Jakarta - Pandemi yang melanda dunia akibat Corona Virus Disease-19 (Covid-19) telah mengharuskan masyarakat melakukan adaptasi kebiasaan baru guna menekan jumlah penyebaran virus tersebut. Selain menetapkan protokol kesehatan yakni mencuci tangan, menjaga jarak dan mengenakan masker (3M), pemerintah Indonesia juga membuat berbagai batasan sosial guna mengurangi mobilitas penduduk. Yakni dengan menetapkan kebijakan bekerja, belajar dan beribadah dari rumah. 

Dalam rangka mendukung pemerintah menanggulangi wabah Covid-19, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait penyelenggaraan penyiaran, khususnya di televisi. Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo mengatakan, kebijakan ini diambil mengingat televisi masih menjadi media dengan jangkauan penonton paling banyak dan memiliki daya duplikasi yang tinggi pada masyarakat. Karenanya dalam setiap program yang disiarkan kepada masyarakat, ketaatan terhadap protokol kesehatan merupakan sebuah keharusan. Mulyo juga mengungkap, kedisiplinan lembaga penyiaran terhadap protokol kesehatan menjadi perhatian penting dari berbagai pemangku kepentingan yang menangani penanggulangan Covid-19. Penegakan protokol kesehatan tidak akan efektif jika di televisi masih menyiarkan perilaku abai terhadap kewajiban mengenakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Hal ini disampaikan Mulyo dalam rangka publikasi hasil evaluasi kepatuhan televisi terhadap protokol kesehatan dalam penyelenggaraan penyiaran di masa pandemi Covid-19 periode Januari 2021, di kantor KPI Pusat (11/02). 

Sebagai regulator penyiaran yang bertugas mengatur dan mengawasi setiap konten siaran, KPI telah menerbitkan kebijakan untuk menyiarkan sosialisasi pencegahan penyebaran Covid-19 baik melalui Iklan Layanan Masyarakat (ILM) atau pun program lainnya oleh televisi dan radio. KPI juga mengeluarkan Keputusan KPI (KKPI) nomor 12 tahun 2020 tentang Dukungan Lembaga Penyiaran dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Persebaran Covid-19.  Berdasarkan KKPI tersebut, KPI menetapkan 7 (tujuh) hal yang menjadi parameter kepatuhan program siaran dalam menjalankan protokol kesehatan, yakni sebagai berikut: 

1. Jaga jarak 1-2 meter;

2. menggunakan masker dan/atau pelindung wajah;

3. tidak melakukan adegan kontak fisik;

4. menayangkan Video Tapping (rekaman) atau penyematan informasi bahwa sebelum siaran dimulai lembaga penyiaran telah melakukan sterilisasi ruangan, peralatan dan perlengkapan shooting serta protokol kesehatan bagi para kru, talen, pembawa acara, maupun narasumber;

5. menghadirkan orang di dalam studio dengan tidak melebihi 25% dari kapasitas ruangan;

6. visualisasi adegan news anchor membuka masker pada saat memulai membaca berita dan mengakhirinya dengan menutup masker.

Sepanjang Januari 2021, KPI menemukan 37 tayangan televisi yang diduga melanggar protokol kesehatan yang bersumber dari 11 stasiun televisi. Sebanyak 36 tayangan berasal dari hasil tim pemantauan isi siaran, sedangkan 1 tayangan berasal dari pengaduan publik yang disampaikan ke KPI dan telah diverifikasi. Dari 37 tayangan ini, pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan didominasi dengan tidak mengenakan masker dan pelindung wajah, selain itu didapati juga tayangan yang tidak memperhatikan jarak fisik atau social distancing. 

