Yogyakarta - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY jelang akhir tahun 2016 ini terus mendorong Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) baik radio maupun televisi untuk merealisasikan minimal 10 persen konten siaran lokal sesuai peraturan yang belaku. Pasalnya hal tersebut merupakan kesanggupan yang sudah disampaikan saat pertama mengajukan hak penyelenggaraan penyiaran di Yogyakarta.
"Saat pertama mereka mengajukan ijin sudah sepakat dan bersedia mematuhi aturan termasuk alokasi siaran lokal minimal 10 persen dari total seluruh jam siar yang dimiliki. Ketika hingga saat ini belum direalisasi, tidak ada salahnya dan sudah sepantasnya kami menagihnya," tutur Komisioner KPID DIY yang membidangi Isi Siaran Supadiyanto kepada KRjogja.com, Senin (26/12/2016).
Namun begitu Supadiyanto sudah memberi apresiasi terhadap LPS yang awalnya hanya mengalokasikan siaran lokal dalam hitungan menit, kini sudah meningkat pada hitungan jam. Hanya saja sayang, siaran lokal khususnya di televisi masih ditempatkan dalam jam-jam 'hantu' atau dini hari yang jarang diakses pemirsa.
"Padahal ada ketentuan lain minimal 30 persennya harus ditayangkan dalam jam-jam tayang prima antara Pukul 08.00-22.00 WIB. Sedang radio hingga pukul 23.00 WIB. Aturan ini yang masih belum dipenuhi secara maksimal," lanjut Supadiyanto. Malahan ditegaskan pria yang akrab disapa Spd tersebut, berdasarkan pantauan yang dilakukan KPID DIY banyak siaran lokal yang justru diulang-ulang. Artinya tidak lagi ada produksi baru karena produksi yang ditayangkan sudah lama.
"Ironisnya ada beberapa LPS yang tidak memiliki kantor cabang di Yogyakarta. Bagaimana mau membuat produksi siaran lokal jika kantor saja tidak punya. Padahal sudah semestinya hal itu dilakukan karena selain menjami kualitas, juga memberikan kesejahteraan pada masyarakat lokal," jelasnya. Sehingga dengan disahkannya Perda No 13 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Penyiaran di DIY, Supadiyanto berharap LPS makin komitmen untuk memberikan sajian siaran lokal. Sebab hal tersebut juga ditegaskan dalam perda tersebut termasuk sanksi yang diberikan jika tidak melaksanakan aturan. (Krjogja.com)
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ingatkan pengelola televisi akan 7 (tujuh) komitmen yang telah ditandatangani dalam proses perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) untuk 10 (sepuluh) televisi swasta yang bersiaran jaringan secara nasional. Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menyatakan bahwa KPI berkepentingan agar sepuluh televisi yang mendapatkan perpanjangan IPP tersebut bersungguh-sungguh dalam menjalankan komitmen yang berbunyi:
1. Sanggup untuk melaksanakan seluruh ketentuan yang terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dan kebijakan KPI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
2. Sanggup menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial dalam rangka membangun karakter bangsa.
3. Sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan isi siaran program jurnalistik, tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran.
4. Sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan terkait dengan penyelenggaran Pemilihan Umum meliputi: a. Pemilihan kepala daerah; b. Pemilihan anggota legislatif tingkat daerah dan pusat; c. Pemilihan presiden dan wakil presiden; d. Kegiatan peserta pemilihan umum (Pemilu) dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta Pemilu; e. Pemberitaan dan penyiaran yang berbentuk penyampaian pesan-pesan kampanye oleh partai politik kepada masyarakat melalui lembaga penyiaran secara berulang-ulang.
5. Sanggup melaksanakan penayangan yang menghormati ranah privat dan pro justicia yang mengedepankan asas praduga tak bersalah secara proporsional dan profesional.
6. Sanggup untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, antara lain berupa penggunaan bahasa isyarat dalam program siaran berita.
