Ciawi – Pembahasan rancangan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (PKPI) tentang Kelembagaan KPI masuk ke tahapan harmonisasi. Harmonisasi rancangan PKPI keputusan dari Rakornas (Rapat Koordinasi Nasional) KPI melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Sekretariat Kabinet (Sekab). Usai tahapan ini, PKPI tentang Kelembagaan KPI akan menjadi berita negara (telah diundangkan). 

Anggota KPI Pusat I Made Sunarsa mengatakan, harmonisasi ini untuk menguatkan produk hukum yang dibuat KPI dengan melihat ketentuan dan perundangan lainnya. “Di internal kami sudah banyak diskusi dan perdebatan mengenai PKPI ini dan sekarang tinggal mengharmonisasikannya. Harmonisasi ini juga untuk bertukar hal-hal yang saling menguatkan,” katanya dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Harmonisasi PKPI tentang Kelembagaan KPI, Jumat (17/11/2023) di Ciawi, Bogor, Jawa Barat.

Selaku Koordinator bidang Kelembagaan KPI Pusat, I Made Sunarsa mengupayakan rancangan PKPI tentang Kelembagaan KPI ini segera diundangkan. Karenanya, pembahasan harmonisasi ini akan dilakukan secara intensif. Dia juga menjelaskan, substansi dari peraturan ini mengatur tata kelola kelembagaan KPI, baik KPI Pusat maupun KPID. 

Ketua KPI Pusat Ubaidillah, saat membuka kegiatan harmonisasi menyampaikan, revisi PKPI tentang Kelembagaan merupakan program utama KPI yang sudah diputuskan dalam Rakornas KPI. Kebutuhan revisi ini, secara tidak langsung ikut dipengaruhi oleh terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2022. 

“Hadirnya UU Cipta Kerja ini ikut mengubah tata Kelola penyiaran di daerah. Jadi, ini bagian yang harus kita kerjakan,” katanya.

Dia juga sependapat bahwa harmonisasi aturan ini bagian dari penguatan kelembagaan. Banyaknya masukan dari berbagai instansi atas produk hukum ini akan menguatkan produk hukum tersebut. Hal ini akan memberi banyak manfaat terutama untuk Masyarakat. “Jadi tidak ada lagi celah dan perdebatan karena sudah diharmonisasi dengan banyak pihak,” tuturnya. 

Sementara itu, Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Madya Yulianto Araya menyatakan, harmonisasi ini merupakan proses penyelarasan dalam materi peraturan KPI dan kebijakan dalam kelembagaan. Menurutnya, aturan ini bagian strategis dalam bidang penyiaran terutama KPI dalam hal pengawasan isi siaran. 

Perwakilan dari Kemendagri ini menambahkan, pihaknya mendukung rancangan aturan yang diinisiasi KPI ini. Kemendagri akan melihat aturan dari persfektif tata kelola kerja KPI dengan pemerintahan terkait pengawasan dan pembinaan. “Ini menjadi tugas kemendagri,” katanya. 

Imam Suwadi dari Kemenkominfo mengatakan peraturan ini membuat fungsi kelembagaan KPI akan lebih efektif, baik di tingkat pusat dan terutama di daerah. Menurutnya, fungsi tersebut harus diatur secara kelembagaan. “Bagaimana sistem kerja antara KPI Pusat dan KPID. Ini yang harus diatur dalam aturan ini sehingga memasimalkan fengsi dan kinerja KPI,” tuturnya. 

Dalam proses harmonisasi ini, turut hadir Anggota KPI Pusat Aliyah, Amin Shabana, Tulus Santoso, Evri Rizqi Monarshi, dan Mimah Susanti. Rencananya, harmonisasi ini akan dilakukan dalam beberapa tahap hingga selesai. ***

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat terus menyempurnakan draft peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (PKPI) tentang tata cara sanksi administratif denda terhadap pelanggaran isi siaran. Upaya harmonisasi dan penerimaan masukan dilakukan agar peraturan ini dapat selaras dan diterima seluruh pihak terkait khususnya lembaga penyiaran.