Tayangan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan ini didominasi oleh program hiburan seperti variety show. Namun demikian, KPI juga mencatat program lain yang turut melakukan pelanggaran seperti program religi dan talkshow. Mulyo menekankan, evaluasi KPI atas kepatuhan terhadap dukungan lembaga penyiaran dalam upaya pencegahan dan penanggulangan persebaran Covid-19, tidak termasuk pada program siaran film, sinetron dan tayangan yang disiarkan ulang (re-run) yang diproduksi sebelum pandemi Covid-19. Atas temuan potensi pelanggaran ini, KPI akan menindaklanjuti dalam Rapat Pleno Penjatuhan Sanksi yang secara regular dilakukan. “ Nanti, Rapat Pleno akan memutuskan jenis sanksi yang dijatuhkan pada masing-masing program siaran yang terbukti melakukan pelanggaran,“ ujarnya. 

Dengan publikasi atas temuan tayangan dengan potensi pelanggaran ini, tambahnya, kami berharap masyarakat mengetahui lembaga penyiaran yang lalai dalam menjalankan protokol kesehatan pada setiap program siaran yang ditayangkan. Selain itu, publikasi ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi lembaga penyiaran dalam mengelola penyelenggaraan penyiaran yang selaras dengan usaha menuntaskan penyebaran pandemi di negeri ini. Usaha menuntaskan pandemi ini butuh kerja sama segenap pihak, termasuk penyelenggara penyiaran yang senantiasa menghadirkan program yang menjadi contoh dan dengan mudah ditiru oleh publik, pungkas Mulyo.

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat untuk segera melakukan pembenahan terhadap infrastruktur RRI di Mamuju Sulawesi Barat (Sulbar) yang rusak parah akibat gempa bumi sebulan lalu. Hingga saat ini, siaran RRI Mamuju belum dapat beroperasi secara normal dari yang sebelumnya bersiaran 5000 watt.

“Saat ini, RRI Mamuju hanya dapat bersiaran dengan kekuatan 100 watt saja. Jadi yang dapat tercover hanya kota Mamuju saja. Daerah di luar itu belum dapat menerima siaran RRI,” kata Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, dalam kesempatan siaran di RRI Mamuju, Kamis (11/2/2021).

Reza menambahkan, keberadaan RRI di wilayah bencana seperti Mamuju sangat tepat. Menurutnya, saat ini, masyarakat di Sulbar membutuhkan informasi yang cepat, akurat serta terpercaya, khususnya terkait bencana. 

“Saya berharap agar RRI menjadi sentral informasi penanganan bencana dan juga sebagai media peringatan dini bencana. Nantinya, siaran RRI dibantu relai oleh radio lain. Saat bencana kita butuh bergandengan tangan, agar masyarakat tidak mendapatkan informasi bohong atau tidak benar,” jelas Reza yang pada saat lawatan tersebut didampingi Ketua KPID Sulbar, April Azhari Hardi, Ketua KPID Sulsel, Hasrul Hasan dan Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran sekaligus Komisioner KPID Sulsel, Riswansyah Muchsin.

Dalam kesempatan itu, Reza mendorong KPID Sulbar untuk mengkoordinir seluruh lembaga penyiaran khususnya radio untuk bekerjasama dengan RRI dan menjadikannya sebagai radio utama yang siarannya direlai oleh radio-radio swasta atau publik lainnya di Sulawesi Barat untuk informasi tentang bencana.

“Kita harus saling bahu membahu, baik itu dengan Pemerintah, KPID dan lembaga penyiaran, untuk informasi yang bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Echa, panggilan akrabnya.

Selain itu, Koordinator bidang PS2P KPI Pusat ini, menyarankan KPID bekerjasama dengan semua pihak atau stakeholder terkait untuk membuat program hiburan bagi masyarakat terdampak bencana. “Programnya dalam bentuk hiburan untuk untuk trauma healing bagi masyrakat khususnya anak-anak yang menjadi korban bencana tempo lalu. Siaran program ini bisa juga melalui radio,” tutupnya. *** 

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan sanksi administratif teguran tertulis kepada Program Siaran “Nih Kita Kepo” di Trans TV. Program ini dinilai tidak mengindahkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012 tentang perlindungan terhadap anak dan remaja dalam aspek isi siaran. Demikian ditegaskan KPI Pusat dalam surat teguran tertulis untuk Trans TV, Jumat (5/2/2021) lalu.

