- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 30364
Jakarta – Hasil pemantauan Dewan Pers terhadap bentuk pemberitaan di media penyiaran menjelang dan pada saat proses Pemilukada secara umum masih sama dengan Pemilu 2014. Cara memilih pertanyaan, berita, gambar dan teks yang disiarkan tak jauh beda dengan Pemilu 2014.
Penilaian tersebut disampaikan Ketua Dewan Pers Yoseph Prasetyo saat menghadiri fokus grup diskusi (FGD) tentang “Temuan Kasus Program Siaran Jurnalistik pada Pilkada 2017 di Televisi dan Radio” di Kantor KPI Pusat, Kamis (23/3/17).
Menurut Stanley, perubahan yang terjadi sekarang hanya soal ketaatan lembaga penyiaran dalam mengikuti aturan yakni P3 dan SPS KPI serta Kode Etik Jurnalistik. Soal keberpihakan media masih sangat kentara terhadap calon tertentu. Keberpihakan ini tidak luput dari dukungan pemilik media tersebut terhadap calon tertentu.
“Terutama pemilik media yang masuk dalam politik. Independensi newsroom ikut terpengaruh dan memiliki kepentingan. Keberpihakaan itu dapat dilihat dari cara pemberitaan dan iklan terselubung,” kata Stanley, panggilan akrab Ketua Dewan Pers.
Namun demikian, Dewan Pers menilai tidak ada pelanggaran jurnalistik walaupun publik meyakini adanya keberpihakaan media dalam pemberitaannya. “Dewan Pers juga tidak menerima laporan terkait pemberitaan media televisi. Yang ada hanya calon pasangan yang mengadukan media cetak ke Dewan Pers,” kata Stanley disaksikan Komisioner KPI Pusat Mayong Suryo Laksono, Nuning Rodiyah dan Hardly Stefano.
Pada kesempatan itu, Stanley mengingatkan tugas utama jurnalistik adalah mengungkapkan kebenaran. Kebenaran dalam jurnalistik bukanlah kebenaran yang bersifat mutlak tetapi kebenaran yang bersifat fungsional, yakni kebenaran yang diyakini pada saat itu dan terbuka untuk koreksi.
“Komitmen utama jurnalisme adalah pada kepentingan publik. Kepentingan pribadi, kelompok, atau kepentingan pemilik media harus selalu di tempatkan di bawah kepentingan publik. Harusnya siaran televisi kembali norma usai Pemilu kenyataannya tidak,” katanya. ***