Maros - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengapresiasi Bupati Maros Andi Syafril Chaidir Syams, yang memberi perhatian besar atas kualitas informasi yang beredar di masyarakat, baik lewat lembaga penyiaran atau pun media dengan platform lain. Bupati Maros yang dikukuhkan sebagai Ketua Forum Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP) juga melantik para pejabat, termasuk camat dan lurah untuk menjadi anggota FMPP. Dengan demikian, perhatian terhadap kualitas konten siaran juga ikut diberikan oleh masing-masing pimpinan wilayah di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Hal ini disampaikan Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran Muhammad Hasrul Hasan, di sela kegiatan Jalan Sehat FMPP yang dihadiri Bupati Maros dengan tema Penyiaran Mewujudkan Informasi yang  Bermanfaat, (22/9). 

Menurut Hasrul, sekalipun Maros adalah kabupaten yang dekat dengan ibukota provinsi, Makassar, namun kontur wilayah yang berbukit mengakibatkan banyaknya blankspot untuk siaran free to air. “Tak heran kalau masyarakat lebih memilih menikmati siaran televisi lewat layanan TV Kabel atau pun TV Satelit,” ujarnya. Kondisi seperti ini tentunya memerlukan penanganan khusus lantaran adanya perbedaan regulasi antara televisi free to air dengan televisi yang disalurkan lewat kabel atau pun satelit. Untuk itu, keberadaan FMPP di Sulawesi Selatan, khususnya kabupaten Maros menjadi langkah strategis dalam upaya mencegah dampak negatif penyiaran yang hadir di tengah masyarakat. 

Sementara itu, menurut Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, FMPP merupakan upaya KPI dalam memberikan informasi dan meliterasi publik, sehingga mereka dapat berperan serta menjaga layar televisi dan juga ruang dengar di radio, bebas dari konten negatif. Reza mengakui, Bupati Maros juga aktif berkomunikasi dengan KPI Pusat terkait isu penyiaran terkini.

FMPP diharapkan dapat menjadi jembatan bagi publik, dalam menyampaikan aspirasinya terkait penyiaran. Mengingat keberadaan KPI hanya sampai level provinsi dan untuk tidak ada perwakilan di tingkat kabupaten atau pun kota.  Hal lainnya adalah peran serta masyarakat dalam pengawasan siaran Pilkada di televisi dan radio. 

“Ada banyak hal yang mungkin jadi sorotan khusus dari FMPP di masing-masing provinsi. Misalnya saja kampanye di luar jadwal atau penayangan iklan pilkada yang melebihi ketentuan. Tapi ada juga yang secara konten perlu diawasi secara cermat,” ujar Reza. 

Belum lama ini, KPI telah memanggil salah satu stasiun televisi yang menampilkan debat yang berujung saling memaki dan umpatan kasar. Reza berharap, jika dalam siaran pilkada muncul hal seperti ini, publik tak perlu sungkan untuk melaporkannya pada KPI melalui FMPP. “Kita tentu berharap lembaga penyiaran ikut mengambil peran dalam pesta demokrasi di daerah lewat siaran Pilkada. Namun aturan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS), adalah harga mati untuk ditegakkan. 

Pada kesempatan itu, hadir pula Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Mimah Susanti yang memberi materi literasi pada peserta Jalan Sehat yang didominasi oleh pelajar sekolah dan kelompok perempuan. Mimah mengingatkan pada kaum Ibu, untuk setia mendampingi anak-anak saat mereka menonton televisi. “Jangan sampai, justru anak-anak yang mendampingi ibunya saat menonton sinetron yang peruntukannya untuk dewasa,” terang Mimah. Selain itu, Mimah menerangkan adanya aturan-aturan dalam penayangan konten siaran di televisi dan radio, yang termaktub dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Dirinya meminta pada pelajar yang hadir, untuk menonton sesuai usia, sebagaimana penetapan klasifikasi program siaran dari KPI.  (Foto: KPI Pusat/ MHH).

 

 

 

 

Makassar - Regulasi media khususnya penyiaran yang ada saat ini, sebenarnya dapat digunakan untuk menjangkau media berbasiskan internet. Kata “lainnya” dalam definisi penyiaran pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan ruang yang disediakan oleh pembuat regulasi dalam mengantisipasi perkembangan teknologi informasi khususnya di bidang penyiaran di masa depan. Namun demikian dalam Uji Materi di Mahkamah Konstitusi atas undang-undang tersebut, justru menegaskan bahwa kata penyiaran tidak didefinisikan sebagai internet. Hal ini terungkap dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dengan tema “Kesetaraan Regulasi Penyiaran Berbasis Internet dan Konvensional”, di kota Makassar, (21/9). 