Adapun bentuk pelanggaran “Nih Kita Kepo” yakni menampilkan koleksi barang-barang branded dan mewah Indra dan Vanessa berupa topi, kalung, jam tangan, cincin, sepatu, baju dan mobil. Barang-barang mewah tersebut oleh mereka dipandang sebagai barang yang “murah banget”. Terdapat pula adegan seorang wanita yang menjadikan beberapa tas koleksinya sebagai bantal untuk tidur dan uang dolar yang dihambur-hamburkan ke lantai.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, menyatakan tayangan seperti ini sama sekali tidak memberikan pembelajaran yang baik dan bermanfaat terlebih bagi anak dan remaja. “Di mana sisi positifnya dari tayangan tersebut. Jika gambaran ini dapat memotivasi mestinya dari bagaimana kesuksesan tersebut diperoleh. Bukan cara melebih-lebihkan memamerkannya atau dengan menyebarkan uang-uang tersebut,” katanya kepada kpi.go.id.

Selain itu, lanjut Mulyo, Tim Analis KPI Pusat menemukan beberapa pernyataan yang dianggap kurang sensitif terhadap masyarakat kelas bawah. Di antaranya pernyataan, “..gimana yaa aku tuh bangun pagi suka stres kadang pusing, karena lihat handphone duit masuk ngga abis-abis, pengennya dibelanjain terus..”, “..sekarang gue mau beli mobil lagi nih gabut..” dan “..tuh bebs yaa kalau orang kaya tu yaa ah mau beli berapa pun mah terserah aja yang penting kenikmatan..”. 

“Dalam muatan tersebut, penjelasan latar belakang profesi sebagai sumber penghasilan hanya disampaikan secara singkat dan sekilas sehingga terkaburkan oleh pernyataan serta sikap keangkuhan. Dalam kondisi masyarakat yang sedang mengalami kesulitan akibat pandemi, rasanya tayangan ini tidak memiliki empati. Di luar situasi pandemi pun, hal seperti itu bukan menumbuhkan watak dan perilaku yang baik” ujar Mulyo.

Berdasarkan keterangan dalam surat teguran yang telah disampaikan ke Trans TV, program acara berklasifikasi R atau remaja mestinya mengikuti seluruh acuan yang ada dalam P3SPS KPI. Salah satunya terkait larangan menampilkan materi yang mengganggu perkembangan kesehatan fisik dan psikis remaja, seperti gaya hidup konsumtif, hedonistik.

“Kami menekankan hal ini karena dalam pedoman penyiaran terdapat larangan menyajikan materi demikian. Tentunya hal ini untuk menjaga perkembangan psikis dan psikologis anak dan remaja kita dari hal-hal yang tidak baik. Ada amanat dalam UU Penyiaran bahwa isi siaran harus menumbuhkan watak dan jatidiri masyarakat Indonesia yang baik. Mestinya, tayangan bagi mereka itu berisikan hal-hal yang mendidik, bernilai sosial, kaya budi pekerti, sergta penumbuhan rasa ingin tahu remaja tentang lingkungan sekitar atau bersosialisasi dengan baik,” jelas Mulyo.

Dalam kesempatan itu, Mulyo meminta pihak Trans TV segera melakukan perbaikan internal dan terus meningkatkan pemahaman tentang acuan yang dibolehkan dan tidak dalam pedoman penyiaran. ***

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai kebebasan pers saat ini harus diikuti dengan modernisasi regulasi media yang ada. Jika ini terwujud, persoalan celah hukum dan ketidakadilan pengawasan seperti antara media konvensional dan media baru, akan larut. 

