Anggota Komisi I DPR RI, Ida Fauziah.

 

Jakarta – Perlu langkah sistematis guna menuntaskan masalah kualitas tayangan di lembaga penyiaran kita. Salah satu langkah itu dengan memberikan literasi bagi masyarakat agar mereka selektif saat memilih tayangan.

Pendapat tersebut disampaikan Anggota Komisi I DPR RI, Ida Fauziah, saat menjadi narasumber di kegiatan eveluasi pemantauan isi siaran KPI Pusat di Kantor KPI Pusat, kawasan Djuanda Jakarta Pusat, Selasa (13/12/2017).

Politikus dari dari F-PKB ini menceritakan dirinya banyak dititipi aspirasi berupa keluhan dari masyarakat terkait tayangan televisi nasional yang tidak sesuai harapan. Tayangan televisi belum sepenuhnya berisi hal-hal yang positif, mendidik, dan penuh manfaat.

“Ini karena ketidakmampuan televisi kita menyajikan konten-konten yang mendorong perbaikan kualitas masyarakat. Padahal kita ketahui televisi masih menjadi media favorit bagi masyarakat. Jadinya, kita pun tidak bisa menghindar dari dampak negatif siaran tersebut,” kata Ida Fauziah.

Ida mengatakan program acara televisi seperti infotainmen, variety show, dan sinetron, kualitasnya masih di bawah standar. Menurut penelitian, penonton televisi kebanyakan adalah ibu rumah tangga. Hal ini, lanjut Ketua F-PKB, menjadi dilematis karena mestinya peran ibu adalah sebagai guru madrasah anak-anaknya.

Dampak dari siaran harusnya memiliki keselarasan dengan keinginan membangun generasi penerus bangsa. “Karena itu, perlu ada usaha yang sistematis untuk menanggulangi masalah tersebut. Perlu ada pendidikan literasi bagi semua lapisan seperti guru, orangtua, dan masyarakat. Hal ini juga bisa dilakukan dalam setiap program acara,” kata Ida Fauziah.

Dalam kesempatan itu, Ida Fauziah meminta pada analis pemantauan isi siaran KPI Pusat untuk lebih peka ketika melakukan pemantauan. Kepekaan ini akan meminimilisir wilayah-wilayah abu-abu yang membuat kita terusik.

Sementara Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana, mengatakan yang perlu dilakukan stasiun televisi harus sesuai dengan keinginan publik (public interst) bukan individu. “Perlu juga wisdom untuk menentukan tayangan apa yang layak atau tidak layak ditayangkan. Tidak boleh ada keberpihakan dan setiap tayangan harus memiliki nilai atau value,” katanya di tempat yang sama. ***

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah, saat diskusi Literasi Digital di Warun Daun Cikini, Selasa (12/12/2017).

 

Jakarta- Di tengah pertumbuhan teknologi internet dan perkembangan sosial media yang massif, penting untuk mengkampanyekan literasi digital. Hal ini, menjadi kesepakatan lintas institusi, dalam diskusi "Literasi Digital untuk Masa Depan Generasi Milenial", yang dihelat di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, pada Selasa malam (12/12/2017).  Diskusi yang diselenggarakan Pustekkom Kemdikbud bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dihadiri oleh pakar dan praktisi digital di antaranya, Alois Wisnuhardana (Kantor Staf Presiden/KSP Bidang Informasi), Hasan Chabibie (Pustekkom Kemdikbud), Ubaidillah Sadewa (Komisioner KPI), dan Hamzah Sahal (RMI PBNU).

A. Wisnuhardana menyampaikan bagaimana pentingnya literasi digital untuk menyehatkan komunikasi antar warga di media sosial. "Saat ini, teknologi internet dan media sosial memiliki peran signifikan. Ironisnya, masih banyak hoax dan konten-konten yang negatif. Kita harus bergerak bersama memproduksi konten-konten kreatif dan inspiratif untuk menyegarkan kembali media sosial dan media digital kita," ungkap Wisnu. 

