Makassar - Menghadirkan program siaran anak yang sesuai dengan kebutuhan anak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, adalah sebuah investasi yang nilainya tidak dapat diukur dengan rupiah semata. Dengan konten televisi yang ramah anak, kita akan mendapatkan generasi muda yang cerdas dan tangguh, yang nantinya akan menjadi penopang kehidupan bangsa di masa depan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Bintang Darmawati menyampaikan hal tersebut saat menjadi pembicara kunci di acara Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Universitas Hasanuddin, Makassar, (14/9). 

Menteri Bintang menyayangkan masih sangat sedikit sekali media yang dikhususkan untuk anak-anak. “Film dengan kategori usia seluruh umur yang ramah anak, masih jauh lebih rendah dari jumlah penonton anak,” ujarnya. Hal inilah yang membuat anak-anak beralih menonton tayangan televisi dengan genre yang tidak sesuai usianya. 

DIkatakan Bintang, anggapan segmentasi program siaran anak membosankan dan tidak komersil, seharusnya dapat diubah. “Hadirnya program siaran yang ramah anak, merupakan investasi besar dalam menghadirkan calon pemimpin bangsa di masa depan,” tambahnya. Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga mendorong lembaga penyiaran untuk memperhatikan dan melindungi hak-hak anak dan remaja. Termasuk, memilih dengan cerdas, figur-figur publik yang tampil di televisi agar kemunculannya di layar kaca dapat memberikan contoh yang baik untuk anak-anak. 

Dalam kesempatan itu, turut hadir sebagai pemateri, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela. Sebagai lembaga yang menjadi perwakilan publik, KPI menitikberatkan aturan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) tahun 2012 pada prinsip perlindungan anak dan remaja. Kebijakan KPI dalam mewujudkan konten siarna yang ramah anak dapat dilihat dengan adanya aturan tentang klasifikasi program siaran, pengaturan jam siaran serta pengaturan konten yang mendukung tumbuh kembang yang baik bagi anak, termasuk juga melindungi anak-anak yang terkait dengan kasus hukum baik itu sebagai pelaku atau korban, di ranah penyiaran. Ini adalah bentuk komitmen KPI dalam menjaga masa depan anak-anak Indonesia. 

Literasi Media yang dilakukan KPI saat ini, ujar Hardly, diharapkan dapat membantu penoton televisi untuk memilah dan memilih tayangan sesuai dengan klasifikasi dan kebermanfaatannya, termasuk untuk anak-anak. Literasi juga menjadi bentuk intervensi KPI ke masyarakat, untuk mengubah selera menonton. Hal ini terkait dengan preferensi industri yang hanya akan memproduksi program siaran yang memiliki potensi penonton yang besar. “Industri tidak akan memproduksi program siaran, jika tidak ada yang menonton,” ujar Hardly. Untuk itu, masyarakat juga harus mengetahui program-program siaran mana saja yang memang layak untuk ditonton, sehingga ikut membantu keberlangsungan program yang baik. 

Narasumber lain yang turut hadir dalam GLSP adalah Andi Khairil, selaku Direktur Program Trans 7. Andi berkesempatan menyampaikan program-program anak yang diproduksi oleh Trans 7. Menurut Andi, potensi penonton anak cukup besar hingga mencapai 19 persen dan harus dikelola dengan baik. “Bukan saja oleh kalangan media, tapi juga orang tua,”ujarnya. Andi mengingatkan, di era teknologi saat ini, peran serta orang tua atas akses media oleh anak-anak ini, harus dilakukan secara serius. Orang tua harus mengambil peran dalam mengawasi anak-anak mengakses konten di media. 

