Jakarta - Wacana pengaturan konten layanan Over The Top (OTT) yang tengah dibahas DPR sangat dibutuhkan demi membangun level of playing field yang setara dengan penyiaran free to air (FTA) di tanah air. Kehadiran asosiasi seperti Asia Video Industry Association (AVIA) dan Asosiasi Video Streaming Indonesia (AVISI) dapat menjadi pengaya substansi pengaturan OTT yang diwacanakan akan masuk dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran. Hal ini diungkap Amin Sabhana, Anggota Bidang Kelembagaan KPI Pusat, usai menghadiri diskusi panel pada State of Piracy yang diselenggarakan AVIA di Jakarta, (30/8).
“Ada permasalahan kompleks yang berkembang dalam layanan OTT, seperti perizinan, materi siaran, pembajakan dan juga klasifikasi siaran,” ujar Amin. Mengingat sebagian besar penyedia layanan OTT ini berbasis di luar negeri, tentu tidak mudah dihadapi jika dibebankan pengaturan dan pengawasan tersebut kepada KPI saja.
KPI sendiri memiliki perhatian yang besar terhadap hak cipta yang harus dihormati dalam setiap program siaran di televisi, baik di FTA atau pun televisi berbayar (Pay TV). Apalagi dengan makin terbukanya kesempatan memproduksi konten dan menyiarkannya lewat saluran televisi digital yang mengakibatkan jumlah televisi berlipat-lipat dari sebelumnya.
Meskipun hingga saat ini KPI belum mendapat kewenangan dalam layanan OTT, termasuk terkait pembajakan, Amin mengingatkan tentang pengalaman industri perfilman yang sempat mati suri akibat aksi pembajakan. Untuk itu, pembajakan yang terjadi dalam layanan OTT harus dicermati dengan cepat sesuai regulasi yang ada. “Bila tidak ada law enforcement yang tegas, praktik pembajakan tentang akan merugikan industri media dan mengakibatkan bisnis ini tidak berjalan dengan sehat.
Pada pertemuan itu juga dilaksanakan penandatanganan kerja sama antara AVIA dan AVISI dalam rangka menanggulangi pembajakan yang menjadi isu global dalam industri pembuat konten. Dalam diskusi panel tersebut diungkap hasil survey konsumen terbaru dari Coalition Against Piracy (CAP) yang mengungkat 54% konsumen Indonesia mengakses layanan pembajakan pada tahun 2023.
Namun demikian, survey CAP ini mengungkap adanya peningkatan kesadaran hingga 94% bahwa pembajakan ini memiliki konsekuensi negatif terhadap industri kreatif. Menurut CEO AVIA, Louis Boswell, pembajakan merupakan satu-satunya masalah terbesar yang dihadapi industri video dan untuk menyelesaikan masalah ini harus melakukan pendekatan pada multistakeholder.
Ini juga yang menjadi alasan bagi AVIA untuk bekerja sama dengan AVISI dalam memberantas pembajakan, serta melindungi dan mempromosikan konten-konten di Indonesia. Kedua organisasi ini selain sepakat untuk memperkuat pertahanan dan mendorong akses hukum terhadap konten, juga akan memperjuangkan hak-hak pembuat konten untuk menumbuhsuburkan ekosistem konten kreatif. (Foto KPI Pusat/ Intantri K)
Jakarta - Televisi dan radio diharapkan dapat ikut mendorong keterlibatan masyarakat membantu mengatasi stereotype negatif atau prasangka terhadap budaya dan kelompok tertentu, dengan menyebarkan informasi yang akurat dan berimbang. Hal ini didasarkan dengan keberagaman masyarakat Indonesia yang membutuhkan sosialisasi serius dengan data yang akurat, agar dapat meningkatkan tolerasi sebagai sesama anak bangsa.
Hal ini disampaikan anggota Komisi I DPR RI Krisantus Kurniawan saat menjadi pemateri dalam Kuliah Umum di Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) angkatan 47 yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Jakarta, (30/8).
Dalam materi yang mengambil topik “Tanggungjawab Sosial Lembaga Penyiaran dalam Menjaga Karakter Bangsa, Krisantus juga menjelaskan secara rinci tentang pentingnya karakter bangsa dalam keberlanjutan dan identitas suatu negara. “Bukan hanya tentang membangun pondasi moral dan etika masyarkaat, tetapi juga tentang membentuk dasar untuk memahami dan menghargai identitas nasional,” ujarnya.
Sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Barat II yang meliputi kabupaten yang bersebelahan dengan negara tetangga, Krisantus menilai, media baik melalui lembaga penyiaran atau pun media sosial, memiliki fungsi yang strategis dalam menjaga karakter bangsa. “Media memiliki potensi besar untuk menyebarkan nilai-nilai positif, budaya, dan sejarah bangsa secara luas dan efektif, termasuk diantaranya soal kekhasan dari setiap suku bangsa di negeri ini,” tambahnya.
Secara khusus Krisantus berharap, media juga dapat dioptimalkan untuk menyosialisasikan informasi tentang tradisi-tradisi budaya yang menjadi kekayaan negeri ini, seperti festival, upacara atau pun ritual tertentu. “Dengan adanya sosialisasi melalui media, tentu akan membantu masyarakat memahami dan menghargai warisan budaya negerinya sendiri,” tegas Krisantus.
Sekolah P3SPS sendiri merupakan kegiatan KPI Pusat dengan target peserta pelaku di industri penyiaran. Kegiatan ini digelar untuk memberi kesempatan pada pekerja di sektor penyiaran memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang regulasi penyiaran di Indonesia. Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Tulus Santoso, dalam acara ini menyampaikan kerangka dasar regulasi penyiaran yang saat ini menjadi sandaran bagi para pembuat konten siaran baik itu televisi dan radio.
Melihat dari kronologi undang-undang penyiaran, Tulus mengungkap, secara perlahan sudah dilakukan pengurangan kewenangan KPI dari yang sesungguhnya diharapkan pembuat regulasi ini. Misalnya saja, kewenangan membuat peraturan pemerintah bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika yang kemudian dihilangkan setelah adanya pengajuan judicial review dari beberapa lembaga dan pemangku kepentingan penyiaran. Yang terakhir, tambah Tulus, adalah pencabutan kewenangan KPI dalam proses perizinan lembaga penyiaran lewat undang-undang cipta kerja. “Sehingga saat ini, kewenangan KPI hanya sebatas pada pengawasan konten siaran dan penjatuhan sanksi administrasi saja,” ujarnya.
Namun demikian, apa pun kewenangan yang tersisa untuk KPI yang diamanatkan regulasi, tetang digunakan untuk menjaga kepentingan publik. Undang-undang kita secara tegas menyatakan penyiaran diselenggarakan dengan tujuan memperkukuh integritas nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, termasuk juga menumbuhkan industri penyiaran Indonesia, pungkas Tulus. (Foto: KPI Pusat/ Agung Rachmadiansyah).
Jakarta – Berkembangannya teknologi dipastikan ikut mengubah berbagai aspek kehidupan termasuk landskap penyiaran. Sekarang, setiap orang tidak melulu mengakses informasi dan hiburan hanya dari media konvensional (radio dan TV), tapi juga bisa lewat media baru atau media sosial (youtube, netflik dan lainnya). Kondisi ini pada akhirnya membuat kompetisi antar media (lama dan baru) makin ketat.
Sayangnya, kompetisi ini dinilai tidak berjalan sehat lantaran tidak semua media tersebut di payungi regulasi. Keberadaan radio dan TV diatur dalam Undang-Undang (UU) No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sedangkan media baru belum ada payung hukumnya. Sudah tentu ini menimbulkan iklim bisnis yang tidak baik. Media penyiaran harus bertarung tapi dengan pengawasan, adapun kompetitor barunya melenggang tanpa pantauan.
Meskipun begitu, media seperti TV dan radio tidak boleh lempar handuk alias menyerah. Apalagi dengan hadirnya sistem siaran baru yakni siaran digital yang digadang-gadang akan memberi ruang yang lebih baik sekaligus luas bagi keduanya. Tidak hanya untuk media penyiaran, masyarakat pun akan merasakan keuntungan dari sistem baru ini. Tapi satu yang mesti diwujudkan, pemenuhan finansial industri dan kebutuhan publik soal kualitas siaran harus berjalan serempak.
Dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertajuk “Postur Penyiaran yang Kompetitif di Era Digital” yang diselenggarakan Kementerian Sekretariat Negara Sekretariat Wakil Presiden RI, beberapa waktu lalu, hal-hal tersebut menjadi topik bahasan. Tidak hanya mengubah hal general, perubahan sistem tersebut ikut menciptakan situasi baru lainnya seperti soal pengawasan, sumber daya manusia hingga isi konten.
Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, dalam paparannya mengatakan, pihaknya sangat antusias menyambut perubahan sistem baru tersebut. Pasalnya, hal ini masuk dalam tujuan dari penyiaran nasional. Namun, KPI tetap akan memastikan tujuan penyiaran yang sesuai UU berjalan seimbang.
“Ada dua tujuan dari penyiaran yakni soal moral atau nilai dan ekonominya. KPI memastikan hal-hal itu dapat tercapai. Jadi pertumbuhan penyiaran kita pararel dan sesuai dengan tujuan penyiaran nasional,” katanya dalam diskusi tersebut.
Perubahan sistem siaran ini juga akan memunculkan tantangan baru bagi KPI utamanya dalam pengawasan siaran. Menurut Ubaidillah, hal ini disebabkan jumlah stasiun TV baru makin bertambah. “Tapi, kami harapkan dari pertambahan jumlah TV ini harus diikuti dengan makin ragamnya siaran. Jangan makin banyak TV, siarannya itu-itu saja,” tuturnya.
Terkait keragaman siaran ini, KPI berharap sistem digital ini dapat menampung aspirasi informasi masyarakat khususnya di daerah tidak terjangkau siaran. Karenanya, keberadaan lembaga penyiaran komunitas (LPK) diperlukan di wilayah tersebut.
“Harapannya ketika digital berjalan, kepentingan penyiaran di wilayah sulit bisa diwakili lembaga penyiaran komunitas. Seperti di Jawa Barat, ada kepentingan untuk memberikan edukasi dan informasi. Bahkan untuk kepetingan bencana alam,” kata Ubaidillah.
Terkait pengawasan media baru, Ubaidillah menyatakan, kewenangan lembaganya tidak keluar dari UU Penyiaran. Namun tidak dipungkiri banyak aduan ke KPI yang mengeluhkan konten di media baru. “Kami tidak bisa menjangkau sampai sana. Pengawasan TV di daerah saja belum maksimal. Tapi jika kewenangan tesebut diberikan KPI, hal ini akan menjadi tantangan dan kami siap berkoordinasi,” ungkapnya.
Sementara itu, Anggota KNRP (Komite Nasional Reformasi Penyiaran), Ignatius Haryanto, berharap perubahan sistem siaran nasional memberi nilai ekonomi yang sepadan bagi televisi lokal. Persaingan konten pun harus diatur secara adil yang nantinya akan menghadirkan pemerataan ekonomi. “TV lokal ini juga memberi kesempatan pemirsanya dari konten yang mereka hasilkan,” jelasnya.
Bentuk konten ideal yang mestinya dihadirkan di lembaga penyiaran juga disinggung Haryanto. Menurutnya, informasi berkualitas dan hiburan yang sehat dapat memberi pengertian masyarakat tentang keberagaman negeri ini. “Jadi TV harus berkolaborasi dan Kerjasama, antar TV lokal dengan TV lokal lain juga bekerjasama. Sehingga kita bisa memahami keberagaman ini, antar wilayah atau daerah di tempat lain. Kita jadi lebih terbuka dan bisa melihat luas,” paparnya.
Tantangan ke depan
Era digital dan media baru menyebabkan terjadinya perubahan besar-besaran pada media lama. Bahkan, tidak sedikit dari media lama tersebut yang tenggelam. Namun, ada banyak media yang bertahan dan menyesuaikan.
“Ada tantangan baru khusus untuk TV. Persaingan dengan Netflix misalnya. Mereka mengembangkan media OTT juga. Dari kisah dua media ini, saya menyimpulkan digitalisasi bukanlah membunuh media. Tapi dengan adanya digital akan memberi oportunity baru bagi media lama. Seperti radio, frekuensi yang digunakan bisa didengarkan dimanapun. Tidak terbatas pada satu wilayah saja. Ini luar biasa. Dalam situasi seperti ini, radio menjadi salah satu oportuinity yang paling besar. Siaran radio dengan digital semuanya bisa terjadi,” kata Gun Gun Heryanto, salah satu narasumber diskusi.