Dalam diskusi ini Wisnu menyampaikan pemerintah sangat serius mendorong transformasi digital. "Presiden Joko Widodo serius dengan transformasi digital, untuk mendorong industri kreatif. Generasi milenial diharapkan melahirkan kreator yang mampu menginspirasi Indonesia dan dunia," jelas Wisnu.

Sementara itu, Hasan Chabibie menawarkan strategi literasi digital dan kampanye kreatif media sosial. "Literasi digital penting agar warga Indonesia, khususnya generasi milenial, generasi mudanya tumbuh dalam suasana media digital yang kondusif, jauh dari kebencian. Saat ini, ketika diskusi-diskusi tentang cerdas bermedia sosial telah massif, bagaimana membuat isu ini menjadi kepentingan bersama? Bagaimana cara sinergi dan bergerak bersama-sama, lintas institusi?" ungkapnya. Hasan mendorong, literasi digital menjadi isu bersama, yang dikawal pemerintah, ormas dan komunitas, untuk membuka ruang kreatifitas dengan teknologi digital.

Komisioner KPI, Ubaidillah Sadewa, berharap liiterasi digital menjadi isu bersama. "Sekarang ini, generasi muda harus didorong untuk kreatif dan produktif di media sosial. Perdebatan dan sengketa di ruang digital, tidak menarik bagi anak muda. Mereka tertantang dengan kreatifitas, dan kompetisi ide yang mendorong eksistensi dan kemandirian finansial," ungkapnya.

Pengurus Rabithah Ma'ahid Islamiyyah (RMI-NU), Hamzah Sahal mengusulkan pentingnya literasi digital masuk ke kurikulum. "Saya kira harus ada adab, etika bermedia sosial. Apakah ini mungkin masuk ke kurikulum pendidikan kita? Sangat mungkin, karena ini strategis," jelas Hamzah, yang juga founder alif.ID. 

Diskusi Literasi Digital ini diakhiri dengan kesepakatan sinergi antarpihak, dari KSP, Pustekkom Kemdikbud, KPI, dan RMI-PBNU untuk bersama melakukan kampanye literasi di ranah digital. Juga, dorongan untuk memasukkan literasi digital dalam kurikulum pendidikan, baik di pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) melakukan evaluasi terhadap kinerja pengawasan isi siaran, Selasa (12/12/2017) di kantor KPI Pusat, Djuanda, Jakarta Pusat. Upaya ini untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan tenaga pemantau KPI Pusat dalam melakukan pengawasan isi siaran lembaga penyiaran.

Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini mengatakan, pihaknya terus mengupayakan peningkatan kualitas sumber daya pemantauan isi siaran KPI Pusat dari waktu ke waktu. Hal ini agar hasil pemantauan isi siaran yang dilakukan semakin baik, jeli dan sensitif sesuai dengan aturan penyiaran dan etika lain yang terkait.



“Beberapa hal yang sangat penting menjadi perhatian bagian pemantauan kita adalah soal perlindungan terhadap anak. Karena kita tahu anak-anak menjadi prioritas utama KPI dalam pengawasan isi siaran. Selain jumlahnya yang lebih dari sepertiga penduduk di negeri ini, mereka digolongkan sebagai kelompok khusus,” jelas Dewi kepada para analis dan pemantau isi siaran KPI Pusat.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono meminta perhatian lebih dari analis pemantauan terhadap siaran jurnalistik di lembaga penyiaran. Persoalan seperti eksploitasi kekerasaan dalam pemberitaan harus dilihat secara jeli karena dampaknya yang buruk terhadap publik jika dilakukan berulang-ulang.

“Terkadang ada irisan antara pasal perlindungan anak dan pasal soal jurnalistik. Karena itu, saya meminta perhatian pada siaran tersebut,” kata Mayong.