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Judhariksawan, SH., MH, yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut mengungkap, International Telecommunication Union (ITU) dalam studi terbaru tidak memberi definisi baku terhadap platform Over The Top (OTT). ITU memberikan kesempatan pada masing-masing negara untuk mendefinisikan sendiri makna OTT tersebut. 

Dalam pandangan Ketua KPI Pusat periode 2013-2016, persoalan kesetaraan regulasi hari ini adalah persoalan antara platform dan konten. Sebenarnya, kita dapat saja bersepakat pengawasan platform diserahkan pada negara. Namun untuk pengawasan kontennya, KPI merupakan lembaga yang punya pengalaman dalam melakukan pemantauan, pengawasan, dan juga menindaklanjuti aduan publik terhada isi siaran. “Saya rasa, sepertinya tidak salah juga kalau pengawasan konten pada media berbasiskan internet diserahkan pada KPI,” terangnya. 

Persoalan konten menurutnya adalah masalah kedaulatan rakyat yang harus diberikan perlindungan. “Makanya, biarkanlah publik yang mengawasi isinya, dalam hal ini diwakili oleh KPI. Supaya tidak ada rezim otoriter yang memblokir isinya, sedangkan untuk platform biar saja negara yang mengawasi,” tambah Judha. 

Secara khusus dia menerangkan bahwa esensi penyiaran dari ITU adalah untuk penerimaan publik. Pertanyaannya, apakah konten di internet itu merupakan medium komunikasi untuk dirinya sendiri, atau untuk publik? Kalau itu adalah konten untuk diterima publik, seharusnya didefinisikan sebagai penyiaran. 

 

Lebih jauh Judha mengingatkan bahwa kita pernah bersepakat bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi. Implikasinya, pers diperlakukan dengan regulasi yang khusus, termasuk tersedianya hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan oleh pers. Saat ini, tambah dosen pengampu mata kuliah Hukum Internasional, dengan kondisi pers yang sulit menjadi jembatan antara rakyat dan kekuasaan, maka muncullah keinginan menjadikan media sosial sebagai pilar kelima demokrasi. 

“Jika demi demokrasi dan kedaulatan rakyat kita bersepakat bahwa media sosial sebagai pilar kelima demokrasi, maka kita pun harus memberikan kedaulatan pada media sosial. Kita juga harus memberi perlindungan hukum sebagaimana yang sudah kita berikan pada pers,” tegasnya. 

Saat ini, di media berbasiskan internet termasuk media sosial, kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat didekati oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Jadi kalau ada aduan atas siaran di You Tube atau media lain dengan platform internet, para pembuat konten berpotensi dipidanakan. Sedangkan kalau memperlakukannya sebagaimana konten di lembaga penyiaran, tindak lanjut aduan ataupun pelanggaran berujung pada sanksi administrasi atau pun pembinaan lembaga penyiaran sebagai penyedia program siaran.  “Tinggal kita inginnya seperti apa memperlakukan konten di media sosial ini, apa kita ingin langsung dipidanakan sebagaimana aturan di Undang-Undang ITE?” tanyanya diplomatis. 

Diskusi berlangsung hangat dengan pertanyaan dan tanggapan dari peserta yang sebagian besar adalah praktisi media, baik lembaga penyiaran swasa, lembaga penyiaran publik, atau pun juga di media cetak. Perwakilan dari Radio Republik Indonesia (RRI) menanyakan bagaimana identitas lembaganya ketika harus beradaptasi pada perkembangan teknologi, dengan menyiarkan konten multiplatform. Sementara dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengakui bahwa pihaknya juga mendorong adanya revisi undang-undang penyiaran. Namun, belakangan penolakan yang disampaikan AJI terhadap revisi tersebut dikarenakan ada pasal-pasal yang dianggap dapat mencederai kebebasan pers dan juga dianggap tidak ada partisipasi publik. Secara spesifik AJI juga mengingatkan KPI untuk tetap memperjuangkan keberagaman kepemilikan lembaga penyiaran dan eksistensi konten lokal yang sebenarnya sudah menjadi amanat dalam Undang-Undang Penyiaran, namun pelaksanaannya masih jauh panggang dari api. 

Hadir dalam diskusi tersebut Ketua KPI Pusat Ubaidillah, Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Struktur Penyiaran (PKSP) KPI Pusat Muhammad Hasrul Hasan, Anggota KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Aliyah, dan Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Mimah Susanti. 