Pendapat tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, saat menjadi narasumber acara “Ngobrol Bareng” secara daring yang diselenggarakan Universitas Dian Nusantara dengan tema “Hambatan Pers dalam Demokrasi di Indonesia”, Rabu (10/2/2021).  

Salah satu aturan yang menurut Agung harus direvisi secepatnya adalah Undang-undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Menurutnya, aturan dalam UU Penyiaran tidak dapat menyentuh dan mengatur media baru karena target utamanya (kewenangan) hanya mengawasi media penyiaran (TV dan radio). 

Ketidakmampuan ini, lanjut Agung, membuat industri penyiaran protes atas perlakuan yang tidak sama tersebut. “Ada sejumlah media penyiaran yang akhirnya melakukan judicial review  terhadap UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan pengawasan terhadap media baru. Sayangnya, hal itu ditolak oleh Mahkamah Konsitutusi karena UU Penyiaran hanya diamanatkan mengawasi media penyiaran,” jelasnya.

Jika dikaitkan dengan kebebasan pers yang dijalani oleh dua media tersebut, hal ini jelas timpang. Media penyiaran, ujar Agung, semua tindak tanduknya diawasi oleh UU. Penerapan kebebasan persnya pun ada dalam batasan tersebut. Adapun media baru, yang tidak memiliki payung regulasi, jelas terasa lebih bebas. 

“Padahal jika kita pahami, kebebasan itu harus bertanggungjawab, jika tidak akan anarkis. Oleh karenanya, kebebasan harus diatur tapi tidak untuk mematikannya. Sekarang ini, fungsi pers itu tidak hanya di media cetak ataupun media penyiaran, tapi juga media baru. Di dalam UU Penyiaran kebebasan juga diatur termasuk soal jurnalistik. Kebebasan itu diatur agar ada tanggung jawab pers terhadap masyarakat,” papar Agung.  

Selain soal pengawasan media baru, kata Agung, urgensi dari perubahan UU ini adalah soal masih banyaknya kesulitan KPI dalam menindak berbagai kesalahan siaran. Misalnya dalam menindak pelanggaran siaran kampanye yang tidak diatur dalam UU Penyiaran sekarang. “Perubahan ini untuk menjawab banyak kesulitan yang dihadapi KPI dalam menegakkan peraturan yang masih terhambat oleh lemahnya UU Penyiaran tahun 2002,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Agung menilai lembaga penyiaran sudah taat terhadap aturan dan memahaminya. “Yang jadi masalah sekarang adalah media baru. Pasalnya, siapapun bisa jadi jurnalis ini yang kemudian harus ada semacam komitmen kita bersama untuk memberikan literasi dan pengaturan. Pengaturannya seperti apa, ini yang harus kita formulasikan,” ujarnya.

Pada diskusi itu, turut hadir Komisioner KPI Pusat Periode 2013-2016, Bekti Nugroho, Pimpinan Redaksi Metro TV, Arif Suditomo, dan Anggota Dewan Pers, Jamalul Insan. ***

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selalu menjaga agar lembaga penyiaran dalam hal ini televisi dan radio, tidak menjadi instrumen atau alat bagi penyebaran politik identitas. Setiap informasi yang dikelola melalui lembaga penyiaran haruslah berimbang dan proposional, serta memberikan penghormatan terhadap keragaman bangsa. Di satu sisi, KPI menuntut lembaga penyiaran mengambil peran sebagai kontrol sosial, sementara pada sisi yang lain diharapkan pula sebagai instrumen kohesi sosial. Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela menyampaikan hal tersebut dalam diskusi online tentang “Media dan Politik Identitas” yang diselenggarakan Dewan Pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Surabaya, (8/2), yang turut dihadiri Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur Kusnadi SH., M.Hum. 