Kepala Sekretariat KPI Pusat, Maruli Matondang menyampaikan, tenaga analis atau pemantauan harus juga memiliki rasa pada saat melakukan tugasnya. Rasa ini akan memberi penilaian terhadap isi siaran yang dipantau.

Dalam kegiatan itu, KPI Pusat juga menghadirkan narasumber lain yakni Anggota Komisi I DPR RI, Ida Fauziah, dan Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana. Turut hadir Koordinator bidang Isi Siaran sekaligus Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, dan Nuning Rodiyah. ***

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, di acara diskusi usai penandatanganan MoU di Kementerian Kesehatan.

 

Jakarta -- Ada dua hal penting harus dilakukan usai nota kesepahaman (MoU) soal pengawasan iklan dan publikasi bidang kesehatan diteken yakni sosialisasi massif ke lembaga penyiaran dan penguatan koordinasi ke daerah dengan melibatkan KPID dan dinas kesehatan.

Pendapat tersebut disampaikan Komisioner sekaligus Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat, Hardly Stefano, di sela-sela acara diskusi dan sosialisasi yang berlangsung usai penandatanganan MoU tentang Pengawasan Iklan dan Publikasi bidang Kesehatan di Kantor Kementerian Kesehatan, Selasa (19/12/2017).

Menurut Hardly, sosialisasi MoU ke stakeholder terkait seperti lembaga penyiaran dimaksudkan agar pesan tersebut sampai dan dipahami, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan mereka. Lembaga penyiaran harus diajak diskusi terkait isi kesepakatan yang ada dalam MoU. Pasalnya, dalam kaitan regulasi penyiaran, KPI yang bertanggungjawab melakukan pengawasan dan penindakan ke lembaga penyiaran .

“Setiap tindakan yang dilakukan KPI ke lembaga penyiaran harus ada prosesi sebelumnya. Karena itu, kita perlu duduk bersama dengan mereka dan mendiskusikan hal ini,” kata Hardly.

Terkait penindakan terhadap pelanggar, Hardly juga meminta Kementerian Kesehatan melakukan langkah yang sama terhadap produsen. Produsen harus tahu apa yang tidak boleh dan boleh dilakukan. Pesan tersebut harus disampaikan oleh kemenkes.

Hasil kesepakatan di MoU kemudian harus diturunkan  ke daerah melalui payung koordinasi dengan KPID dan dinas kesehatan setempat. Replikasi kerjasama ini justru paling dibutuhkan di daerah karena dinamika persoalannya lebih luas.

“Kita harus mendorong KPID dan dinas kesehatan melakukan langkah yang sama. Terlebih persoalan penyiaran di daerah dan pengawasannya menjadi tanggungjawab KPID. Mereka lebih tahu seluk beluk di wilayah tersebut. Hal ini perlu didiskusikan dengan mereka untuk memastikan pesan ini sesuai dengan kondisi dan kebijakan mereka di daerah,” jelas Hardly.

Komisioner KPID Provinsi Banten, Ade Bujhaerimi, hadir pada saat penandatanganan MoU, mendukung usulan Hardly soal koordinasi MoU sampai ke daerah. Menurut hasil pengawasan KPID Banten, tayangan iklan kesehatan paling banyak ditemukan di media penyiaran lokal. “Paling banyak ditemukan di lembaga penyiaran radio,” katanya.

Sosialisasi MoU ke daerah yang melibatkan KPID dan dinas kesehatan setempat akan memudahkan pola kerjasama di daerah ketika diperlukan tindakan terhadap siaran iklan kesehatan yang dinilai melanggar dan banyak mendapat pengaduan publik. “Selama ini, jika ada pengaduan dari publik belum bisa dilakukan karena harus ada koordinasi dengan dinas kesehatan setempat,” papar Ade.

Sementara itu, dari Kementerian Kesehatan menyatakan siap dan mendukung adanya koordinasi dengan dinas kesehatan dan KPID. “Kita akan gandeng dinas kesehatan untuk berkoordinasi dengan KPID,” kata Oscar Primadi. ***

 

Pertemuan KPI dan Metro TV untuk meminta klarifikasi program "Syiar Kemuliaan", Senin (11/12/2017).

