Literasi Media di Kampus La Tansa Mashiro, Rangkasbitung bersama Komisioner KPI Pusat Dewi Setyarini, (23/11)

Rangkasbitung - Keberadaan televisi di tengah masyarakat hingga saat ini masih sangat signifikan. Hasil survey Nielsen Cross-Platform 2017 menunjukkan, meski keberadaan internet sebagai media yang dikonsumsi masyarakat semakin tinggi, namun belum menggeser keberadaan televisi yang masih memiliki pengaruh hingga 96%. Mengingat pengaruhnya yang sangat besar inilah, tentulah konten yang ada di dalam televisi harus dipastikan sesuai dengan arah dan tujuan terselenggaranya penyiaran. Dewi Setyarini, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang pengawasan isi siaran menyampaikan hal tersebut dalam acara Literasi Media di kampus La Tansa Mashiro, Rangkasbitung, Banten, (23/11). 

Kepada peserta literasi media yang merupakan mahasiswa di kampus La Tansa Mashiro tersebut, Dewi menyampaikan pula urgensi hadirnya KPI di tengah masyarakat. Salah satunya untuk memastikan program siaran yang hadir pada televisi dan radio memiliki fungsi informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Namun demikian Dewi menjelaskan bahwa pada keenam fungsi penyiaran tersebut, memiliki syarat-syarat yang khusus. “Fungsi informasi haruslah yang layak dan benar, fungsi hiburan pun harus menjadi hiburan yang sehat”, ujar Dewi.

Secara khusus Dewi juga menjelaskan tentang pentingnya perlindungan anak dalam media penyiaran. “Jumlah anak Indonesia mencapai 87 juta jiwa atau setara dengan sepertiga penduduk Indonesia”, ujar Dewi. Karenanya sangat wajar jika tayangan televisi pun harus menjamin hak-hak anak untuk mendapatkan informasi yang sehat guna tumbuh kembangnya. “Apalagi anak-anak cenderung menirukan apa saja yang dilihat dan didengar dari lingkungan”, tambahnya. Sehingga, televisi yang memiliki pengaruh demikian besar dalam hidup masyarakat, tentulah harus memuat konten yang aman bagi anak-anak. 

Dewi menjelaskan tren muatan siaran saat ini yang banyak mengambil produk-produk luar negeri. “Berapa banyak sinetron asing yang ikut membuat populer artis-artis asing di Indonesia, sedangkan yang sebaliknya tidak terjadi? Masyarakat Indonesia kenal dengan artis-artis impor, mulai dari Tao Ming She, Shaheer Seikh, dan bintang Korea. Tapi berapa banyak artis sinetron kita yang dikenal di luar negeri?”tanya Dewi. Masuknya program-program asing melalui televisi juga berpengaruh pada gaya hidup yang berimbas pada motif ekonomi masyarakat. Padahal, Indonesia punya kekayaan budaya yang seharusnya dapat dieksplorasi sedemikian melalui program-program siaran. Mestinya, kekayaan suku dengan masing-masing budaya dan bahasa tersebut justru bisa menjadi modal besar industri media untuk menjual konten lokal ke internasional.

Dewi berharap, dalam mengonsumsi media, masyarakat dapat memilah dan memilih muatan yang sesuai dengan kebutuhan dan memang memberikan manfaat. “Pada hakikatnya, frekuensi yang digunakan untuk siaran adalah ranah publik yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan publik,” ujarnya. Untuk itu, sekalipun penyiaran merupakan kegiatan bisnis, tetap saja harus muncul keseimbangan orientasi antara sosial dan profit, tutur Dewi menutup pembicaraan.

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, saat di Majalah Gatra.

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mendorong pemerintah dan swasta melakukan pembangunan infrastruktur dan pengembangan penyiaran di wilayah perbatasan. Upaya ini untuk mengantisipasi pengaruh buruk dari massifnya siaran negeri tetangga yang bisa mengakibatkan tergerusnya rasa nasionalisme dan ideologi kebangsaan masyarakat setempat.

Saat ini baru empat daerah di wilayah perbatasan telah mendapatkan jaringan siaran televisi lokal maupun nasional. Ke empat daerah tersebut yakni Sungai Pakning (Riau) , Balai Karangan (Kalimantan Barat), Nunukan (Kalimantan Utara) ketiga daerah yang disebutkan berbatasan dengan Malaysia, dan Atambua di NTT (berbatasan dengan Timor Leste).