7. Bersedia untuk dilakukan evaluasi secara berkala setiap tahun terhadap seluruh pelaksanaan komitmen dan bersedia untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan evaluasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Hal tersebut dikatakan Yuliandre dalam acara Refleksi Akhir Tahun KPI Pusat 2016, sekaligus menyampaikan kinerja lembaga ini sepanjang tahun 2016 kepada publik. Selain mengingatkan tujuh komitmen, Yuliandre menyampaikan tentang kewajiban menyiarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dalam pasal 38 Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) menyebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib memulai siaran dengan menyiarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan mengakhir siaran dengan menyiarkan lagu wajib nasional. Dirinya berharap hal tersebut menjadi salah satu wujud kontribusi lembaga penyiaran dalam mengembangkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air. Yang jelas, ujar Yuliandre, pada tahun 2017 KPI akan melakukan pengawasan terhadap penayangan ILM dan penyiaran lagu nasional tersebut. “Mengingat dua hal tersebut telah tercantum dalam P3 & SPS 2012, penegakan aturan tersebut akan diimbangi dengan pemberian sanksi jika terjadi pelanggaran”, ujar Yuliandre.
Sepanjang 2016 ini, KPI telah mengeluarkan 169 sanksi administratif yang terdiri atas 151 teguran tertulis, 14 teguran tertulis kedua, dan 4 penghentian sementara. Data KPI menunjukkan 4 sanksi penghentian sementara tersebut diberikan pada 3 program infotainment (Fokus Selebriti, Obsesi dan Selebrita Siang) dan 1 program variety show (Happy Show).
Yuliandre melihat, ada dominasi penghentian sementara pada program infotainment tersebut sejalan dengan hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang dilakukan sepanjang 2016. Dalam lima kali survey, program infotainment selalu mendapatkan nilai indeks yang rendah.
Untuk itu, Yuliandre berharap agar lembaga penyiaran, khususnya televisi melakukan koreksi total terhadap program infotainment. “Catatan dari hasil survey menunjukkan rendahnya nilai indek melindungi kepentingan publik dan menghormati kehidupan pribadi”, ujarnya. Karenanya, KPI juga meminta pada pengiklan untuk mempertimbangkan ulang penempatan produk-produknya pada program-program siaran yang kerap kali mendapatkan sanksi dari KPI dan dinilai berkualitas rendah oleh masyarakat.
Ke depan, tambah Yuliandre, KPI akan meningkatkan pengawasan terhadap penyiaran politik seiring dengan dibentuknya Gugus Tugas Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau Walikota dan Wakil Walikota melalui lembaga penyiaran. KPI berharap, masyarakat mendapatkan informasi yang akurat, adil dan berimbang melalui lembaga penyiaran, yang dapat memandu mereka dalam menentukan pilihan politik yang tepat untuk kepentingan bangsa.
Padang – Ketua KPI Pusat Yuliander Darwis didaulat menjadi komandan upacara Hari Peringatan Bela Negara 2016 di Lapangan Imam Bonjol, kota Padang, Senin, 19 Desember 2016. Puncak upacara Hari Peringatan Bela Negara yang kali ini diadakan di Sumatera Barat dihadiri Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu dan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno.
Upacara yang dikomandani Ketua KPI Pusat tersebut diikuti 3000 orang yang terdiri datang dari kalangan TNI, Kepolisian, Satpol PP, Kader Bela Negara, Organisasi Massa, Mahasiswa, dan Pelajar. Dalam sambutannya, Menhan Ryamizard membacakan sambutan tertulis Presiden Joko Widodo.
"Pengabdian para guru, bidan dan tenaga kesehatan di pelosok tanah air, perbatasan dan pulau terluar adalah bentuk mulia bela negara," katanya.
Menurutnya, bela negara tidak hanya berperang seperti zaman perjuangan kemerdekaan. Tugas berat yang menanti adalah memastikan kesejahteraan masyarakat yang merata. "Tugas sejarah kita membela negara dari kemiskinan, kebodohan, dan ketergantungan. Ini adalah tugas berat di depan mata," ujar dia.