Di Trans 7, ujar Andi, ada sekitar lima program yang khusus untuk anak-anak, yang diharapkan bisa memberikan nontonan yang ramah untuk anak. Andi meyakini, praktisi penyiaran juga dapat ambil bagian mengurangi kekerasan terhadap anak melalui tayangan di televisi yang ramah dan aman bagi khalayak anak. Secara khusus, Andi mengungkap, Trans 7 selalu mengingatkan talent yang akan tampil di program siaran Trans 7 agar tidak lepas control dalam bereksporesi. Ini sejalan dengan keinginan Trans 7 agar seluruh konten televisinya ramah untuk anak, tidak hanya pada program tanak saja. “Karena lembaga penyiaran mempunyai tanggungjawab moral untuk memberikan tayangan yang mendidik moral anak bangsa,” pungkas Andi./Editor:MR

 

 

Sikap KPI Pusat Terhadap Penyelesaian Dugaan Kasus Pelecehan Seksual dan Perundungan (Bullying) di Lingkungan Kerja

 

Jakarta – Menyikapi informasi terbaru mengenai dukungan penyelesaian dugaan kasus pelecehan seksual dan perundungan (bullying) di lingkungan kerja KPI Pusat, disampaikan hal-hal sebagai berikut: 

1. KPI telah mendampingi terduga korban untuk melaporkaan ke Polres Metro Jakarta Pusat pada tanggal 1 September;

2. KPI mendukung penuh proses hukum kasus MS yang telah dilaporkan di Kepolisian;

3. KPI telah membebas-tugaskan terduga pelaku agar dapat menjalani seluruh proses hukum;

4. KPI menegaskan, tidak ada tekanan, intervensi atau upaya apapun oleh KPI dalam penyelesaian kasus ini selain diselesaikan melalui jalur hukum;

5. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian kasus ini agar dapat menghormati proses hukum yang saat ini sedang berjalan dan tidak beropini serta mengambil kesimpulan atas hasil penyelidikan yang sedang berlangsung demi menjaga suasana psikologis korban.

 

 

Jakarta, 12 September 2021

 

AGUNG SUPRIO

Ketua KPI Pusat

 

Batu -- Upaya menciptakan siaran televisi yang ramah terhadap perempuan tak hanya melulu soal isi konten siarannya. Keadilan terhadap perempuan dalam ruang produksi, redaksi hingga managerial di lembaga penyiaran pun harus diperjuangkan. Dengan begitu, sensitivitas gender dapat terbangun kuat dalam industry penyiaran. 

Keadilan bagi perempuan atau persfektif gender dalam konteks ini disampaikan Asisten Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Eko Novi Ariyanti, dalam kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Kota Batu, Malang, Jawa Timur, Selasa (7/9/2021).

“Ketika bicara gender, ini harus juga di level manegerialnya. Media pun harus memberi kenyamanan bagi perempuan bekerja. Misalnya, mereka perlu ruang khusus perempuan dalam lingkungan kantor media seperti ruangan ASI dan juga jam kerja yang fleksibel. Apalagi pada saat seperti PPKM begini,” kata Eko Novi.

Dia mengatakan, pemberdayaan perempuan dalam semua bidang merupakan program prioritas kementerian yang selaras dengan 5 arahan dari presiden terkait perlindungan terhadap anak dan perempuan. Karena itu, kegiatan literasi yang dilakukan KPI sejalan dengan agenda besar dari KPPPA.  “Kami berharap tayangan di media penyiaran berpresfektif perempuan dan anak,” tutur Eko Novi. 

Sementara itu, Psikolog Klinis dari Malang, Dini Latifatun Nafi’ati, menyoroti persfektif psikolog terhadap citra perempuan di media. Menurut dia, identifikasi perempuan di media masih menonjolkan karakter yang didominiasi dorongan dan hasrat-hasrat alamiah atau primitf. Kemudian, citra perempuan di media masih tidak jauh dari mengeksplorasi eksistensi perempuan dan sisi femininitas. 

Perilaku perempuan juga digambarkan reaktif terhadap lingkungan, sehingga gambaran perempuan yang cerdas dan memiliki stabilitas emosi yang baik masih dianggap sebelah mata. Permasalahan perempuan lebih menarik untuk diekspos daripada cerita suksesnya. “Perempuan digambarkan layak terjebak dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar sehingga tidak sampai pada aktualisasi dan optimalisasi diri,” kata Dini.   

