Depok - Konten media di platform digital harus ada pengaturannya untuk mencipta keadilan berusaha di ekosistem media. Saat ini, lembaga penyiaran bekerja memenuhi hak-hak publik dalam payung regulasi serta mendapat pengawasan untuk setiap konten. Namun untuk media di  platform digital, belum ada aturan sama sekali sehingga setiap orang bebas berbicara sekalipun tanpa kapasitas asalkan mampu menarik pengikut/ follower. Hal tersebut disampaikan Junico Siahaan selaku anggota Komisi I DPR RI dalam Diskusi Publik yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dengan tema Platform Digital dan Penyiaran: Peluang atau Ancaman? di Auditorium Juwono Sudarsono, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, (7/11).

Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menerangkan, dengan masifnya perkembangan media berplatform digital ada capital outflow atau pergerakan aset finansial ke luar negeri. Sementara dengan ketiadaan regulasi yang setara dengan media konvensional berbasiskan free to air, keuntungan ekonomi yang diperoleh negara atas bisnis di platform digital juga sangat minim.  “Jadi, menurut saya, baik media konvensional ataupun digital, harus mendapat perlakuan sama lewat pengaturan konten, demi memberikan perlindungan bagi publik,” tegas pria yang akrab disapa Nico. 

Pada kesempatan tersebut, Ketua KPI Pusat Ubaidillah menjelaskan pada mahasiswa yang menjadi peserta, pentingnya mengutamakan akurasi berita. Saat ini kalangan Gen Z sudah tidak lagi menikmati televisi dan radio karena lebih sering mengakses media digital lewat telepon selularnya. Harus diakui, media dengan platform digital ini telah menyebabkan informasi membanjir di tengah masyarakat. Namun sebagai mahasiswa, harus mampu memilih dan memilah setiap konten dan informasi yang diakses. Pada media konvensional seperti televisi dan radio, konten siaran harus dipastikan akurasi dan validitasnya. Hal ini tidak terjadi pada media berplatform digital. Ditambah lagi, tidak ada pengawasan untuk media digital jika melakukan pelanggaran konten. Karenanya, mahasiswa harus menjadikan televisi dan radio sebagai verifikator atas konten-konten yang  beredar di media sosial. 

Sementara itu, Tulus Santoso sebagai anggota KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran mengatakan, jika bicara soal peluang dan ancaman tentu masih ada peluang besar pada media dengan platform digital. Namun ancaman yang menyertai eksistensinya harus dapat diatasi. “Karenanya kita butuh pengaturan untuk memberi perlindungan bagi publik dari bahaya konten-konten negatif, termasuk juga mengatur kontribusi media digital terhadap pendapatan negara,” tegasnya. 

Jika melihat pelajaran dari negara-negara lain yang membuat regulasi atas media digital, ada baiknya berkaca pada kesepakatan negara-negara di Uni Eropa yang membuat Code of Conduct bersama yang disetujui oleh semua platform digital. Nico Siahaan juga menjelaskan tentang kegagalan beberapa negara dalam membuat pengaturan konten digital lantaran penolakan dari pemilik platform tersebut. Nico mengusulkan agar Indonesia dan negara-negara ASEAN bekerja sama membuat code of conduct secara regional sebagai aturan konten bagi platform digital. 

Terkait aturan untuk media dengan platform digital ini, Wishnu Tri Wibowo dari Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI menilai butuh political will dari DPR dan pemerintah. “Harus diakui bahwa media digital ini memiliki damage yang besar namun kompensasinya tidak ada buat kita,” ujarnya. Perusahaan platform digital telah mengambil keuntungan yang sangat besar dari masyarakat Indonesia, maka seharusnya mereka membagi keuntungan yang diperoleh dengan adil, fair share. 

Turut hadir pula dalam diskusi tersebut Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Gilang Iskandar, Anggota KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Aliyah, serta perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP UI Albani Ilmi. Acara ini sendiri merupakan  kerja sama KPI dengan Dewan Perwakilan Mahasiswa DPM FISIP UI.