Dalam upacara tersebut, dibacakan pula Ikrar Bela Negara oleh peserta upacara yang memakai pakaian adat dari masing-masing provinsi di Indonesia. Peserta upacara kemudian mengikuti pembacaan ikrar BelaNegara oleh Dosen Universitas Andalas, Sari Lenggo Geni.
Ikrar tersebut berbunyi:
Kami warga negara Indonesia, menyadari sepenuhnya bahwa, dalam rangka menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Demi kelangsungan hidup NKRI, berjanji untuk selalu bertindak dan berperilaku.
Satu, mencintai tanah air. Dua, memiliki kesadaran berbangsa, dan bernegara. Tiga, yakin kepada Pancasila sebagai ideologi negara. Empat, rela berkorban bagi bangsa dan negara. Lima, memiliki kemampuan dasar bela negara.
Dalam upacara tersebut juga dimeriahkan dengan sajian drama kolosal yang menggambarkan peristiwa Agresi Militer Belanda ke II, terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sampai penetapan Hari Bela Negara. ***
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mendapati adanya pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012 terkait penyiaran siaran asing oleh Global TV. Akibat pelanggaran itu, KPI Pusat melayangkan sanksi teguran kepada Global TV, Jumat, 16 Desember 2016.
Dalam surat sanksinya, KPI Pusat menyampaikan alasan diberikan sanksi teguran untuk Global TV. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Pada tanggal 1 November 2016 stasiun Global TV menayangkan program siaran asing sebanyak 10 (sepuluh) program atau 42% (empat puluh dua per seratus) dari keseluruhan mata acara dengan durasi bersih 8 (delapan) jam 29 (dua puluh sembilan) menit atau 45% (empat puluh lima per seratus) dari waktu siar selama 24 (dua puluh empat) jam;
2. Pada tanggal 2 November 2016 stasiun Global TV menayangkan program siaran asing sebanyak 10 (sepuluh) program atau 43% (empat puluh dua per seratus) dari keseluruhan mata acara dengan durasi bersih 8 (delapan) jam 30 (tiga puluh) menit atau 46% (empat puluh enam per seratus) dari waktu siar selama 24 (dua puluh empat) jam;
3. Pada tanggal 3 November 2016 stasiun Global TV menayangkan program siaran asing sebanyak 12 (dua belas) program atau 55% (lima puluh lima per seratus) dari keseluruhan mata acara dengan durasi bersih 10 (sepuluh) jam 55 (lima puluh lima) menit atau 59% (lima puluh sembilan per seratus) dari waktu siar selama 24 (dua puluh empat) jam;
4. Pada Pasal 36 Ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) mengatur “isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri”;
5. Pada Pasal 67 Standar Program Siaran KPI Tahun 2012 disebutkan “program siaran asing dapat disiarkan dengan ketentuan tidak melebihi 30% (tiga puluh per seratus) dari waktu siaran per hari”;
6. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, program siaran asing yang ditayangkan oleh stasiun Global TV telah melebihi batas maksimum yang telah ditentukan.
Di akhir surat teguran, KPI Pusat meminta Global TV agar menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan program siaran.
“Naila” SCTV Ditegur
Selain melayangkan surat teguran untuk Global TV, KPI Pusat juga memberi sanksi teguran untuk program siaran “Naila” SCTV, Jumat, 16 Desember 2016. Berdasarkan pemantauan dan hasil analisis, KPI Pusat telah menemukan pelanggaran dalam program siaran yang ditayangkan oleh stasiun SCTV pada tanggal 5 Desember 2016 pukul 17.48 WIB.
Pada program tersebut terdapat perkataan beberapa anak perempuan “Tuh ‘kan, apa aku bilang, mama tiri itu ‘kan jahat. Makanya bilang sama papa kamu, jangan mau punya ibu tiri. Kalau papa aku si baik nggak bakal ngasi aku ibu tiri kaya kamu”, dan “Iya, ‘kan ibu tiri itu jahat, suka ngurung, nggak dikasi makan nanti kurus kering kayak nenek-nenek”.
