Tarakan - Salah satu problem yg dihadapi warga masyarakat lokal yang bermukim di sekitar kawasan perbatasan antar negara adalah akses informasi. Kehadiran UU Penyiaran, UU Pers, dan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), sejauh ini belum sepenuhnya dapat menjamin mereka mendapatkan akses informasi yang mudah dan bermanfaat bagi kebutuhan mereka sehari-hari. Selama ini distribusi informasi memang masih terkesan elitis, hanya berputar-putar di kawasan lain yang secara geo-politik dan geo-ekonomi sudah maju.
Sementara itu, mereka sesungguhnya sangat membutuhkan ketersediaan informasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pengembangan kultur politik dan sosial budaya daerahnya. Informasi itu sangat diperlukan menjadi energi bagi upaya mencairkan modal sosial, modal ekonomi, modal politik, dan modal budaya, yang secara kolektif sudah mereka miliki. Hanya saja, seluruh modal tadi belum banyak disentuh dengan strategi distribusi informasi yang kuat sehingga cenderung masih menjadi modal beku. Celakanya kalau kemudian modal-modal itu hanya disentuh oleh media lain dari negeri tetangga, maka bukan tidak mungkin dapat menyebabkan terbelahnya (segregasi) rasa kecintaan dan kebanggaan merekas sebagai WNI. Hal ini disampaikan Amirudin, Komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran dalam forum Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dengan lembaga penyiaran di Tarakan, Kalimantan Utara (2/10).
Menurut Amir, sekalipun tugas membagi dan mendistribusi sumber-sumber informasi adalah menjadi tugas utama negara, tetapi karena penyiaran adalah lembaga ekonomi yang sekaligus institusi budaya yang menggunakan ranah publik, milik publik yang dikuasai negara, maka, setiap lembaga penyiaran yang berdiri di kawasan perbatasan kiranya terkena kewajiban pula untuk menjalankan fungsi integrasi, perekat, dan distribusi informasi. Bukan hanya itu, media juga wajib menjalankan fungsi diplomasi penyiaran dalam kerangka mengembangkan persaudaraan antarnegara melalui penyiaran, agar hubungan antarnegara berlangsung baik dan produktif di kawasan perbatasan antarnegara. “Lembaga penyiaran (LP) di kawasan perbatasan jangan sampai menyediakan informasi dan hiburan yang kalah kualitasnya dengan informasi dan hiburan yang disediakan media dari negari tetangga. Atau bahkan menyediakan informasi dan hiburan sampah yang dapat melunturkan rasa kebanggaan (dignity) dan kecintaan sebagai WNI. Inilah tantangan dan sekaligus peluang bagi LP yang berada di wilayah perbatasan,” tegasnya.
Amirudin menambahkan, diharapkan media yang berada di sana mau mengemban fungsi integrasi, dan sekaligus diplomasi penyiaran dalam kerangka mewujudkan penyiaran sebagai lembaga pemersatu, perekat hubungan antarnegara, pendistribusi informasi, dan penyedia hiburan yang bermanfaat sesuai kebutuhan kolektif masyarakat lokal di kawasan perbatasan.
Dalam forum tersebut Azimah Subagijo, Koordinator Bidang Pengelolaan Sruktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat, juga menyampaikan hasil kajian Minat, Kenyamanan dan Kepentingan (MKK) Publik untuk Kabupaten Tarakan dan Kabupaten Tanjung Selor sebagai bahan pertimbangan pengembangan penyiaran di kawasan perbatasan. Diantaranya, dari 70 responden hasil survey MKK ditemukan bahwa media yang masih dibutuhkan masyarakat adalah televisi (65.7%), media online (21.4%), koran (8.6%), sisanya majalah dan radio. Sementara jenis program yang paling disukai berdasarkan urutan teratas adalah program siaran: hiburan, politik, sosial budaya, kriminalitas, hukum/korupsi, dan religi.
Kemudian acara dengan format acara politik, ekonomi, sosial budaya, hukum/korupsi, kriminalitas, religi dan dunia pertanian/perkebunan/perikanan yang paling diinginkan masyarakat adalah dalam bentuk format berita. Sementara format acara hiburan diinginkan hadir dalam bentuk film/sinetron. Lalu format acara anak, masyarakat masih menyukai program pencarian bakat. Dan untuk format acara olah raga, yang paling disukai adalah program pertandingan siaran langsung (live).
Mengupas kajian mengenai kepentingan penonton, secara kognitif untuk variabel program yang menambah pengetahuan dan memuaskan rasa ingin tahu masih menjadi perhatian bagi masyarakat. Secara afektif, peringkat tertinggi adalah variabel program yang diharapkan dapat memberikan informasi dan peringatan, lalu diikuti oleh program yang menghibur tanpa harus berfikir keras serta program yang dapat menyalurkan emosi. Kemudian, secara integratif atau edukatif, (1) masyarakat suka pada program yang dapat meningkatkan hubungan dengan Tuhan; (2) program yang berisi upaya untuk meningkatkan keterampilan, dan (3) program yang dapat meningkatkan daya kritis masyarakat.
Lebih lanjut kajian mengenai kenyamanan publik, (1) masyarakat masih antipati terhadap program yang mengandung unsur pornografi, cabul dan seronok; lalu (2) unsur pelecehan seks atau perkosaan; dan (3) tidak mendukung isi siaran yang mengandung unsur penistaan pada nilai-nilai agama, dan terakhir (4) juga tidak setuju dengan muatan yang mengandung kekerasan, baik verbal maupun nonverbal.
Dalam sambutannya, Idy Muzayyad, Wakil Ketua KPI Pusat mengatakan, sebagai provinsi baru masyarakat Kaltara memiliki hak yang sama untuk perolehan informasi yang layak dan benar, pendidikan, hiburan yang sehat, perekat dan kontrol sosial. Disamping ada fungsi ekonomi dan kebudayaan, sebab dari fungsi ini diharapkan lembaga penyiaran yang hadir nanti dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta melestarikan budaya lokal masyarakat Tarakan.
Kemudian Fajar Arifianto Isnugroho, Komisioner Bidang Kelembagaan juga menyinggung peran penting SDM lembaga penyiaran lokal yang terampil dan berpengalaman dari daerah. Ia menyarankan agar pelatihan SDM lembaga penyiaran lokal lebih ditingkatkan lagi, sebab hal ini berpengaruh langsung terhadap kualitas isi siaran yang disajikan.
Danang Sangga Buana, komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran mengamini pendapat semua komisioner di atas. Ia pun mengingatkan dampak negatif isi siaran yang disebabkan lunturnya komitmen lembaga penyiaran terhadap amanah UU Penyiaran. Ini akan berpengaruh pada proses produksi konten lokalnya. Apalagi Tarakan merupakan pintu utama wilayah perbatasan. “Bagaimana agar 10% tidak disi dengan siaran seperti Jakarta, tapi harus dengan program-program lokal yang dapat memperkukuh integrasi bangsa dan memperkuat NKRI sebagai suatu upaya serius yang menjadi tanggung jawab kita bersama,” ujar Danang. (Int)
Ketimpangan Informasi di Perbatasan Wajib Menjadi Perhatian Media
- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 64475