Usai FGD (fokus grup diskusi) penyusunan PKPI tentang Penerapan PNBP Sanksi Administratif Denda di Karawang, Jawa Barat, Jumat (10/11/2023) lalu, KPI Pusat langsung menggelar forum diskusi tentang draft peraturan tersebut bersama asosiasi TV dan radio serta lembaga penyiaran berjaringan di Jakarta, Senin (13/11/2023). Forum ini dimaksudkan untuk menerima respon dari lembaga penyiaran atas draft peraturan yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) 

Anggota KPI Pusat Muhammad Hasrul Hasan, di awal forum tersebut menyampaikan, pihaknya membuka ruang diskusi dengan lembaga penyiaran untuk membahas draft aturan sanksi administratif denda. Menurutnya, masukan dari banyak pihak sangat penting supaya peraturan ini tidak dianggap bersebelahan dengan lembaga penyiaran. 

“Kita ini satu sistem untuk membuat aturan. Karenanya, kami ingin mendapatkan respon dari teman-teman lembaga penyiaran tentang draft aturan sanksi denda ini. Kita tahu, sanksi denda ini bukan hal yang baru karena sudah disebutkan dalam Undang-Undang (UU) Penyiaran tahun 2002. Baru di tahun ini ada regulasi yang meminta agar KPI mengatur sanksi ini,” jelasnya kepada perwakilan asosiasi dan lembaga penyiaran yang hadir di forum tersebut.

Hasrul juga menyatakan, aturan denda ini dibuat bukan untuk menekan pihak-pihak yang akan menjalankannya. Tujuan utama dari adanya aturan ini untuk menghadirkan siaran yang sehat. “Sanksi bagi kami bukanlah prestasi. Kami juga tidak berpikir lembaga penyiaran akan menyiarkan hal-hal yang tidak sehat dan menyesatkan,” tambahnya. 

Hal senada turut disampaikan Ketua KPI Pusat Ubaidillah. Menurutnya, keberadaan hukum denda ini bukan bentuk prestasi bagi regulator. “Ini bukan untuk gagah-gagahan,” kata Ubaidillah saat membuka forum.

Dia pun menyampaikan pembentukan sanksi denda ini telah melalui proses pembahasan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Kominfo. “Kita tahu kondisi penyiaran kita sekarang. Regulasi ini harus kita diskusikan. Kami butuh masukan dari lembaga penyiaran. Kita berharap ini bisa menjadi kesepakatan bagi kita semua,” ujar Ubaidillah.  

Menyikapi draft aturan sanksi denda, perwakilan dari lembaga penyiaran menyampaikan pandangan dan masukannya secara tertulis yang diserahkan kepada Ketua KPI Pusat. Namun sebelumnya, beberapa dari mereka menyampaikan kegelisahan atas kondisi media penyiaran di tengah era disrupsi media. Mereka merasa ada ketidakadilan dalam kaitan pelaksanaan hukum dan kewajiban terhadap negara seperti membayar pajak. 

“Sekarang banyak perusahaan beriklan termasuk pemerintah dan BUMN di platform global. Padahal platform ini tidak kena pajak. Jadi kami ini sudah dirampok oleh platform global, hampir 80 persen,” kata Dede dari Net.

Perwakilan ATVNI (Asosiasi Televisi Nasional Indonesia) Deddy Risnanto menyatakan keluhan yang sama. Menurut dia, semestinya pemerintah mengatur platform lain di luar penyiaran. “Saat ini kami tengah bertarung menghadapi platform lain yang tidak diawasi dan tidak diatur. Sedangkan kami aturannya banyak,” katanya.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza mengatakan, KPI akan menampung keluhan dan aspirasi dari asosiasi dan lembaga penyiaran. Bahkan, diskusi pembahasan draft  aturan ini akan dilakukan secara berkelanjutan. 