 

 

Jakarta - Keterbatasan akses pada sistem perijinan penyelenggaraan penyiaran menyulitkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam melakukan pemantauan terhadap konten-konten siaran yang hadir di tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya pemangkasan kewenangan KPI dalam proses perizinan lewat Undang-Undang Cipta Kerja di tahun 2020. Hal tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat Ubaidillah dalam Rapat Koordinasi 3 KPI Daerah : Jakarta, Banten dan Jawa Barat yang diselenggarakan oleh KPID Jakarta, (5/10). 

Saat ini KPI tidak tahu jumlah lembaga penyiaran yang mendapatkan izin terbaru, termasuk berapa banyak lembaga penyiaran yang pindah kepemilikan atau pun sudah tidak bersiaran, ujar Ubaidillah. Sementara kewajiban pengawasan konten tetap melekat pada lembaga ini. Karenanya, menurut Ubaidillah, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan atas perizinan televisi dan radio, harus menyampaikan secara reguler perkembangan Ijin Penyelenggaran Penyiaran (IPP) yang ada di pangkalan data mereka. 

Belum lama ini, KPI melakukan klarfikasi terhadap salah satu televisi yang ternyata sebelumnya punya call sign berbeda. Ketiadaan akses ini yang menyulitkan KPI untuk melakukan verifikasi atas pelanggaran konten siaran yang dilakukan LP-LP yang baru mendapat IPP, tambahnya. 

Kondisi penyiaran terkini dan segala dinamikanya menjadi bahasan dalam Rapat Koordinasi 3 KPID yang memiliki irisan di beberapa wilayah siaran. Menurut Ketua KPI Jakarta, Rizky Wahyuni, dalam praktek pelayanan kepada publik, pihaknya kerap kali melakukan kegiatan lintas provinsi seperti di Bekasi atau Depok, lantaran banyak siaran radio di Jakarta juga menjangkau warga di provinsi tetangga. Rizky juga mengatakan, program Forum Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP) lintas 3 KPID ini harus dapat diwujudkan dalam rangka penguatan kelembagaan KPI di tengah masyarakat. 

Catatan dari Ubaidillah ini juga diakui oleh anggota KPID Jakarta yang lain, Thomas Bambang. Menurutnya, salah satu alasan pemberian IPP kepada Betawi TV yang proses pertamanya melalui KPID Jakarta lewat Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) karena mengusung konsep budaya Betawi lewat proposal pendirian TV. Selayaknya ketika terjadi perubahan format siaran, KPI selaku regulator penyiaran, juga terinformasikan. 

Dalam kesempatan tersebut Ketua KPID Jawa Barat Adiyana Slamet menyampaikan pendapat tentang hilangnya keberagaman konten dalam penyiaran sebagai salah satu pilar tegaknya demokratisasi penyiaran. Kita memang tidak boleh menutup mata pada dinamika penyiaran hari ini, ujar Adiyana. Proyeksi dari sebuah lembaga keuangan internasional, pendapatan lembaga penyiaran pada 2018-2027 terus merosot. Namun bagaimana pun juga, ujar Adiyana, negara tidak boleh abai atas permasalahan dalam ekosistem penyiaran. Ditambah lagi, terkait rencana pengawasan konten di platform digital, menurutnya siapapun yang memegang kewenangan pengawasan tidak ada masalah, yang penting ada aturan dan pengawasn atas semua konten media.

Selain itu, Adiyana juga menyampaikan hasil riset dari KPID yang menunjukan bahwa bagi masyarakat Jawa Barat, konten-konten di media termasuk internet, ternyata tidak melindungi perempuan dan anak, termasuk juga kelompok-kelompok rentan. 