“Siaran di perbatasan menjadi prioritas. Jangan lagi kita kehilangan wilayah-wilayah perbatasan masuk ke negara lain karena terpengaruh siaran dari negara tersebut. Selama ini, mereka banyak nonton siaran dari negara tetangga karena tidak sama sekali siaran nasional yang masuk di sana,” kata Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, saat berkunjung ke Redaksi Majalah Gatra, Selasa (28/11/2017).

Hadirnya siaran nasional di wilayah perbatasan tidak hanya menjadi pemain bertahan dari siaran negeri tetangga tetapi juga bisa sebagai penyapu masuknya paham-paham radikalisme. Kekhawatiran itu sangat beralasan karena daerah-daerah tersebut tidak menjadi perhatian sehingga menjadi sasaran empuk mereka. “Selain itu, adanya siaran nasional maupun lokal bisa menjadi media pembanding,” jelas Agung.

Menurut Agung, ada banyak daerah di wilayah perbatasan belum terjaring siaran nasional maupun lokal. Padahal, fokus pembangunan pemerintah saat ini dimulai dari wilayah tersebut atau yang lebih dikenal dengan 3T (terdepan, tertinggal dan terpencil).

“Tahun 2018 KPI dan Pemerintah menargetkan bisa membanjiri lebih dari 30 daerah di wilayah perbatasan dengan siaran nasional,” paparnya di depan jajaran Redaksi Majalah Gatra. ***

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) melakukan kunjungan ke Redaksi Majalah Gatra, Selasa (29/11/2017). Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, didampingi Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, Mayong Suryo Laksono dan Ubaidillah diterima langsung Pemimpin Redaksi Malajah Gatra, Carry Nadeak dan jajaran redaksi lainnya.

Dalam kesempatan itu, KPI Pusat dan Redaksi Majalah Gatra membahas sejumlah persoalan di bidang penyiaran seperti revisi UU Penyiaran, Rating, Permasalahan KPID, dan perubahan teknologi media yang berlangsung cepat. ***

Komisioner KPI Pusat saat mengunjungi Kantor Majalah Gatra, Selasa (28/11/2017).

 

Jakarta – Desakan agar rancangan Revisi Undang Undang Penyiaran (RUU) disahkan terus digaungkan. Tak hanya kelompok masyarakat, akademisi maupun industri, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun ikut mendorong agar UU Penyiaran baru  segera ditetapkan. Hal ini demi kepastian hukum di bidang penyiaran dan khususnya keberlangsungan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). 

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio mengatakan, penetapan UU Penyiaran baru akan menyelesaikan sejumlah masalah termasuk persoalan anggaran dan posisi KPID. Menurutnya, posisi KPID saat ini tidak sesuai harapan karena terbentur aturan baru dalam UU No.23 tahun 2014 dan Permendagri No.23 tahun 2016.

Di beberapa daerah, keberadaan KPID dianggap kurang menguntungkan karena tidak memberikan pemasukan terhadap pendapatan daerah. Padahal, posisi KPID sangat strategis terutama dalam menjaga moral bangsa, pengawasan konten lokal dan perizinan penyiaran.

“Faktor ini menyebabkan sejumlah pemerintah daerah kurang serius mengurus KPID. Padahal pajak yang dikenal menurut Kemenkominfo yakni ISR serta IPP dan itupun masuk ke kas Negara,” kata Agung pada saat diskusi dengan jajaran Redaksi Majalah Gatra di Kantor Majalah Gatra, di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (28/11/2017).

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah.

 

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah menambahkan, kondisi KPID sekarang sangat bergantung dari dana hibah pemerintah daerah setempat. Ironisnya, penggunaan dana hibah menimbulkan kekhawatiran di berbagai daerah karena takut mendapat masalah. “Sebelum UU No.23 yang menilai urusan penyiaran bukan urusan daerah ditetapkan, KPID masih banyak yang sehat. Sekarang sejak penggunaan dana hibah jadi banyak yang sakit,” jelasnya.

Selain itu, penggunaan dana hibah menimbulkan multitafsir yakni soal jangka waktu penggunaannya. “Ada yang bilang hanya satu tahun, tapi ada yang bilang dua tahun. Ini membingungkan dan berimplikasi terhadap kinerja KPID dalam melayani masyarakat. Proses perizinan beralih KPI Pusat dan kegiatan kami sangat dibatasi anggaran,” ujar Ubaidillah.

Belum lagi proses pemantauan lembaga penyiaran daerah atau TV lokal yang terhenti karena tidak adanya biaya. “Padahal, bukti tayang dari pemantauan sangat penting sebagai barang bukti jika terjadi pelanggaran, apalagi tahun depan akan berlangsungnya Pemilukada, peran KPID sebagai pengawas isi siaran sangat dibutuhkan,” kata Ubaidillah di depan Pemimpin Redaksi Majalah Gatra, Carry Nadeak.

