Jakarta - Budaya membaca yang masih rendah menyebabkan anak-anak di generasi saat ini banyak yang terdidik lewat tontonan macam sinetron dan film. Kerisauan orang tua terhadap konten sinetron dan film di televisi dinilai sangat wajar, termasuk juga kerisauan terhadap konten Over The Top (OTT), Netflix dan sebagainya yang diakses melalui internet.

Ahmad Yani Basuki, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) menyampaikan hal tersebut dalam diskusi kelompok terpumpun  yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan tema, “Mengembalikan Kualitas Sinetron di Indonesia”, (16/12).

Senada dengan Yani, sineas kawakan Deddy Mizwar menyampaikan pula keresahannya tentang ranah internet yang belum diregulasi. Menurut Deddy, pengelola televisi yang menghadirkan sinetron dan film di ruang-ruang publik, diatur demikian ketat oleh regulator baik itu KPI atau pun LSF. “Tidak boleh ada adegan kekerasan, tidak boleh ada konten dewasa di televisi, namun masyarakat dapat mengakses dengan mudah melalui internet”, ujar Deddy.

Kekosongan regulasi ini yang menjadikan ekosistem pertelevisian menjadi penuh dengan tantangan. Bagaimana mungkin OTT dan youtube tidak disensor, sementara Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran  (P3SPS) KPI sangat ketat, ujar Deddy.

Padahal, ujarnya, TV konvensional atau terestrial butuh ruang untuk hidup, tapi pesaingnya saat ini yang ada di internet, tidak terjangkau oleh regulasi dari KPI dan LSF. Deddy berharap, perumusan Undang-Undang Penyiaran yang baru nanti dapat memberikan keadilan bagi televisi untuk dapat tumbuh dan hidup.

Dalam kesempatan tersebut, Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo menjelaskan tentang mekanisme penjatuhan sanksi yang ditempuh oleh KPI atas setiap aduan. Mengingat KPI adalah representasi publik, maka setiap aduan selalu ditindaklanjuti dengan cara diuji kebenarannya. “Sekalipun aduan hanya satu, jika terbukti melanggar P3 & SPS tentu akan disanksi. Namun seribu aduansekalipun jika tidak dapat dibuktikan pelanggarannya, KPI tidak mungkin jatuhkan sanksi”, ujar Mulyo. Penjelasan Mulyo ini menjawab pertanyaan dari Deddy tentang mekanisme KPI dalam menjaring aduan dari masyarakat. Dirinya juga memaparkan jumlah dan sebaran jenis aduan masyarakat yang sampai ke KPI sepanjang tahun 2019. “Sinetron merupakan salah satu program siaran yang paling banyak diaduan masyarakat lantaran sarat muatan kekerasan fisik dan verbal, serta seputar topik konflik rumah tangga dan cinta remaja.

Tentang kebijakan penjatuhan sanksi oleh KPI, dijelaskan Komisioner Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela. Dia memastikan bahwa KPI selalu melihat konteks dari sebuah tayangan, sebelum memberikan sanksi. Secara khusus Hardly memberikan contoh beberapa adegan sebuah sinetron yang diributkan oleh warganet di media sosial, padahal setelah dilihat konteksnya secara keseluruhan, tidak ada pelanggaran.

Hardly juga menyayangkan betapa warganet kerap kali ribut dengan program-program yang berkualitas buruk, namun tidak mengapresiasi program siaran yang berkualitas baik. KPI telah melaunching sebuah agenda #BicaraSiaranBaik, sebagai seruan kepada masyarakat agar menyebarluaskan program ini. “Diviralkan supaya kemudian ada lingkaran kebaikan yang kita buat”, ujarnya. Di satu sisi masyarakat juga harus diedukasi, bahwa masih banyak pilihan di televisi untuk ditonton. “Karena masih banyak siaran baik di televisi kita”, pungkasnya.

Kesadaran untuk senantiasa meningkatkan kualitas sinetron dan film adalah bagian dari menyelamatkan generasi muda. Apalagi hingga saat ini, televisi masih menjadi media yang paling banyak dikonsumsi, sehingga masih menjadi sebuah medium pembelajaran informal bagi masyarakat. Pada awal diskusi, Mulyo melihat fenomena di dunia nyata yang kerap kali menunjukkan sudah semakin jauhnya anak-anak meninggalkan adab yang baik terhadap orang tua. Dikhawatirkan, memang seperti itu pula konten di televisi khususnya pada sinetron dan film yang kerap kali dengan mudah menyihir pemirsanya.