Muatan demikian berpotensi memberikan contoh perilaku buruk yang dapat ditiru khalayak anak-anak dan remaja yang menonton. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan anak-anak dan remaja serta penggolongan program siaran.
Dalam surat sanksinya, KPI Pusat meminta SCTV segera melakukan evaluasi internal serta tidak mengulangi kesalahan yang sama, baik pada program sejenis maupun program lainnya. SCTV juga diwajibkan menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran. ***
Jakarta - Potensi siaran radio di Indonesia masih cukup menjanjikan, sekalipun tantangan teknologi informasi saat ini membuat radio juga harus bersaing dengan kemunculan berbagai media baru. Bahkan hingga saat ini, jumlah radio terus berkembang cukup hebat. Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis menjelaskan bahwa dari data yang dihimpun KPI sampai bulan November 2016, ada 3056 radio yang telah memiliki Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) baik tetap ataupun prinsip, untuk radio swasta. Sedangkan untuk radio dengan bentuk lembaga penyiaran publik ada 211, dan 330 radio komunitas.
Sedangkan data dari Nielsen Indonesia menunjukkan bahwa radio masih dikonsumsi hingga 38% dari penduduk Indonesia. Jangkauan ini hanya berbeda sedikit dengan media internet yang dikonsumsi 40%, dan jauh diatas media cetak lainnya. Data yang disampaikan oleh Agus Nuruddin dari Nielsen Indonesia tadi juga diamini oleh Dudu Abdullah dari Mindshare Group. Menurut Dudu, jika pengiklan ingin produknya menjangkau seluruh lapisan masyarakat Indonesia, tidak bisa hanya beriklan di TV saja. “Ada lokasi yang tidak dapat dijangkau televisi, karenanya radio harus diperhatikan untuk memperluas daya jangkau iklan”, ujar Dudu. Selain itu, menurutnya, kontur wilayah Indonesia sebenarnya lebih menguntungkan untuk radio. Banyak tempat-tempat di Indonesia yang tidak dapat dijangkau televisi, seperti di wilayah blank spot, justru menjadi keuntungan sendiri bagi penyelenggara radio.
Terkait trend media baru yang mulai mendominasi di Indonesia, menurut Agus Sudibyo (pengamat media) harus disikapi dengan bijak. Pada beberapa negara seperti Korea, India, Argentina, Brasil dan Uni Eropa, negara kembali hadir untuk memproteksi industri media nasional. Semangatnya bukan untuk menolak google atau facebook, karena itu tidak mungkin ditolak. Namun ada kebijakan melindungi industri media konvensional nasional. Bagaimana pun juga, media masa konvensional ini tidak bisa digantikan fungsinya oleh sosial media.
Sebagai pilar ke empat demokrasi dan alat kontrol, media konvensional termasuk radio, belum bisa digantikan. Untuk itu negara harus hadir memberikan “proteksi”. Ekspansi raksasa media baru seperti Google, Facebook dan lain-lain memang memberikan banyak sekali manfaat. “Tapi mereka (Google, Facebook dan lain-lain) juga mengambil manfaat lebih banyak”, ujar Agus. Dalam konteks Indonesia, kita tidak bisa menolak facebook dan google. Tapi kita harus punya sikap sehingga industri informasi media nasional tetap eksis di tengah masyarakatnya sendiri. “Dan kita sebagai bangsa dengan pengguna internet paling besar, tidak hanya menjadi obyek dari ekspansi korporasi-korporasi global ini”, pungkasnya.
