- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 10064
Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai kebebasan pers saat ini harus diikuti dengan modernisasi regulasi media yang ada. Jika ini terwujud, persoalan celah hukum dan ketidakadilan pengawasan seperti antara media konvensional dan media baru, akan larut.
Pendapat tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, saat menjadi narasumber acara “Ngobrol Bareng” secara daring yang diselenggarakan Universitas Dian Nusantara dengan tema “Hambatan Pers dalam Demokrasi di Indonesia”, Rabu (10/2/2021).
Salah satu aturan yang menurut Agung harus direvisi secepatnya adalah Undang-undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Menurutnya, aturan dalam UU Penyiaran tidak dapat menyentuh dan mengatur media baru karena target utamanya (kewenangan) hanya mengawasi media penyiaran (TV dan radio).
Ketidakmampuan ini, lanjut Agung, membuat industri penyiaran protes atas perlakuan yang tidak sama tersebut. “Ada sejumlah media penyiaran yang akhirnya melakukan judicial review terhadap UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan pengawasan terhadap media baru. Sayangnya, hal itu ditolak oleh Mahkamah Konsitutusi karena UU Penyiaran hanya diamanatkan mengawasi media penyiaran,” jelasnya.
Jika dikaitkan dengan kebebasan pers yang dijalani oleh dua media tersebut, hal ini jelas timpang. Media penyiaran, ujar Agung, semua tindak tanduknya diawasi oleh UU. Penerapan kebebasan persnya pun ada dalam batasan tersebut. Adapun media baru, yang tidak memiliki payung regulasi, jelas terasa lebih bebas.
“Padahal jika kita pahami, kebebasan itu harus bertanggungjawab, jika tidak akan anarkis. Oleh karenanya, kebebasan harus diatur tapi tidak untuk mematikannya. Sekarang ini, fungsi pers itu tidak hanya di media cetak ataupun media penyiaran, tapi juga media baru. Di dalam UU Penyiaran kebebasan juga diatur termasuk soal jurnalistik. Kebebasan itu diatur agar ada tanggung jawab pers terhadap masyarakat,” papar Agung.
Selain soal pengawasan media baru, kata Agung, urgensi dari perubahan UU ini adalah soal masih banyaknya kesulitan KPI dalam menindak berbagai kesalahan siaran. Misalnya dalam menindak pelanggaran siaran kampanye yang tidak diatur dalam UU Penyiaran sekarang. “Perubahan ini untuk menjawab banyak kesulitan yang dihadapi KPI dalam menegakkan peraturan yang masih terhambat oleh lemahnya UU Penyiaran tahun 2002,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Agung menilai lembaga penyiaran sudah taat terhadap aturan dan memahaminya. “Yang jadi masalah sekarang adalah media baru. Pasalnya, siapapun bisa jadi jurnalis ini yang kemudian harus ada semacam komitmen kita bersama untuk memberikan literasi dan pengaturan. Pengaturannya seperti apa, ini yang harus kita formulasikan,” ujarnya.
Pada diskusi itu, turut hadir Komisioner KPI Pusat Periode 2013-2016, Bekti Nugroho, Pimpinan Redaksi Metro TV, Arif Suditomo, dan Anggota Dewan Pers, Jamalul Insan. ***