Dini melihat proporsi perempuan masih kalah jumlah dibanding laki-laki dalam peran utama dalam program acara seperti sinetron. Selain itu, posisi perempuan lebih sebagai obyek. “Perempuan dan anak menjadi konsumen yang banyak menoton TV dibanding laki-laki. Jadi sisinya perempuan, produsernya laki-laki, tapi penontonnya perempuan. Ini kesadaran kita semua bahwa peta ini ada. Ini dinilai disengaja secara budaya,” ujar Dini. 

Sebelumnya, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menyampaikan cara menonton yang sehat. Menurutnya, masyarakat khususnya orangtua harus memperhatikan klasifikasi setiap program acara agar aman ditonton anak di bawah umur. “Beri klu-klu terhadap tontonan yang akan ditonton jika memang baik dan tidak baiknya. Orangtua harus mendampingi dan memberi pengetahuan. Jika menonton mereka harus menonton sesuai kapasitas mereka. Ini yang harus dilakukan,” tandasnya. ***/Foto: AR/Editor:MR

 

 

 

 

 

 

Batu – Hasil riset indeks kualitas program siaran televisi yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada periode I tahun 2021, menunjukkan nilai indeks program hiburan masih di bawah nilai standar kualitas yang ditentukan KPI. Stagnasi nilai indeks program hiburan dalam riset yang digelar KPI ini akan ditindaklanjuti secara khusus. Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan, Hardly Stefano Pariela mengatakan hal tersebut saat menyampaikan kesimpulan penutup dalam acara Ekspos Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode I tahun 2021, yang digelar di kota Batu, Jawa Timur, (9/9). 

Meskipun secara umum, selama dua tahun terakhir, nilai indeks kualitas siaran televisi menunjukkan informasi positif tentang wajah penyiaran Indonesia, harus diakui dari delapan kategori program siaran masih terdapat tiga kategori yang hingga saat ini belum mampu menjcapai indeks berkualitas, yakni sinetron, variety show dan infotainment. Hal ini, ujar Hardly, tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi KPI untuk merumuskan kebijakan dan strategi pendekatan yang tepat dalam mendorong pembenahan. Apalagi ketiga program ini, dalam studi kuantitatif dari lembaga pemeringkat, memiliki jangkauan pemirsa yang demikian besar.

Lebih lanjut Hardly mengatakan, angka indeks dalam riset ini adalah indikator pergerakan pembenahan yang dilakukan oleh program siaran dan lembaga penyiaran. Selain itu riset ini juga memberikan catatan kualitatif pada setiap masing-masing kategori program. Untuk itu, KPI meminta kepada seluruh lembaga penyiaran menjadikan hasil riset ini sebagai “insight” dalam proses produksi siaran. 

Sorotan terhadap program hiburan yang mengalami stagnasi nilai indeks juga diberikan oleh Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Iswandi Syahputra, yang turut hadir sebagai penanggap dalam forum tersebut. Menurut Iswandi, KPI harus melakukan perlakuan khusus pada tiga program siaran ini.  “Lubang hitam konten penyiaran kita ada di situ,” ungkapnya. Kalau KPI memiliki semacam ”pasukan khusus” ini, tentu saja para pelaku penyiaran di tiga program tersebut akan merasa semakin serius diawasi oleh KPI. Tentu harapan kita, dengan pengawasan dan perlakuan yang lebih ketat, wajah program hiburan dapat menjadi lebih baik. 

Hadir dalam Ekspos tersebut Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo yang menegaskan bahwa riset ini merupakan komitmen KPI dalam menerima aspirasi masyarakat tentang kualitas konten penyiaran. Diingatkan Mulyo, pada tahun 2022 mendatang ada tantangan besar yang harus dihadapi seluruh lembaga penyiaran dengan pembelakuan Analog Switch Off (ASO), Mau tidak mau, pergeseran teknologi penyiaran dari analog ke digital ini akan melipatgandakan jumlah pelaku di industry penyiaran. Konsekuensinya tentu saja, persaingan semakin ketat dan memaksa pelaku penyiaran menghadirkan konten-konten berkualitas.