 

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, ketika menyampaikan orasi ilmiah di depan acara wisuda Universitas Gunadarma, Minggu (15/12/2019) lalu.

Jakarta -- Perkembangan teknologi komunikasi sekarang ini harus diimbangi dengan kesiapan sumber daya manusia yang mumpuni. Kemampuan beradaptasi dan mampu melahirkan kreasi serta ide terbarukan akan membuka peluang baru di tengah perubahan yang begitu cepat dan massif.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Agung Suprio, dalam orasi ilmiah di depan ribuan wisudawan dan wisudawati Universitas Gunadarma, Minggu (15/12/2019). Ia pun meminta para wisudawan dan wisudawati bersiap diri menghadapi era industri 4.0 dan juga 5.0.

“Keutungan dari digital ini akan memunculkan profesi baru dan ini akan menjanjikan generasi milineal atau teman teman yang baru lulus. Inilah yang harus saya katakan, kita harus terbuka dengan perkembangan zaman. Jika sudah masuk ke era 5.0 akan kita temukan banyak profesi dan penemuan baru,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Agung menyinggung persoalan transisi teknologi penyiaran di Indonesia yang hingga saat ini belum terealisasi. Padahal, migrasi dari analog ke digital ini sangat mempengaruhi banyak hal, salah satunya menghilangkan wilayah blankspot di tanah air.

“Buthan dan Negeria, sudah melakukan migrasi terhadap penyiarannya. Adapun kita masih belum dan tertinggal. Padahal, jika kita sudah imigrasi, kanal sisanya dapat digunakan untuk internet dan hal ini memberi ruang menggunakan teknologi 5.0,” tutur Agung.

Berkembangnya teknologi, lanjut Agung, membuat lembaga penyiaran tak hanya berkompetisi dengan sesama tapi juga platform media lain seperti youtube dan lainnya. Dia juga mengingatkan saat peralihan ke digital, media penyiaran harus berpikir menayangkan konten yang kreatif yang dapat dinikmati penonton sekaligus menyebarkan di media baru. “Saat ini saja, pertumbuhan iklan di TV sudah tidak seperti dulu lagi. Pengusaha sudah banyak mengiklankan di media baru. Setiap hari selalu terjadi kenaikan penonton di media baru,” katanya.

Saat ini, orang lebih banyak mengkonsumsi tayangan dari smartphone. Fenomena ini mestinya diikuti oleh adanya regulasi yang mengatur dan mengawasi. “Di forum ini, saya ingin katakan pengaturan terhadap media baru menjadi konsern kita bersama. Bagaimana pun setiap media baru yang bersiaran dan berdampak terhadap publik itu harusnya diatur. Di negara lain saja sudah diatur. Pemerintah, stakeholder, masyarakat termasuk DPR, harus memastikan bahwa media baru ini harus diatur demi tercapainya tujuan penyiaran,” tandas Agung. ***

 

Jakarta -- Rencana Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012, ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan diskusi kelompok terpumpun atau FGD bertajuk “Program Siaran Anak dan Perempuan”. KPI berupaya menemukan formulasi yang pas dan tegas mengenai aturan siaran anak dan perempuan.

Saat membuka diskusi, Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan revisi P3SPS menjadi salah satu program prioritas lembaganya yang tertuang dalam rekomendasi Rapat Pimpinan KPI 2019, beberapa waktu lalu. Karenanya, lanjut dia, KPI mengawali proses revisi tersebut melalui media diskusi dengan berbagai kalangan dan stakeholder. 

“Kami berupaya mencari banyak bahan masukan dari manapun dan yang sekarang kami bahas tentang aturan siaran anak dan perempuan,” kata Mulyo, Jumat (13/12/2019).

Hal senada turut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti. Menurutnya, masukan yang disampikan akan sangat berguna demi tujuan bersama yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kehidupan masyarakat, dan kembali pada tujuan penyiaran. “Karena KPI ini bekerja berdasarkan UU Penyiaran,” katanya.