Pertemuan KPI dan jajaran Redaksi Gatra yang berlangsung hangat dari pagi hingga tengah hari itu juga membahas peluang dan perkembangan media mainstream di tengah perubahan teknologi media saat ini. ***

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis dan Ketua Umum ATVNI, Wishnutama di Kantor KPI Pusat, Senin (27/11/2017).

 

Jakarta – Bagaimana bisa 2200 orang menentukan arah konten siaran televisi nasional, sedangkan jumlah penduduk negeri ini mendekati angka 250 juta jiwa. Pertanyaan sekaligus pendapat tersebut banyak memenuhi ruang diskusi ataupun forum penyiaran di manapun termasuk ketika Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) menerima kunjungan Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) di ruang rapat kantor KPI Pusat, di Jalan Djuanda Jakarta Pusat, Senin (28/1/2017).

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, jumlah responden yang dipakai oleh satu-satunya lembaga rating di Indonesia, Nielsen, untuk menetapkan hasil survey terhadap jenis tontonan yang paling digemari publik perlu dipertanyakan karena tidak sepadan dengan jumlah penduduk Indonesia yang jumlahnya ratusan juta. “Mereka tidak pernah transparan secara metodelogis dengan aktivitas survey di 11 kota tersebut,” katanya di sela-sela pertemuan KPI Pusat dan ATVNI.



Ketua Umum ATVNI, Wishnutama, menyikapi hal itu mengatakan perlu ada audit terhadap lembaga Nielsen. Selama ini dan tidak pernah sekakali Nielsen tidak diaudit. “Hanya di Indonesia Nielsen lembaga rating tidak pernah diaudit. Saya tidak ngerti bagaimana. Nielsen yang beroperasi di Negara lain harus kontra dengan aturan-aturan yang dibuat pemerintah setempat,” kata Wishnu.

Di Australia, kata Wisnu mencontohkan, mereka menganut television audience measurement (TAM) atau yang biasa disebut OzTAM adalah kumpulan dari stakeholder pemerintah yang setiap tahun mereka menunjuk satu lembaga untuk melakukan survey. Hal ini memicu setiap lembaga rating disana ingin menjadi pemenangnya.

Jadi, setiap tahun mereka akan berpikir dan terus melakukan perbaikan agar dapat terus bertahan melakukan survey. “Jika ada lembaga yang tidak fair, mereka akan diaudit oleh pihak berwenang di sana. Cara yang dilakukan Australia dinilai cukup tepat jika diterapkan di Indonesia,” kata Wishnu.



Menurut Wisnu, pihaknya cq lembaga penyiaran tetap membutuhkan rating. Tapi, rating yang diharapkan mereka adalah yang relevan dengan semangat zaman. “Contohnya Indonesia, dengan dua ratusan juta jiwa hanya diwakilkan dua ribu orang. Di Australia dengan penduduk 20 juta cukup relevan dengan respondennya yang 20.000 people meters,” jelasnya.

Di Inggris, lanjut Wishnu, sistem ratingnya lebih bagus lagi. Mereka memiliki lembaga survey yang terpisah dengan lembaga penghitunganya serta satu lembaga lain yang terkait. Kebijakan itu, menurut Wishnu, membuat rating semakin baik.

Menurut Wishnu, lembaga rating yang ada sekarang harus berubah dan melakukan langkah maju mengikuti perkembangan dunia media yang cepat. Kalau tidak, industri tidak akan mendapatkan apa-apa karena mereka sangat tergantung rating. “Untungnya sekarang ini ada digital, yang bisa membuat kami mendapatkan sedikit untung,” katanya dalam pertemuan yang juga dihadiri Wakil Ketua KPI Pusat, Sujarwanto Rahmat Arifin dan Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, Nuning Rodiyah, dan Hardly Stefano.

Dalam kesempatan itu, Wishnu juga berharap Indonesia segera memiliki regulasi yang tepat untuk dunia maya. Menurutnya, dari platform internet seperti google, youtube, dan facebook, seharusnya negara dapat mengambil keuntungan finansial lewat pungutan pajak.

“Harus ada terobosan regulasi yang menjangkau ranah internet yang saat ini seperti hutan rimba, agar ranah penyiaran free to air dengan regulasi yang ketat ini tidak menuju senjakalanya,” pungkasnya yang diamini Sekjen ATVNI, Mochamad Riyanto, dan beberapa pengurus ATVNI yang hadir. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.