Dijelaskan Gun Gun jika struktur pasar penyiaran sekarang sudah berubah usai tumbangnya rezim orde baru. Hal ini menandakan bahwa demokrasi punya banyak cara dalam beroperasi. Namun begitu, diperlukan aturan yang jelas untuk menopang hal yang boleh dilakukan dan tidak. Hal ini untuk memastikan tidak adanya agenda setting media ke arah yang tendesius. “Jangan sampai kerja jurnalis menjadi prpagandis. Hal ini mermerlukan banyak hal,” tegasnya.
Terkait hal itu, Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini memandang perlu penguatan lembaga penyiaran dalam tiga hal. Pertama, human broadcasting low yang menjadi tanggung jawab legislatf dan eksekutif. Kedua, broadcasting management yang menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran. Lalu ketiga, penguatan konten siaran yang menjadi kebutuhan publik.
Sementara itu, Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Geryantika Kurnia, memaparkan tentang upaya pemerintah dalam menyederhanakan proses perizinan penyiaran lewat paket UU Cipta Kerja. Menurutnya, penyederhanaan perizinan ini memangkas alurnya menjadi pendek.
“Proses perizinan dulu berbelit belit, satu izin bisa 105 hari dan ini tidak jelas izinnya bisa keluar kapan. Dengan UU ini kita sederhanakan. Lalu, tidak ada izin seumur hidup. Semuanya hanya 10 tahun,” jelas Geryantika.
Ia juga membahas perkembangan platform OTT (over the top). Menurutnya, persoalan OTT telah banyak diatur di banyak negara dunia termasuk Malaysia. Tapi, negara Jiran memisahkan aturanya. “Di Kanada, regulasi ini tidak berhasil. Ada plus minusnya. Apakah perlu KPI mengawasai media baru. Lembaba ini ada yang saling bersinggungan. Ada LSF, KIP dan Dewan Pers. Ada juga satgas UU ITE. Yang ini perlu dipertimbangankan untuk membuat lembaga yang benar-benar kuat,” kata Geryantika.
Masih menyangkut media baru, Gery mengingatkan pentingnya kehati-hatian menetapkan regulasinya termasuk perizinan. Menurutnya, apa mesti semua media sosial memerlukan izin. Pasalnya, dengan ranah izin dapat menyebabkan kemandekan kreatifitas. “Jangan mengikat kreatifitas masyarakat. Jadi harus hati-hati. Karena belum ada yang berhasil menyelesaikan media baru digabung dalam satu undang-undang,” tandasnya. ***
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Malaysian Communications and Multimedia Commissions (MCMC) menggelar pertemuan perdana melalui daring, Senin (28/8/2023). Pertemuan ini untuk mempererat kerjasama kedua lembaga sekaligus mempersiapkan pembentukan forum regulator penyiaran di negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).
Dalam pertemuan ini, hadir Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, Anggota KPI Pusat, Amin Shabana, Evri Rizqi Monarshi, Mimah Susanti dan I Made Sunarsa serta Kepala Sekretariat KPI Pusat Umri. Adapun MCMC diwakili Shaharliza, Faisal Hamdi, Suraya, dan Mawar Latif.
Ketua KPI Pusat Ubaidillah mengatakan, pertemuan ini dalam rangka membentuk sinergi kedua belah pihak. Selain itu, banyak hal yang menjadi bahasan khususnya terkait perkembangan penyiaran dan multimedia di kedua negara.
“Kami perlu mengetahui bagaimana proses pengawasan siaran, penerapan ASO, bisnis penyiarannya, serta model literasi di Malaysia,” ujarnya.
Anggota KPI Pusat Amin Shabana menambahkan, pertemuan ini bagian dari upaya KPI mempertemukan seluruh regulator penyiaran di ASEAN dalam sebuah forum penyiaran. Menurutnya, pembentukan forum penyiaran ASEAN diperlukan. Tidak hanya untuk pengembangan penyiaran di kawasan, tapi juga menyangkut tukar menukar informasi mengenai dinamika regulasi penyiaran di masing-masing negara.
“Kami sebelumnya sudah melakukan pertemuan dengan Duta Besar Malaysia di Jakarta. Kami menyampaikan kepada beliau bahwa kami berinisiatif mempererat kerjasama dengan lembaga sejenis. Kami juga sudah bertemu dengan Dubes lainnya,” kata Amin yang secara khusus menyampaikan maksud pertemuannya dengan MCMC untuk belajar cara bagaimana Malaysia mengatur penyiaran multimedia.