Terkait pokok bahasan diskusi, Perwakilan Komisi Perempuan Indonesia, Masruchah, salah satu narasumber diskusi, menilai isu perempuan, anak dan disablitas, perlu penegasan dalam aturan siaran dengan mengedepankan perspektif keadilan yang substantif. Menurutnya, aturan siaran harus memberi ruang perlindungan bagi anak dan perempuan karena merupakan hak asasi mereka.

“Siaran itu sebaiknya tidak mengungkap identitas korban dan pelaku anak. Tidak menstigma korban sebagai pemicu kekerasan. Tidak menggunakan diksi yang bias. Tidak mengukuhkan stereotype korban, janda, lesbian, disabilitas. Tidak menggunakan nara sumber yang bias dan tidak mereplikasi kekerasan,” kata Masruchah di dalam materi presentasi berjudul “Sudahkah Siaran TV Ramah Anak dan Perempuan”.

Dalam kesempatan itu, Masruchah meminta KPI dengan kewenangannya mendorong mekanisme integrasi isu keberagaman dengan menjunjung tinggi prinsip non diskriminasi dan  kesetaraan substantif  di kelembagaan media TV.

Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Leny Rosalin, menegaskan komitmen lembaganya untuk melindungi anak dari pengaruh buruk siaran. “Saya komit karena memang ini menjadi kepedulian kami. Jangan sampai anak kita menjadi korban dari produk yang tidak baik,” katanya.

KPPA, lanjut Leny, siap bekerjasama dengan KPI untuk perlindungan anak dan perempuan. Dia berharap kerjasama yang sudah terjalin lama dapat mewujudkan siaran berkualitas. Selain itu, pihaknya akan ikut memberi masukan untuk revisi P3SPS KPI. “Kita harus lebih banyak berdiskusi dan mari bergandengan tangan untuk melindungi anak Indonesia,” tandas dia. *** 

 

 

Jakarta - Mendapatkan sinetron dan film yang berkualitas baik tidak mungkin dengan mengandalkan produksi kejar tayang (stripping), yang hari ini produksi besok sudah ditayangkan. Sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) yang langganan mendapat Anugerah dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diproduksi secara serius, dan sudah dimulai sejak dua bulan lalu untuk tayang bulan Mei tahun depan. Hal ini disampaikan sutradara senior Deddy Mizwar, dalam kegiatan diskusi kelompok terpumpun, “Mengembalikan Kualitas Sinetron di Indonesia”, yang diselenggarakan KPI Pusat, (16/12). 

Dalam menggarap PPT ini, ujar Deddy, banyak proses kreatif yang harus dilewati. Mulai dari membahas tema besar, analisis karakter dan penulisan scene plot terlebih dahulu. Belakangan baru skenario dibahas bersama. Panjangnya proses yang dilewati ini penting untuk menjaga kualitas sinetron produksinya. Karena itu, Deddy selalu menolak untuk produksi stripping bagi sinetronnya. “Gak bisa untuk jaga kualitas, hari ini syuting besok sudah tayang!” ujar Deddy. Ada banyak elemen yang harus dipadupadankan dalam produksi sinetron. Penayangan sinetron boleh saja stripping, tapi produksi jangan, tegasnya.

Film adalah sihir dalam satu detik! Ujar Deddy. Untuk itu sistem produksi harus dijalankan dengan baik dan ideal. “Ada konsekuensinya saat kita membuat film, karena kita bicara tentang perilaku manusia yang dapat dipengaruhi oleh film”, paparnya. 

Pemeran Bang Jack di sinetron PPT ini memegang teguh prinsip untuk hanya memproduksi film yang bagus dan berkualitas. Ia tidak mau rugi dua kali dengan membuat film atau sinetron yang jelek. Jika film dibuat dengan bagus, tentu banyak yang menonton. Namun jika film dibuat dengan jelek, uang habis dan dosa justru bertambah. Apalagi buat Deddy yang langganan pula menerima penghargaan Piala Citra ini, membuat film adalah bagaimana menjadikannya sebagai ladang ibadah. 

