- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 5303
Jakarta - Pelaku industri penyiaran saat ini (existing) harus bersiap dengan hadirnya lebih banyak lagi pemain yang akan terjun dalam dunia penyiaran, mengingat frekuensi yang tersedia sekarang sudah lebih banyak sebagai konsekuensi pemanfaatan frekuensi yang diterapkan dalam digitalisasi penyiaran. Migrasi penyiaran dari sistem analog ke sistem digital sendiri, sebagaimana amanat Undang-undang Cipta Kerja, selambat-lambatnya dilaksanakan dua tahun sejak regulasi ini diundangkan. Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafidz menyampaikan hal tersebut dalam Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa yang digelar secara daring oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan tema “Berkreasi Melalui Media Penyiaran di Era Digital”, (21/10).
Menurut Meutya, digitalisasi penyiaran ini sangat mendukung hadirnya keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan, yang merupakan pilar penopang kehadiran demokratisasi penyiaran. “Saat ini kepemilikan media bisa dikatakan hanya terpusat pada lima hingga sepuluh pemilik,” ujarnya. Tak heran jika kemudian konten siaran di televisi cenderung seragam dan itu-itu saja. Sedangkan dalam penyiaran digital ke depan, tambah Meutya, dengan banyaknya pemain dalam dunia penyiaran, maka dengan sendirinya televisi harus mengubah dirinya dengan menghadirkan konten siaran yang lebih tersegmentasi. Misalnya televisi khusus hiburan, televisi pendidikan ataupun televisi olah raha sebagaimana terjadi di negara demokrasi maju lainnya. “Dengan demikian harapan kita untuk menghadirkan keberagaman konten dapat tercapai,” ujarnya.
Terkait soal konten siaran, Meutya menilai, pengelolaan sumber daya manusia (SDM) penyiaran yang kreatif, terampil dan professional sangat dibutuhkan agar dapat menghadirkan konten yang berkualitas. Apalagi jika dikaitkan dengan tujuan undang-undang penyiaran yang menginginkan hadirnya tayangan mencerdaskan. “Kalau saat ini televisi dianggap belum dapat memberikan pencerdasan, perekat sosial dan lainnya kecuali hiburan, ini mungkin hasil dari SDM yang juga belum siap,” ujar Meutya. Kita punya pekerjaan rumah untuk dapat membuat SDM penyiaran yang siap membuat konten-konten berkualitas dan sesuai arah dan tujuan diselenggarakannya penyiaran. Meutya berharap selain melaksanakan literasi kepada publik, KPI juga ikut memberikan pelatihan pembuatan konten kreatif untuk SDM penyiaran sebagai pengembangan digital talent.
Menyambung pembicaraan tentang talenta digital yang disampaikan oleh Meutya, harus diakui bahwa saat ini televisi memang memberi peluang yang besar bagi kalangan milenial untuk berkiprah dan berkreasi. Diantaranya diantaranya menjadi produser, juru kamera, reporter, ataupun jadi talent. Untuk talent sendiri, sudah banyak lembaga penyiaran yang menyelenggarakan program pencarian bakat atau talent search. Ini adalah peluang-peluang yang harus dapat dimanfaatkan oleh kalangan milenial guna berkiprah di dunia penyiaran. Hal ini dikemukakan Hardly Stefano Pariela, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan yang turut hadir sebagai nara sumber.
Terkait perkembangan teknologi digital saat ini, menurut Hardly semua orang dapat membuat konten. Namun belum tentu semua konten yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan layak untuk hadir di lembaga penyiaran baik itu televisi atau pun radio. “Di satu sisi televisi dan radio juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan inspirasi positif bagi masyarakat,” ujarnya.
Untuk itu Hardly mengajak kalangan milenial untuk ikut berkiprah dan berkreasi dalam dunia penyiaran, sebagai sebuah usaha meramaikan dunia penyiaran dengan konten-konten yang berkualitas. Jika saat ini ada yang mempertanyakan keberadaan program-program siaran yang tidak berfaedah, Hardly mengajak peserta GLSP daring ini untuk memahami proses produksi sebuah program siaran di televisi. Ketika lembaga penyiaran membuat program siaran, salah satu pertimbangan adalah potensi penonton. “Kalau penontonnya banyak, maka program itu akan terus disiarkan,” terangnya. Namun jika penontonnya tidak ada, sebaik apapun nilai atau value yang melekat di dalamnya, dapat dipastikan program tersebut tidak diproduksi lagi. Hal ini dikarenakan jumlah penonton berbanding erat dengan jumlah iklan yang akan membiayai program ini.
Berangkat dari realitas ini pula, Hardly mengajak peserta untuk meningkatkan kapasitas literasi. Selain mampu memilih dan menyeleksi program siaran yang sesuai dengan kebutuhan, Hardly berharap publik juga ikut memberikan kritikan dan masukan pada KPI atas program siaran yang dinilai bermuatan negatif. Selain itu yang juga sangat penting adalah memberikan apresiasi pada program siaran yang baik. Bagi lembaga penyiaran, apresiasi dari publik ini sangat dibutuhkan untuk mendukung kerja mereka dalam menjaga kesinambungan program-program yang berkualitas. Di lain sisi, ujar Hardly, apresiasi terhadap program siaran berkualitas juga dapat dilakukan dengan memviralkan program ini sehingga makin dikenal orang banyak yang berimplikasi pada peningkatan jumlah penonton.
Peran serta masyarakat seperti inilah yang dibutuhkan KPI dalam menjaga medium frekuensi yang digunakan lembaga penyiaran. Hardly meyakini kualitas siaran banyak ditentukan oleh penonton. Menurutnya, penonton yang cerdas dapat mendorong hadirnya program siaran berkualitas, dan program siaran berkualitas akan mendukung hadirnya publik dan masyarakat yang cerdas.
Dalam kesempatan tersebut KPI juga menghadirkan Lyodra Margaretha Ginting sebagai narasumber yang membagi pengalaman dan perjuangannya dalam memuncaki ajang pencarian bakat Indonesian Idol sesi 10. Selain itu, itu turut hadir pula Dini Putri selaku Direktur Program dan Akuisisi RCTI, yang memaparkan strategi televisi di era digital, khususnya terkait program ajang pencarian bakat.