“Apa yang menjadi kegelisahan lembaga penyiaran akan menjadi pertimbangan kami. Yang kami diskusi ini akan kami diskusikan dengan KPID seluruh Indonesia. Karena salah satu persyaratan PKPI itu harus diputuskan dalam Rakornas (Rapat Koordinasi Nasional) KPI,” tutupnya. ***/Foto: Agung R

 

 

Karawang - Menindaklanjuti penyusunan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (PKPI) tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pelanggaran Isi Siaran, KPI tengah menggodok tata cara penjatuhan sanksi berupa denda terhadap pelanggaran siaran. Sanksi denda ini merupakan turunan dari Peratuan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Ketua KPI Pusat, Ubaidillah mengatakan, pengembangan dari PP No. 43 Tahun 2023 berkenaan langsung dengan tugas dan fungsi utama KPI sebagai regulator penyiaran. Arah dan rangkaian perumusan regulasi ini wajib dibarengi dengan implementasi untuk mengukur sejauh mana efek dari aturan baru tersebut. 

“Pembahasan draft Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (PKPI) tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pelanggaran Isi Siaran perlu dirumuskan secara komprehensif dan proses berjalannya,” ucap Ubaidillah saat membuka acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Penyusunan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Penerapan PNBP Sanksi Administratif Denda Pelanggaran di KPI”, 10-12 November 2023 di Karawang, Jawa Barat.

Lebih jauh, kata Ubaidillah, wajib dilakukan penyelarasan dengan aturan yang ada diatasnya yakni Pedoman Perilaku Pernyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Di samping itu, lanjutnya, perlunya keterlibatan mitra, baik itu asosisasi maupun pemerhati penyiaran agar penerapan sanksi denda ini berjalan tanpa menghilangkan prinsip dasarnya dan substantif.

“Dalam penyusunan PKPI ini, juga perlu diperhatikan melibatkan mitra KPI terkait. Sehingga PKPI ini bisa mengakomodir masukan dan saran mitra terkait agar bisa diterima dan dijalankan oleh mereka, tanpa harus menghilangkan hal yang prinsip dan substantif yang kita inginkan,” katanya.

Hadir melalui daring, Penanggung Jawab Tim Fokus PNPB Kemenkominfo, Burhanudin Harjono menyatakan, KPI dapat merumuskan dan menjalankan desain semisal apakah penerimaan PNBP dengan berpatokan pada ukuran atau indeks aturan yang ada di internal KPI.  Nilai yang dan besaran hitungan dendanya berdasarkan formulasi yang ada semacam sistem billing dan invoice yang diberikan kewenangan sebagai pengelola PNBP.  

“Secara kewenangan, KPI Pusat maupun KPID bisa menerbitkan sanksi administrasi selama wajib bayar berada di KPI Pusat atau di KPI daerah. Tetapi besarnya dan penerbitan penagihan tetap oleh KPI Pusat. Secara teknis KPI Daerah mungkin bisa membantu monitoring,” kata Burhan.

Secara teknis, Burhanudin menuturkan, laporan proyeksi yang disampaikan melalui nota dinas setiap bulan kepada Kepala Biro Keuangan meliputi proyeksi PNBP secara periodik. Realisasi atas target yang ditetapkan dalam APBN kemudian deviasi dan perkembangan realisasi PNBP hingga penggunaan PNBP. “Signifikansi nilai dari penyiaran masih kita lihat dulu pemungutannya berjalan dulu nanti kita evaluasi apakah perlu menggunakan akun khusus atau bagaimana,” katanya. Syahrullah

 

 

Surakarta - Perubahan aturan dan regulasi penyiaran sudah mendesak untuk segera disahkan untuk dijadikan panduan bagi setiap aktivitas siaran di Indonesia. Iklim penyiaran saat ini sudah bergerak menuju liberalisasi yang sangat kuat, salah satunya dikarenakan dunia yang semakin borderless yakni tanpa batas dan sekat geografis.  Atas dasar itu juga, rancangan undang-undang yang sudah disusun Komisi I DPR RI, dapat segera berproses agar penetapannya sebagai undang-undang tidak terhambat lagi. Hal ini disampaikan Abdul Kharis Almasyhari, Wakil Ketua Komisi I DPR RI saat menjadi pembicara kunci kegiatan “Diseminasi Regulasi Siaran Religi di Televisi Kontemporer” yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), (13/11). 