 

 

Jakarta - Pengaturan konten pada lembaga penyiaran, hingga saat ini, masih berpegang pada Undang-Undang Penyiaran, serta regulasi turunan lainnya yang juga diatur dalam perundang-undangan. Kendati demikian, belum ada satu pun regulasi yang menata secara spesifik tentang konten media yang disiarkan melalui medium internet. Padahal, perkembangan teknologi informasi terkini, sudah mulai menggeser konsumsi publik dari media konvensional free to air ke media berbasis internet. 

Karenanya, pengaturan secara formal atas pengelolaan konten media yang disebarluaskan melalui internet menjadi kebutuhan yang mendesak. Pengaturan ini sebagai bentuk perlindungan pada publik atas potensi munculnya residu dari keberlimpahan konten yang hadir melalui internet.

Dinamika tersebut semestinya telah diatur melalui kehadiran Undang-Undang Penyiaran yang baru. Sambil menanti hadirnya regulasi yang baru ini, Komisi Penyiaran Indonsia (KPI) terus melakukan sosialisasi dan diskusi bersama pemangku kepentingan penyiaran, tentang pentingnya kehadiran regulasi penyiaran yang setara lewat berbagai medium.

Terkait hal itu, KPI akan menggelar Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) yang mengikutsertakan berbagai kelompok masyarakat dengan narasumber kalangan akademisi, pemerhati media dan juga kelompok masyarakat sipil, di Makassar, Sulawesi Selatan (21/9/2024).

Para narasumber itu yakni Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, Prof Judhariksawan, Dr Bachtiar Maddutuang dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) AMKOP Makassar, Rusdin Tompo selaku Pemerhati Media, Fachruddin Palapa dari Masyarakat Anti Hoax dan Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dan Alem Pebri Sonny dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin Makassar.

Turut hadir pula dalam diskusi tersebut, Ketua KPI Pusat Ubaidillah, Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran KPI Pusat Muhammad Hasrul Hasan, Anggota KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Aliyah, dan Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Mimah Susanti.

Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran KPI Pusat Muhammad Hasrul Hasan, menegaskan, saat ini, televisi, radio dan juga media cetak memiliki pagar api yang jelas bagi para pengelolanya dalam menghadirkan konten ke tengah masyarakat.

“Kita mengenal adanya Kode Etik Jurnalistik untuk produk-produk jurnalistik dan juga ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) untuk semua konten di televisi dan radio. Tapi untuk konten dari media sosial, seperti siaran langsung di facebook dan instagram atau video pendek di youtube dan tiktok, hingga saat ini belum ada pengaturan rinci. Padahal, pada media tersebut ratusan juta mata publik teralihkan, termasuk juga pendapatan iklan dari lembaga penyiaran,” tegasnya.

Hasrul Hasan menyatakan, KPI berharap diskusi ini dapat menampung aspirasi publik terkait konten media dan model pengaturannya. Pada prinsipnya, KPI tetap menjunjung nilai-nilai demokrasi dalam bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat.

“Pada sisi lain, KPI juga berkepentingan menjaga ranah publik untuk tetap kondusif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tutupnya.

 

Makassar - Usaha Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mewujudkan adanya regulasi untuk media yang dipancarkan melalui platform internet semata karena negara harus hadir dalam memberikan perlindungan, baik untuk publik atau pun untuk ekosistem media penyiaran secara keseluruhan. KPI berhadap ada level playing field atau kesetaraan regulasi bagi semua platform media, baik di konvensional atau pun melaluii internet. Hal tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat Ubaidillah saat membuka Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) dengan tema Kesetaraan Regulasi Penyiaran Berbasis Internet dan Konvensional, (21/9). 

Saat ini, ujar Ubaidillah, terdapat aturan yang sangat ketat bagi penyiaran free to air. Misalnya rokok yang tidak boleh muncul di televisi, atau pun konten pornografi yang tegas aturan pembatasan atau pelarangannya. Namun podcast yang disiarkan lewat internet, orang dapat tampil leluasa sambil merokok, atau pun konten pornografi yang secara vulgar dapat diakses publik di setiap kesempatan. “Kesetaraan aturan ini tentu menjadi sebuah kebutuhan dalam rangka melindungi masyarakat atas konten negatif yang hadir lewat penyiaran yang berbasiskan internet,” ujarnya. Apalagi jika melihat data, meningkatnya konsumsi masyarakat atas media berbasiskan internet. 

Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Judhariksawan, yang juga merupakan Ketua KPI Pusat periode 2013-2016. Narasumber lainnya, pemerhati media Rusdin Tompo, Akademisi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi AMKOP Makassar Bachtiar, Aktivis Masyarakat Anti Fitnah dan Anti Hoax Indonesia (MAFINDO) Fachruddin, dan juga Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Hasanuddin Alem Pebri Sonni. 

Rusdin Tompo menjelaskan, pembicaraan mengenai Revisi Undang-Undang Penyiaran sudah dimulai sejak tahun 2008 di Makassar. Sebenarnya undang-undang yang ada sekarang pun sudah cukup antisipatif terhadap perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran. “Artinya, suasana kebatinan saat itu sudah sangat futuristik,” ujar Rusdin. Sudah membayangkan perkembangan penyiaran ke depan yang akan menggunakan internet. Namun ada kegagalan dalam sistematika di batang tubuh, sehingga pada prakteknya undang-undang tidak dapat menjangkau internet. “Yang jelas, saat ini kita butuh regulasi tentang konten penyiaran di internet, terlepas siapapun yang jadi lembaga pengawasnya,” tegas Rusdin. 

Terkait ketiadaan regulasi, Alem Pebri Sonni menilai, butuh kemauan politik dari pemerintah untuk membuat pengaturan. Menurutnya, dampak informasi yang tersebar dengan salah, tidak dapat diantisipasi oleh negara karena bentuknya yang abstrak. “Juga dianggap bukan hal yang fundamental dan tidak berpengaruh pada kepentingan penguasa untuk diperhatikan. Makanya tidak jadi prioritas utama pemerintah,” ujarnya. 

Karenanya Sonni mengharapkan KPI ikut memberi masukan dalam penyusunan regulasi ke depan. Ruang penyiaran ini, ujar Sonni, sengguhnya bukan hanya televisi dan radio tapi juga ruang yang diakses oleh banyak orang. Merujuk aturan di Inggris, jika kanal Youtube bersiaran sehari lebih dari tujuh jam, maka harus tunduk pada aturan yang ditetapkan bagi lembaga penyiaran. 

Perspektif selanjutnya disampaikan oleh Judhariksawan yang mengungkap sebenarnya Undang-Undang Penyiaran saat ini dapat menjangkau penyiaran yang dipancarluaskan melalui internet. Namun demikian, Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan bahwa makna kata lainnya dalam definisi penyiaran bukanlah merujuk pada internet. 

Dengan demikian, jika penyiaran yang menggunakan medium internet tidak terkategorikan sebagai penyiaran, maka regulasi yang menjadi payung adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “Yang jelas ada perbedaan penanganan kasus antara undang-undang Penyiaran dan undang-undang ITE,” ujarnya. Pelanggaran Undang-Undang Penyiaran ditangani oleh KPI dengan sanksi administratif. Sedangkan pelanggaran Undang-Undang ITE adalah pidana yang ditangani oleh kepolisian. 

Turut hadir dalam diskusi ini, Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiarna (PKSP) KPI Pusat Muhammad Hasrul Hasan, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Mimah Susanti dan Anggota KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Aliyah. *

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) melakukan kunjungan kerja ke kantor kedutaan besar (KBRI) Indonesia untuk Inggris yang berkedudukan di London, beberapa waktu lalul. 

Dalam kesempatan ini, para delegasi disambut langsung oleh yang mulia Duta Besar Republik Indonesia untuk Inggris, merangkap Irlandia dan International Maritime Organization, Dr. Desra Percaya, beserta Wakil Duta Besar Sahadatun Donatirin dan jajaran.

Delegasi KPI Pusat diwakili 4 Komisioner bidang kelembagaan yaitu, I Made Sunarsa, Mimah Susanti, Amin Shabana, dan Evri Rizqi Monarshi. 

Dalam diskusi tersebut, KPI Pusat menyampaikan hal-hal terkait perkembangan penyiaran di Indonesia, termasuk lembaga pemeringkatan rating siaran yang ada di Indonesia. Hal ini sejalan dengan kunjungan delegasi KPI di London, yakni melakukan studi tiru di lembaga penyiaran umum Britania Raya BBC, juga IPSOS yang saat ini menjadi salah satu lembaga pemeringkatan rating di Inggris.

Sementara itu, Kemenkominfo RI yang diwakili Direktur Penyiaran Geryantika Kurnia menyampaikan hal-hal terkait perkembangan teknologi informasi yang memberi pengaruh terhadap industri penyiaran di tanah air.

Kedutaan menyambut baik kedatangan delegasi KPI Pusat dan kemenkominfo RI, dan berharap bisa bersinergi dan bekerjasama memajukan penyiaran di Indonesia. *

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.