- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 46234
Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mulai menampung masukan dari stakeholder serta publik terkait revisi P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI tahun 2012. Di hari pertama pelaksanaan FGD (diskusi kelompok terpumpun) yang dimulai Senin (30/8/2021) ini, KPI menerima masukan untuk klaster kesehatan, perlindungan anak dan perempuan, perlindungan kelompok disabilitas, iklan niaga, hingga bahasa isyarat.
Perlu diketahui, FGD tahap mendengarkan masukan dari stakeholder ini, KPI mengundang 71 lembaga dari kementerian, lembaga, organisasi, dan kelompok masyarakat. Acara ini dilaksanakan dari tanggal 30 Agustus hingga 1 September 2021. "Setelah ini, forum akan dilanjutkan mendengarkan masukan dari lembaga dan organisasi lain serta perguruan tinggi termasuk dengan para alumni KPI," kata Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo.
Untuk sesi pertama FGD, KPI mengundang Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Badan Penelitian Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Hukum dan HAM, Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA), Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Komnas Perempuan, Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat, dan Indonesian Sign Language Interpreters (Inasli).
Komisioner KPI Pusat sekaligus PIC Revisi P3SPS, Irsal Ambia, pada saat sesi masukan dan tanggapan menjelaskan secara rinci maksud dan tujuan revisi. Setelahnya, dia mempersilahkan seluruh perwakilan stakeholder dan kelompok masyarakat yang hadir secara daring menyampaikan masukan.
Perwakilan dari Kemenkes, Aji menyampaikan usulan terkait pemanfaatan tenaga kesehatan dalam program siaran. Menurutnya, kegiatan penyiaran dalam hal ini lembaga penyiaran harus memastikan narasumber yang digunakan memiliki izin atau registrasi dari organisasi profesi atau juga dari Kemenkes dalam hal ini KKI.
“Agar nanti informasi yang keluar memang bersumber dari tenaga profesional di bidangnya dalam hal ini tentunya dokter, perawat dan sebagainya yang berhubungan dengan profesinya sebagai tenaga kesehatan,” kata Aji.
Kemenkes juga mengingatkan aturan tentang tenaga kesehatan yang sebetulnya dilarang beriklan, menjadi model iklan alat kesehatan, perbekalan, kecuali dalam iklan layanan masyarakat (ILM). “Kita menyaksikan banyak tenaga kesehatan yang menjadi endorser bukan hanya di media sosial, namun juga di lembaga penyiaran seperti TV maupun Radio. Kalaupun harus terjadi seperti itu, maka memang harus memastikan lagi soal perizinan ataupun registrasi dari lembaga-lembaga yang berwenang,” ujar Aji.
Hal lain yang jadi sorotan Kemenkes tentang prokontra soal pelayanan kesehatan tradisional dalam program siaran. Aji menyebut bahwa ada regulasi yang mengatur soal itu. “Iklan pelayanan kesehatan itu sebetulnya tidak diperbolehkan untuk memberikan informasi yang hiperbola, tidak memiliki kekuatan science atau validitas bukti-bukti yang memperlihatkan bahwa pelayanan kesehatan itu dapat menyembuhkan. Pada intinya dilarang melakukan publikasi di penyiaran, karena manfaat dan keamanan belum terbukti atau diragukan secara khusus dalam masyarakat kedokteran atau masyarakat kesehatan. Kita ingin iklan-iklan dan program pelayanan kesehatan tradisional lebih bisa diatur lebih lanjut,” tuturnya.
Pendapat yang sama juga disampaikan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Melalui Fery Rahman, IDI meminta pedoman penyiaran yang baru mengadopsi sejumlah aturan dan etika yang berlaku dalam lingkup kesehatan atau kedokteran.
Dia mencontohkan, dalam etika kedokteran misalnya tidak boleh menyampaikan kelebihan atau menyampaikan keberhasilan hasil pengobatan. Larang ini berkaitan dengan maraknya iklan-iklan pengobatan tradisional di media penyiaran. “Saya kira ini cukup berbahaya dan masyarakat sudah dibuat kecele. Seperti narasi, inilah obat satu-satunya, inilah obat covid, jadi menurut kami itu harus ditertibkan,” tegas Fery.
Dalam kesempatan itu, IDI menyatakan siap mendukung KPI menertibkan iklan-iklan yang berlebih dan menyesatkan tersebut agar tidak meluas. IDI juga meminta KPI membuat aturan dengan merujuk kode etik kedokteran Indonesia.
Sementara itu, Kemensos meminta adanya perlindungan pada kelompok masyarakat rentan seperti anak, penyandang disabilitas, para gelandangan dan pengemis. Menurut Kemensos yang diwakili Hashim, kelompok rentan adalah mereka yang memiliki keterbatasan untuk mengakses hak-hak dasarnya.
“Dunia penyiaran perlu upaya untuk memperhatikan kelompok rentan, sesuai batas yang mereka miliki. Perlindungan terhadap anak adalah memastikan tayangan tidak mengandung kekerasan, pornografi, pornoaksi serta bentuk tayangan lain yang mengganggu kelompok anak dan kelompok rentan lainnya,” katanya.
Menurut Kemensos, perlindungan dan pemenuhan hak-hak itu jangan dipandang sebagai sebuah belas kasihan terhadap kelompok rentan, tapi menjadikannya sebagai mitra penguatan peran mereka sebagai kelompok rentan. “Masih banyak kemasan konten yang mengedepankan konten belas kasihan,” ujar Hashim.
Perhatian terhadap kelompok rentan ini juga menjadi perhatian Komnas Perempuan. Menurut wakilnya, Veriyanto Sihotang, tayangan charity program yang menyasar penyandang disabilitas banyak yang mengabaikan aspek pemberdayaannya. Siaran yang mereka lihat lebih sering mengedepankan aspek belas kasihan. “Baik sekali jika KPI secara tegas melarang eksploitasi kelompok masyarakat tertentu,” katanya.
Dalam sesi itu, KPI juga menerima banyak masukan dari asosiasi pengiklan dan kelompok masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan anak dan perempuan. Semua masukan dan tanggapan yang disampaikan akan menjadi catatan serta pertimbangan KPI dalam merevisi P3SPS KPI tahun 2012. ***/Editor:MR