Kharis mengungkap, dalam draf RUU yang disusun Komisi I DPR, aturan terkait penyiaran akan melingkupi aktivitas siaran di seluruh media, baik itu media mainstream atau pun media dengan platform internet seperti Over The Top. Titik tekan dari RUU ini, ungkapnya, menghadirkan iklim penyiaran yang berkarakter Pancasila, yang merupakan ideologi bangsa ini. Harapannya, regulasi ini dapat menjauhkan hal-hal negatif dari generasi muda, yang hadir sebagai residu dari konten siaran. “Kami berharap, undang-undang ini lebih mampu mengantisipasi isi siaran yang hadir lewat platform mana pun juga,” tegasnya. 

Kegiatan diseminasi yang dihadiri oleh mahasiswa UMS, membahas konten siaran religi di televisi dalam berbagai perspektif. Hadir sebagai narasumber pada kegiatan tersebut, Gun Gun Heryanto selaku Pengamat Media, M Aulia Asy Syahidin selaku Ketua KPID Jawa Tengah, Agus Triyono selaku akademisi, Amin Shabana selaku anggota KPI Pusat dan penanggungjawab Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) dan Mimah Susanti selaku anggota KPI Pusat bidang Kelembagaan. Adapun sambutan dan pembukaan acara disampaikan oleh I Made Sunarsa selaku koordinator bidang kelembagaan KPI Pusat.  

Dalam IKPSTV, program siaran religi tercatat selalu sebagai salah satu program yang mendapat nilai berkualitas. Meskipun ada fluktuasi nilai, ungkap Amin, secara umum program religi masih aman. Peningkatan yang diharapkan pada kategori ini adalah pertimbangan aspke kepentingan publik dan mengedepankan toleransi antar umat beragama. KPI sendiri, ujar Amin, sudah menerbitkan buku tentang religositas di layar kaca. Secara garis besar buku ini meliputi model siaran religi yang muncul di televisi dan juga perkembangan siaran da’wah di televisi. 

 

Sementara itu, Mimah Susanti memaparkan tentang potret siaran religi di Indonesia, termasuk model program siaran religi yang dikemas sedemikian rupa oleh lembaga penyiaran. Mimah juga menggarisbawahi beberapa aturan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) tentang siaran keagamaan. “Diantaranya tidak boleh mempertentangkan ajaran dari masing-masing agama,” ungkapnya. Dalam melakukan pengawasan konten siaran, KPI selalu terbuka dengan aduan yang disampaikan masyarakat, termasuk untuk konten agama. 

Menyambung yang disampaikan Mimah, Ketua KPID Jawa Tengah Aulia Asy Syahidin menyampaikan bahwa pihaknya pernah didatangi oleh kelompok guru yang keberatan dengan siaran keagamaan dari salah satu televisi lokal di Jawa Tengah. Dalam mediasi yang dilakukan KPID atas aduan tersebut, pihaknya menjelaskan pada pengelola televisi tentang kewajiban yang harus ditaati lembaga penyiaran dalam penyelenggaran siaran. Pada prinsipnya, KPI tidak berwenang mengintervensi keyakinan setiap kelompok masyarakat, ujarnya. Namun ada aturan yang telah ditetapkan negara dalam pengelolaan konten siaran di televidi dan radio, yang harus ditaati. 

Catatan penting juga disampaikan oleh Gun Gun Heryanto selaku pengamat media dan juga akademisi dari Uniersitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Harus disadari tentang identitas Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar, yang sejatinya adalah beragam. “Keberadaan muslim moderat di negeri ini harus dianggap sebagai sebuah kelebihan dan Indonesia adalah laboratorium sosial soal penghormatan terhadap perbedaan tersebut,” ujar Dekan Fakultas Dakwah di UIN Syarif Hidayatullah ini.  Untuk itu, konten religi yang hadir di medium penyiaran juga sejatinya memberikan penghormatan atas keragaman tersebut. 