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia meminta stasiun televisi lebih berhati-hati dalam menyiarkan program siaran dengan konten agama. Termasuk di dalamnya dengan menempatkan quality control secara khusus yang menangani program agama, untuk memastikan materi yang disiarkan kepada masyarakat sesuai dengan tuntunan yang berlaku. Hal tersebut disampaikan KPI dalam acara klarifikasi dengan stasiun televisi Metro TV atas tayangan Syiar Kemuliaan yang disiarkan pada 1 dan 5 Desember 2017, (11/12).

Dalam pertemuan klarifikasi yang dipimpin oleh Komisioner bidang pengawasan isi siaran, Dewi Setyarini, Metro TV mengakui kesalahannya dalam menjaga quality control paska produksi tayangan tersebut. Wakil Pemimpin Redaksi Metro TV, Abdul Kohar menyatakan bahwa tidak ada kesengajaan dari Metro TV untuk menayangkan kekeliruan tersebut. Untuk itu, Metro TV menyampaikan permohonan maaf atas tayangan yang mendapat banyak protes dari ummat Islam ini. Abdul Kohar juga menegaskan bahwa pihaknya sudah melakukan evaluasi dan perbaikan dalam pemilihan narasumber serta pemanfaatan teknologi dalam siaran tersebut ke depan.

Sementara itu dari pihak Kementerian Agama, Khoiruddin, yang diundang untuk hadir dalam klarifikasi tersebut meminta Metro TV mempertimbangkan agar tulisan ayat Al Quran yang tampil di layar bukanlah tulisan tangan, melainkan tulisan digital yang sudah baku sehingga tidak menimbulkan potensi kesalahan dalam penulisan. Sedangkan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Masduki Baidowi mengingatkan bahwa frekuensi yang digunakan pengelola stasiun televisi merupakan ranah publik yang harus berhati-hati dalam pemanfaatannya. “Jangan sampai publik tersakiti akibat pengelolaan frekuensi yang kurang tepat”, ujar Masduki. Selain itu, dirinya memberi saran agar materi siaran agama menghindari bahasan khilafiyah. “Jika memang berpotensi memasuki wilayah khilafiyah, baiknya pengelola televisi melakukan konsultasi dengan pihak yang kompeten” tambahnya.

KPI sendiri meminta seluruh stasiun televisi memilih narasumber yang memiliki kompetensi keilmuan yang baik. “Tidak saja kompeten di bidang agama, tapi juga kompeten dalam bidang komunikasi publik”, ujar Nuning Rodiyah anggota bidang pengawasan isi siaran KPI Pusat.

KPI berharap, seluruh lembaga penyiaran dapat mengambil pelajaran atas kasus yang terjadi dalam program siaran Syiar Kemuliaan di Metro TV. “Pada prinsipnya KPI sangat menghargai konsistensi program siaran televisi dalam menyiarkan program-program religi yang secara ekonomis kalah bersaing dengan program hiburan”, ujar Ubaidillah anggota bidang kelembagaan KPI Pusat.  Jangan sampai pemirsa program religi yang sudah sedikit itu, semakin tergerus dengan adanya kasus-kasus kelalaian dalam pengawasan kualitas program. Padahal, masyarakat masih sangat membutuhkan program-program bermanfaat dan mencerahkan dari stasiun televisi, terutama program religi untuk menjadi tuntunan dalam kehidupan.

Untuk program siaran Syiar Kemuliaan ini, KPI memberikan Peringatan Tertulis kepada Metro TV. Peringatan ini merupakan bagian dari pengawasan KPI Pusat terhadap pelaksanaan peraturan serta Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) oleh lembaga penyiaran, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Metro TV diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam menayangkan muatan terkait agama serta senantiasa menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai pedoman dalam penayangan program siaran.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.