Kepada mahasiswa anggota GMNI Surabaya, Hardly menjelaskan sejak awal berdirinya negara ini para founding fathers dan founding mothers telah memiliki konsensus kebangsaan yang kemudian jadi dasar negara yaitu Pancasila. Sejak awal pula bangsa Indonesia menyadari identitas yang beragam. Oleh karenanya, persatuan Indonesia adalah persatuan dalam keragaman. Jika sesanti Bhinneka Tunggal Ika telah menjadi komitmen bersama seluruh anak bangsa, seharusnya tidak ada lagi ruang untuk politik identitas. 

Namun demikian, faktanya politik identitas hingga saat ini masih digunakan sebagai strategi politik dan alat untuk mencapai kekuasaan. Pada peserta webinar Hardly juga memaparkan data pengguna internet di Indonesia yang mencapai 174 juta atau setara dengan 65% penduduk. Karakteristik informasi melalui internet ini, ujarnya, dapat dibuat, diedit dan dibagikan oleh siapapun, kapanpun dan dimana pun. “Borderless, lintas batas dan bahkan sangat mungkin informasi dibuat secara anonim,” ujarnya. Pada media baru ini, arus informasi demikian besar hingga menjadi ledakan atau disrupsi informasi. Disrupsi ini tidak selalu berisi informasi yang benar dan baik, namun juga banyak terdapat disinformasi dan hoax. Dengan karakteristik yang demikian, maka internet lebih potensial menjadi instrumen untuk mobilisasi politik identitas dibanding media konvensional. “Mereka yang memiliki pandangan politik yang sama cenderung saling memperkuat pandangan sebagai satu komunitas dan menganggap yang berbeda sebagai lawan,” tambahnya.  

Regulasi yang ada di Indonesia saat ini mengamanatkan pengaturan dan pengawasan terhadap media cetak dan media elektronik (dalam hal ini televisi dan radio). “Yakni lewat undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers dan undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran,” ujarnya. Sementara untuk konten yang hadir dalam media internet baik itu dalam website atau pun media sosial, pengaturannya  melalui undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE), yang menggunakan pendekatan hukum pidana. Dalam beberapa kesempatan, ucap Hardly, Ketika undang-undang ini digunakan untuk menindak pelaku politik identitas, kerap kali mendapat perlawanan publik atas nama kebebasan berpendapat. Hal yang berbeda terjadi pada media konvensional seperti media cetak dan elektronik, yang sudah memiliki perangkat pengawasan dan penindakan. 

KPI sebagai regulator penyiaran selalu meminta televisi dan radio menjadi penjernih informasi bagi masyarakat. Termasuk dalam setiap perhelatan politik, pemilu maupun pilkada, KPI senantiasa mengawasi lembaga penyiaran agar tidak menjadi instrument mobilisasi politik identitas. Setiap informasi harus dikelola dan disampaikan secara berimbang dan proporsional. 

Hardly menilai harus ada terobosan besar yang diambil dalam rangka menghadang penyebaran politik identitas melalui media. “Setidaknya butuh tiga strategi untuk dijalani secara simultan,” ungkapnya. Pertama, adanya regulasi terhadap media baru dan penegakan hukum yang tegas.  Kedua, penguatan literasi media di tengah masyarakat guna mendorong kecerdasan dalam memilah informasi, termasuk dalam menggunakan informasi dari media secara konstruktif. Ketiga, adanya counter narasi politik identitas melalui konten positif yang mampu merajut nilai kebangsaan. 

Mahasiswa sebagai agen perubahan juga harus dapat menjadi agen transformasi sosial secara virtual. Diantaranya dengan memperbanyak konten media sebagai usaha menghadang narasi politik identitas tersebut.  Menurutnya, sebagai intelektual muda, mahasiswa juga harus menjadi kelompok penekan atau pressure group guna melahirkan regulasi yang kuat dan mampu meminimalisir penyebaran konten negatif termasuk politik identitas melalui media baru. Tentunya, tanpa membungkam kebebasan berpendapat di era digital dan virtual ini, pungkasnya.

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.