Tentang banyaknya film atau sinetron berkualitas rendah yang masih memiliki banyak penonton, menurutnya, ini lebih dikarenakan masyarakat sudah tidak ada pilihan lagi di televisi untuk ditonton. Produksi film atau sinetron yang baik di televisi memang membutuhkan biaya yang cukup besar, namun tentu saja kualitas akan berbanding lurus dengan keuntungan ekonomis bagi rumah-rumah produksi maupun pengelola televisi. Sinetron baik dihadirkan oleh rumah-rumah produksi yang punya komitmen. Namun, dia berharap televisi juga komitmen pada sinetron atau film yang bagus pula. Jika televisi hanya berorientasi pada sekedar laku dan banyak ditonton, maka Deddy mempertanyakan logika apa yang hendak dibangun untuk kualitas sinetron di negeri ini. 

Selain Deddy, diskusi yang dipandu oleh Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo ini, juga dihadiri oleh Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Ahmad Yani Basuki. Pada kesempatan tersebut, Yani memaparkan pedoman umum yang digunakan lembaganya dalam melakukan penyensoran. Selain itu, dirinya juga berpendapat bahwa film sebagai sebuah karya seni budaya yang dapat meningkatkan daya tahan bangsa ini atas intervensi budaya asing. 

Yani berharap kearifan lokal di Indonesia dapat dioptimalkan oleh pelaku industri film. “Misalnya seperti film Silariang dari Makassar yang diakui secara nasional”, ujarnya. Jika sineas kita tidak peduli dengan kekayaan budaya dan kearifan lokal bangsa ini, maka kita hanya menjadi pasar saja dari sineas luar seperti Korea dan Hollywood yang siap menjadikan budaya kita sebagai inspirasi film mereka. 

 

Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia dan Mohamad Reza, menerangkan aplikasi online sistem stasiun jaringan di depan perwakilan lembaga penyiaran berjaringan, Jumat (13/12/2019).

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengenalkan sistem aplikasi online Sistem Stasiun Jatingan (SSJ) kepada lembaga penyiaran yang bersiaran jaringan. Kegunaan sistem ini untuk merekam data konten lokal lembaga penyiaran swasta berjaringan. 

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio mengatakan, sistem online aplikasi ini diciptakan agar konten lokal pada televisi berjaringan semakin mudah diawasi. "Saat ini, sudah era digital, oleh karena itu, aplikasi harus sebanyak mungkin diciptakan untuk menyelesaikan pekerjaan secara efektif dan efesien," katanya saat memberi sambutan sosialisasi aplikasi, Jumat (13/12/2019).

Agung menjelaskan, aplikasi online sistem untuk stasiun jaringan ini terdiri dari prosentase jumah tayangan perhari, tayangan pada waktu produktif, produksi lokal, dan bahasa lokal. Menurutnya, dengan aplikasi ini pihaknya dapat melihat konten lokal setiap bulannya dan dapat memberikan perbaikan secara terukur.

Hal senada turut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza. Menurutnya, aplikasi ini untuk merekam seluruh data siaran jaringan selama setahun untuk di evaluasi KPI. Hasil evaluasi tahunan ini akan diakumulasi sebagai bahan penilaian untuk perpanjangan izin penyiaran lembaga penyiaran bersangkutan.

“Hasil tahunan ini untuk evaluasi sepuluh tahunan. Nah, semua evaluasi akan diakumulasi pada saat perpanjangan izin. Jadi pada periode siapapun tidak bisa menampikkan begitu saja penilaian periode sebelumnya. Ini gunanya aplikasi yang kami buat dan kami akan memasukan koreksi dari KPID dalam aplikasi ini,” kata Reza.

Di tempat yang sama, Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, menyatakan tentang pentingnya siaran lokal untuk kemanfaatan bagi masyarakat lokal termasuk lembaga penyiaran lokal. Menurutnya, hal ini perlu dicarikan solusi sesegera mungkin. “Jangan hanya jadi perbincangan saja dan aplikasi ini salah satu cara kita untuk mengurai permasalahan sistem stasiun jaringan ini,” katanya. 

Dia juga meminta hal ini bukan hanya menjalankan kepatuhan soal waktu penayangan, tapi juga lihat asas kemanfaatnya siaran tersebut. “Ini jangan hanya melepaskan kewajiban saja,” tuturnya. 

Irsal mengatakan, aplikasi yang dibuat ini untuk mempermudah pekerjaan bukan untuk mempersulit. “KPID pun cukup menggunakan informasi yang ada di aplikasi ini, baik itu informasi program maupun yang lain. Informasi yang sama dapat diperoleh di aplikasi ini,” tambahnya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.