 

 

Depok - Dunia penyiaran membutuhkan sumber daya manusia (SDM) kreatif yang juga memahami betul regulasi dan etika penyiaran. Selain itu, konten siaran juga diharapkan sarat dengan norma dan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang sebenarnya menjadi nafas dari undang-undang penyiaran saat ini. Hal ini disampaikan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang kelembagaan, Amin Shabana, saat menjadi dosen tamu pada mata kuliah “Kajian Dampak Media” di Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), (8/11). 

Kepada mahasiswa tersebut Amin memaparkan tentang kualitas televisi di Indonesia berdasar atas Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) yang digelar KPI sejak tahun 2015. Selama sembilan tahun penyelenggaraan IKPSTV, ujar Amin, program siaran dengan kategori sinetron dan infotainmen belum mampu menembus nilai standar berkualitas yang ditetapkan KPI. “Artinya, hingga saat ini dua program tersebut memang belum berkualitas,” ujarnya. 

Pada perkuliahan tersebut, mahasiswa kemudian menanyakan tentang perbedaan yang signifikan antara hasil IKPSTV dengan survey kepemirsaan yang sudah populer selama ini, khususnya terkait program sinetron dan infotainment yang justru secara kuantitatif banyak meraup penonton. Selain itu, kenyataan saat ini, akses generasi muda ke televisi semakin berkurang dan dalam memenuhi kebutuhan hiburan lebih memilih akses melalui telepon seluler. 

Terhadap realitas ini, Amin menyampaikan, selain melakukan pembinaan kepada lembaga penyiaran untuk tetap tunduk pada koridor regulasi, KPI juga melakukan edukasi pada masyarakat untuk lebih selektif dalam memilih tayangan di televisi. “Karena kalau hanya mengikuti selera pasar saja, belum tentu kontennya berkualitas,” ujarnya. 

Amin juga memaparkan bahwa pada setiap program siaran, KPI memiliki indikator yang spesifik dalam rangka menilai kualitasnya. Yang jelas, tegas Amin, pada penyusunan indeks ini tidak melihat segi estetika tapi murni soal kualitas siaran. 

Dari delapan kategori program siaran yang disusun nilai indeksnya, setidaknya ada enam program yang sudah mencapai nilai berkualitas, yakni program anak, berita, religi, wisata budaya, talkshow dan variety show. Terkait program berita, Amin menyatakan konten berita di televisi dan radio dapat dipastikan jauh dari hoax dan disinformasi. Ini dikarenakan, proses pengelolaan berita di televisi dan radio sudah melalui berbagai tahapan untuk memastikan akurasinya. “Yang disayangkan, justru publik sekarang lebih suka mengakses berita dari media sosial atau platform internet lainnya. Padahal akurasinya masih dipertanyakan,” ungkapnya. 

Hal ini juga serupa dengan lima program siaran lainnya yang sudah mencapai standar berkualitas. Intensitas kita mengakses telepon seluler yang sangat tinggi, jadi mengabaikan bahwa konten-konten di televisi sebenarnya jauh lebih baik, pungkasnya. 

Hingga saat ini KPI masih terus melakukan koordinasi dengan beragam pemangku kepentingan penyiaran dalam rangka menyosialisasikan IKPSTV, termasuk dengan Dewan Periklanan Indonesia (DPI) dan Asosiasi Perusahaan Perngiklan Indonesia (APPINA). Penempatan iklan pada program-program yang bermasalah, sebenarnya membahayakan brand safety mereka di muka publik, ujar Amin. Penjelasan rinci tentang metodologi yang diambil dalam penyusunan IKPSTV disampaikan Koordinator Litbang KPI Pusat, Andi Andrianto. Prinsipnya, ujar Andi, KPI menginginkan hasil dari IKPSTV berdampak yang signifikan pada ekosistem penyiaran. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.