 

Senada dengan Mulyo, penanggung jawab program riset KPI yang juga komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan Yuliandre Darwis mengingatkan tentang tantangan penyiaran digital ke depan. Televisi harus semakin kreatif dalam menghadirkan konten-konten siaran ke tengah publik. Khazanah kearifan lokal, menurut Yuliandre, harus dapat menjadi inspirasi bagi pelaku penyiaran dalam menyajikan keberagaman konten. Ekspos hasil riset ini bukan hanya memberikan catatan tapi juga harapan. Riset ini jadi tumpuan utama negeri ini untuk mengarahkan bagaimana konten di Indonesia ke depan. KPI telah meregistrasikan sekitar 1100 televisi yang tersebar dalam berbagai platform. Baik itu televisi lokal, komunikas, berjaringan, ataupun berlangganan dan satelit. Banyaknya jumlah televisi dalam beragam platform ini akan sia-sia jika tidak ada kualitasnya, termasuk jika hanya bermodalkan prinsip ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) belaka. 

Disrupsi saat ini hadir dengan membawa konten-konten dari luar negeri seperti Korea, India dan lain-lain. Yuliandre menegaskan, khazanah lokalitas Indonesia seharusnya dapat menjadi modal ketahanan industri penyiaran di Indonesia dalam membendung disrupsi dari konten asing. Regulator tidaklah hadir untuk menyulitkan bertumbuhnya industri. Justru regulator hadir untuk mempercepat konten kreatif tumbuh dan masyarakat dapat menikmati konten-konten berkualitas yang beragam, tegasnya. Ekspos ini juga turut mendengarkan masukan dari pemangku kepentingen penyiaran lain yang diwakili oleh Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), serta Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI). (Editor : MR/ Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI)

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta seluruh lembaga penyiaran televisi untuk tidak melakukan amplifikasi dan glorifikasi (membesar-besarkan dengan mengulang dan membuat kesan merayakan) tentang pembebasan Saipul Jamil dalam isi siaran. Permintaan ini merespon sentimen negatif publik terkait pembebasan dan keterlibatan yang bersangkutan di beberapa program acara TV.

“Kami berharap seluruh lembaga penyiaran memahami sensitivitas dan etika kepatutan publik terhadap kasus yang telah menimpa yang bersangkutan dan sekaligus tidak membuka kembali trauma yang dialami korban,” tegas Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, menyikapi aduan dan respon negatif masyarakat terkait pembebasan Saipul Jamil, Senin (6/9/2021).

KPI juga meminta lembaga penyiaran untuk lebih berhati-hati dalam menayangkan muatan-muatan perbuatan melawan hukum atau yang bertentangan dengan adab dan norma seperti (penyimpangan seksual, prostitusi, narkoba dan tindakan melanggar hukum lainnya) yang dilakukan artis atau publik figur. 

“Kami berharap lembaga penyiaran lebih mengedepankan atau mengorientasikan unsur edukasi dari informasi yang disampaikan agar hal serupa tidak terulang serta sanksi hukum yang telah dijalani yang bersangkutan tidak dipersepsikan masyarakat sebagai risiko biasa,” kata Mulyo. 

Mulyo menambahkan bahwa hak individu memang tidak boleh dibatasi tetapi hak publik dan rasa nyaman juga harus diperhatikan karena frekuensi milik publik dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan (termasuk kenyamanan) masyarakat. “Mengedepankan hak individu tapi melukai hak masyarakat tentu tidak patut dilakukan,” ujarnya.

Mencermati beberapa peristiwa yang sering berulang dalam beberapa kasus serupa, Mulyo mengatakan momentum revisi P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) tahun 2012 yang sedang dilakukan KPI akan menjadi bahan pertimbangan dan masukan tentang pengaturan secara eksplisit tentang hal ini dalam revisi P3SPS. 

“Saat ini, kami tengah melakukan revisi terhadap P3SPS dan sudah pada tahap mendengarkan masukan dari publik dan stakeholder,” tandasnya. *** /Editor:MR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.