- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 1116
Depok - Dunia penyiaran membutuhkan sumber daya manusia (SDM) kreatif yang juga memahami betul regulasi dan etika penyiaran. Selain itu, konten siaran juga diharapkan sarat dengan norma dan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang sebenarnya menjadi nafas dari undang-undang penyiaran saat ini. Hal ini disampaikan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang kelembagaan, Amin Shabana, saat menjadi dosen tamu pada mata kuliah “Kajian Dampak Media” di Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), (8/11).
Kepada mahasiswa tersebut Amin memaparkan tentang kualitas televisi di Indonesia berdasar atas Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) yang digelar KPI sejak tahun 2015. Selama sembilan tahun penyelenggaraan IKPSTV, ujar Amin, program siaran dengan kategori sinetron dan infotainmen belum mampu menembus nilai standar berkualitas yang ditetapkan KPI. “Artinya, hingga saat ini dua program tersebut memang belum berkualitas,” ujarnya.
Pada perkuliahan tersebut, mahasiswa kemudian menanyakan tentang perbedaan yang signifikan antara hasil IKPSTV dengan survey kepemirsaan yang sudah populer selama ini, khususnya terkait program sinetron dan infotainment yang justru secara kuantitatif banyak meraup penonton. Selain itu, kenyataan saat ini, akses generasi muda ke televisi semakin berkurang dan dalam memenuhi kebutuhan hiburan lebih memilih akses melalui telepon seluler.
Terhadap realitas ini, Amin menyampaikan, selain melakukan pembinaan kepada lembaga penyiaran untuk tetap tunduk pada koridor regulasi, KPI juga melakukan edukasi pada masyarakat untuk lebih selektif dalam memilih tayangan di televisi. “Karena kalau hanya mengikuti selera pasar saja, belum tentu kontennya berkualitas,” ujarnya.
Amin juga memaparkan bahwa pada setiap program siaran, KPI memiliki indikator yang spesifik dalam rangka menilai kualitasnya. Yang jelas, tegas Amin, pada penyusunan indeks ini tidak melihat segi estetika tapi murni soal kualitas siaran.
Dari delapan kategori program siaran yang disusun nilai indeksnya, setidaknya ada enam program yang sudah mencapai nilai berkualitas, yakni program anak, berita, religi, wisata budaya, talkshow dan variety show. Terkait program berita, Amin menyatakan konten berita di televisi dan radio dapat dipastikan jauh dari hoax dan disinformasi. Ini dikarenakan, proses pengelolaan berita di televisi dan radio sudah melalui berbagai tahapan untuk memastikan akurasinya. “Yang disayangkan, justru publik sekarang lebih suka mengakses berita dari media sosial atau platform internet lainnya. Padahal akurasinya masih dipertanyakan,” ungkapnya.
Hal ini juga serupa dengan lima program siaran lainnya yang sudah mencapai standar berkualitas. Intensitas kita mengakses telepon seluler yang sangat tinggi, jadi mengabaikan bahwa konten-konten di televisi sebenarnya jauh lebih baik, pungkasnya.
Hingga saat ini KPI masih terus melakukan koordinasi dengan beragam pemangku kepentingan penyiaran dalam rangka menyosialisasikan IKPSTV, termasuk dengan Dewan Periklanan Indonesia (DPI) dan Asosiasi Perusahaan Perngiklan Indonesia (APPINA). Penempatan iklan pada program-program yang bermasalah, sebenarnya membahayakan brand safety mereka di muka publik, ujar Amin. Penjelasan rinci tentang metodologi yang diambil dalam penyusunan IKPSTV disampaikan Koordinator Litbang KPI Pusat, Andi Andrianto. Prinsipnya, ujar Andi, KPI menginginkan hasil dari IKPSTV berdampak yang signifikan pada ekosistem penyiaran.