklan-iklan kampanye politik yang beredar sejauh ini di media cenderung 'memanipulasi' publik dengan hanya menyatakan bahwa partai tersebut adalah pilihan yang 'terbaik' tanpa menunjukkan bukti melalui rekam jejak.
"Semua iklan kampanye parpol cuma bilang 'partai saya adalah yang terbaik' padahal buktinya apa sih. Hal ini harus dibuktikan melalui rekam jejak mengenai apa saja yang selama ini telah dilakukan oleh partai tersebut. Tidak boleh memanipulasi masyarakat dengan hanya janji-janji agar dipilih," katanya.
Selanjutnya, Eko menilai bahwa KPU dan KPI memang akan sulit membuat batasan-batasan untuk isi iklan kampanye parpol karena hal itu berkaitan dengan kreativitas rancangan suatu iklan.
Namun, dia meyakini Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dapat digunakan untuk mengatur hal-hal apa saja yang patut dan tidak patut ditampilkan dalam iklan kampanye parpol.
"Jadi, peraturan itu bisa membatasi partai dan tokoh politik untuk tidak 'berbohong' kepada publik. Bohong itu misalnya dengan mengatakan kandidat partai itu sudah bekerja banyak untuk republik ini dan akan bekerja lebih banyak lagi bila dipilih. Ini menjadi suatu kebohongan karena belum ada pembuktian," kata Eko.
Lebih realistus Eko juga menekankan bahwa iklan politik seharusnya lebih bersifat realistis dan mendidik dengan mengajarkan substansi yang penting, seperti pemaparan alasan masyarakat harus ikut memilih dalam pemilu.
Selain itu, dia mengimbau partai-partai politik untuk menerapkan disiplin terhadap peraturan kepada para kandidat dan anggotanya."Politisi itu kan diusung oleh parpol sehingga ketaatan itu harus ditunjukkan dahulu oleh parpol. Jadi kalau si kandidat melanggar peraturan maka partainya tidak boleh membela karena parpol harus menjadi contoh dan alat untuk mendidik rakyat," ujarnya.
Terkait penetapan tarif iklan pemilu parpol, dia menganggap hal itu sebagai suatu upaya untuk meratakan kesempatan bagi semua partai politik peserta pemilu.
Namun, dia khawatir penetapan tarif iklan itu kurang efektif untuk membatasi 'kekuasaan' beberapa partai atau tokoh politik terhadap penggunaan media-media tertentu.
"Jadi, dengan penetapan tarif iklan yang sama itu tidak ada lagi kesan membedakan terhadap parpol 'papan atas' dengan parpol 'menengah ke bawah', namun yang jadi masalah adalah monopoli kepemilikan media itu sudah dikuasai oleh beberapa elit politik. Kalaupun mereka bilang sudah tidak memiliki lagi tapi pengaruh mereka pada medianya pasti masih ada," kata Eko. Red