Sementara itu, Suraya dari MCMC menjelaskan tentang tugas dan fungsi lembaganya. MCMC berdiri pada 1 November 1998 merupakan regulator yang mengatur sektor penyiaran dan telekomunikasi di Malaysia. Lembaga ini berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Digital Kerajaan Malaysia.
Dia mengatakan regulasi penyiaran di Malaysia tidak banyak. Hal ini dikarenakan jumlah pendudukannya yang tidak sebesar Indonesia. “Sekarang ini kami sedang mengkaji 5G broadcasting, ini untuk penyiaran yang lebih efektif. Baik itu dari segi biaya dan lainnya,” tutur Suraya.
MCMC juga melakukan survei dan analisis untuk mendapatkan data jumlah dan kepuasaan penonton pada FTA (free to air) TV. Sekarang, MCMC tengah membuat blue print tentang industri penyiaran di Malaysia. Hal ini untuk memastikan model bisnis yang tepat bagi industri penyiaran di negaranya. ***
Denpasar - Kemauan politik yang kuat dibutuhkan dalam memayungi semua kepentingan yang berada dalam ekosistem penyiaran, baik itu kepentingan publik ataupun kepentingan bisnis. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menilai, keberpihakan terhadap lembaga penyiaran lokal, termasuk di dalamnya televisi lokal, harus ditunjukkan dalam bentuk regulasi atau kebijakan dari pemerintah daerah. Semisal, mengutamakan penempatan iklan di televisi lokal untuk setiap promosi yang dilakukan pemerintah daerah atau pabrik dan industri yang tumbuh di daerah. Hal tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat Ubaidillah, saat ulang tahun Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) ke-21 yang dilangsungkan di Denpasar, (24/8).
Jika mencermati undang-undang penyiaran yang masih berlaku saat ini, ujar Ubaidillah, semangatnya adalah untuk menghidupkan desentralisasi informasi di bidang penyiaran, yang terejawantah dalam keberagaman konten dan juga keberagaman kepemilikan.
Dengan keberagaman tersebut, kita berharap industri penyiaran di daerah dapat tumbuh. Mulai dari lapangan pekerjaan yang dapat menyerap sumber daya manusia secara signifikan, kegiatan ekonomi yang tercipta, dan juga menguatnya konten lokal baik melalui televisi lokal atau pun penerapan alokasi sepuluh persen konten lokal untuk lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi yang bersiaran secara jaringan. Ini adalah harapan ideal yang ditumpukan dalam undang-undang penyiaran. Bahwa melalui dunia penyiaran, selain menumbuhkan ekonomi, juga menguatkan semangat demokrasi bangsa ini dengan keberagamannya, tambah Ubaidillah.
Tentang keberlangsungan televisi lokal di era digital, KPI Pusat berharap, dapat tetap hadir di tengah publik, sebagai penopang demokrasi. “Bagaimana pun juga, televisi lokal yang mengenal dengan baik kondisi dan juga potensi masing-masing daerah,” ucapnya. Selayaknya, televisi lokal juga, baik itu swasta dan komunitas, yang digandeng pemerintah ataupun kalangan swasta dalam melakukan diseminasi informasi kepada publik, termasuk menyampaikan dan memotret realitas sesungguhnya di daerah.
Ubaidillah juga menegaskan, KPI Pusat dalam berada dalam posisi yang menginginkan setiap lembaga penyiaran tetap berdiri tegak dan hadir memberikan informasi yang layak kepada publik. Hingga saat ini KPI melihat bahwa lembaga penyiaran masih menjadi sentrum informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, kalau pun kekeliruan ada mekanisme yang formal untuk teguran dan koreksi. “Sehingga di televisi dan radio dapat dipastikan publik atau masyarakat terlindungi dari potensi tersebarnya hoax, fitnah dan ujaran kebencian yang menyebabkan keterbelahan sosial,” pungkasnya.
Presenter mengatakan opininya bahwa safari Ramadhan Kapolri ke beberapa Pondok Pesantren di Jatim sebagai upaya mencari dukungan dalam mengangani kasus Rizieq Shihab..
Pojok Apresiasi
Windra Sumardiansyah
Mantap Joss,tolong acara kayak gini jangan di take down sama situ