Pada diskusi yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun ke-42 Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Yuliandre menegaskan bahwa radio bukanlah alternatif, namun sudah merupakan bagian dari keutamaan masyarakat Indonesia. Bahkan dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sendiri, radio lah yang berperan penting untuk ikut menyiarkannya ke seluruh dunia. KPI Pusat sendiri, ujar Andre, masih melakukan pemantauan secara acak dan belum 24 jam. Meski demikian, selama tahun 2016 KPI sudah mengeluarkan sanksi untuk beberapa radio yang didapati melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.
Pemantauan radio secara real time dilakukan lebih dulu oleh KPI Daerah, mengingat jangkauan radio yang bersifat lokal dan terbatas. Dari data beberapa KPI Daerah (Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan Nusa Tenggara Barat) bahkan punya kebijakan melarang pemutaran lagu-lagu dengan lirik vulgar dan cenderung porno. Hal ini semata karena KPID memahami peran vital radio di tengah masyarakat Indonesia dalam menyebarkan informasi, hiburan dan juga gaya hidup. Tindakan preventif seperti di atas menjadi perhatian KPID untuk melindungi masyarakat dari hal-hal negatif yang mungkin disebarkan lewat lembaga-lembaga penyiaran, baik televisi dan radio.
Tumbuhnya radio dengan pesat, menurut Andre, menunjukkan semangat masyarakat yang tinggi untuk mendapatkan informasi yang layak dan tepat. Radio sebagai lembaga penyiaran yang bersifat lokal juga menjadi gambaran keberagaman di masyarakat. Untuk itu, Andre berharap satu suara berjuta telinga yang digemakan melalui radio dapat menguatkan sebuah social movemen agar radio tetap konsisten dengan apa yang menjadi harapan publik, sehingga tidak ditinggalkan masyarakatnya. Selain itu, tambahnya, KPI berharap Revisi Undang-Undang Penyiaran memberikan penguatan kewenangan bagi KPI sehingga lembaga ini dapat menjalankan tugas pokok utama yang diamanatkan Undang-Undang, termasuk mengembangkan secara optimal potensi radio sebagai media informasi yang sehat, informatif, edukatif dan menghibur di tengah masyarakat.
Kegiatan Razia memang sering di lakukan oleh aparat kepolisian yang sedang bertugas bertujuan untuk menertibkan lingkungan sekitar, Bahkan belakngan ini ada dari bebrapa Stasiun televisi yang membuat program khusus tentang kegiatan aparat penegak hukum untuk melihat langsung kegiatan di lapangan.
Dalam acara Televisi tersebut di tayangkan pula aksi penggrebekan hotel melati yang oleh kepolisian dengan memeriksa kamar-kamar hotel untuk menjaring pasangan yang bukan suami istri. Beberapa orang yang terjaring di tanyai tentang identitasnya dan tidak lupa di sorot wajahnya oleh kamera.
Merespon hal ini terlepas dari bagaimana wajah akan di blur atau tidak, kegitaan ini sudah membuat ketidaknyamanan seseorang terganggu dengan adanya aparat yang masuk kedalam ruang-ruang privasi orang lain karena pasal berzina sendiri tidak ada.
Dalam Kitab Undang undang Hukum Pidana Pasal 281 ayat 1 mengatakan bahwa “ barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu limaratus rupiah.”
Makna kesusilaan sendiri juga dapat berubah ubah sesuai pada budaya sosial di waktu dan tempat tertentu. Tentu saja pasal tersebut tidak dapat digunakan untuk menghukum orang yang berhubungan seks di tempat yan privat. Begitu pula pasal 284 yang hanya memidanakan pasangan yang sudah menikah dan terbukti berselingkuh. Sedangkan pada pasal 284 ayat (2) menekankan bahwa tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan istri atau suami yang tercemar. Dan lagi pasal 284 ini tidak menjerat bagi orang yang belum menikah.
Kegiatan penggrebekan yang di tampilkan lewat stasiun televisi ini tentu secara tidak langsung akan memberi contoh negatif kepada masyarakat. Hingga banyak terjadi kasus main hakim sendiri oleh masyarakat dalam menangani maslah serupa yang terjadi di lingkunganya