Catatan dari Jawa Barat ini juga ditambahkan oleh Jalu Priambodo selaku anggota KPID Jawa Barat Bidang Pengawasan Isi Siaran. Sudah banyak biro-biro televisi di Jawa Barat yang tutup, lantaran kondisi perekonomian yang tidak lagi bersahabat dengan ekosistem penyiaran. Hal ini diperlihatkan dengan semakin sedikitnya peserta yang mengirimkan karya siarannya, untuk Anugerah KPID Jawa Barat. “Karena yang  bisa mengirimkan karya adalah televisi yang bironya masih berdiri di Jawa Barat. Kalau tidak memiliki biro, maka tidak ada produksi lokal yang dapat diikutsertakan dalam Anugerah,” tambahnya. KPID sendiri sudah melakukan koordinasi dengan stasiun induk jaringan terkait eksistensi biro di daerah. Namun menurut Jalu, sebaiknya KPI Pusat juga ikut memberikan dukungan lewat koordinasi langsung ke pihak stasiun televisi di Jakarta. Harapannya lembaga penyiaran lebih memperhatikan biro-biro di daerah. “Karena untuk mendapatkan konten lokal, lewat keberadaan biro-biro ini,” ujar Jalu. 

Hadir sebagai pembicara dalam Rapat Koordinasi tersebut, Ketua KPID Banten Haris H Witharja yang juga menyoroti eksistensi KPI sebagai regulator penyiaran. Turut pula menghadiri acara tersebut anggota KPI Pusat dari Bidang Kelembagaan, I Made Sunarsa, Evri Rizqi Monarshi, dan Amin Shabana.

 

 

Jakarta - Komisioner KPI Pusat, Aliyah mengatakan, tujuan utama kegiatan “Ngaji Penyiaran” adalah memberikan pemahaman kepada para santri tentang pentingnya literasi media, khususnya dalam menilai dan mengawasi tayangan di televisi dan radio.

“Melalui kegiatan ini, kami ingin adik-adik santri bisa mereview tayangan televisi dan radio ketika kembali ke rumah, serta mengetahui bahwa seluruh tayangan tersebut diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia,” ujarnya saat memberi sambutan pada sosialisasi bertajuk “Ngaji Penyiaran” dengan tema Santri Pelopor Konten Positif di pesantren Asshiddiqiyah, Jakarta, Kamis (6/11/2025).

Lebih lanjut, Aliyah menyampaikan perbedaan antara tayangan televisi dan radio yang berada di bawah regulasi KPI dengan konten di media sosial yang hingga kini belum memiliki lembaga pengatur dan pengawas khusus.

“Berbeda dengan tayangan di media sosial yang belum diatur oleh regulasi tertentu. Jadi, bila adik-adik menemukan tayangan televisi atau radio yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesantrian atau ke-Indonesiaan, silakan sampaikan aduan tersebut ke KPI,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, pengasuh ponpes Asshiddiqiyah, KH. Ahmad Mahrus Iskandar mengatakan, dunia penyiaran ibarat sebuah kapal besar yang memiliki nahkoda dan arah yang jelas agar tidak terombang-ambing oleh gelombang informasi yang bisa merusak nilai moral dan kebangsaan. Oleh karena itu, setiap program siaran baik berita, reality show, maupun hiburan lainnya harus tunduk pada aturan atau rules yang telah ditetapkan dalam regulasi penyiaran Indonesia.

“Penyiaran bukan hanya tentang tontonan entertainment saja, tetapi juga ada aturan yang harus dipahami. Jangan sampai penyiaran hanya menjadi tontonan, tetapi tidak menjadi tuntunan atau panutan bagi masyarakat untuk pendidikan dan kebaikan bangsa,” katanya dalam kegiatan tersebut.

Melalui sosialisasi ini, KPI berharap para santri dapat memahami alur penyiaran di Indonesia serta berperan aktif dalam menciptakan konten-konten yang edukatif, beretika, dan inspiratif. “Semoga dari kegiatan ini akan lahir para kreator konten positif dari kalangan santri, khususnya santri-santri Asshiddiqiyah, baik di media sosial maupun di media nasional,” tambah Aliyah. Syahrullah

 

Hak Cipta © 2025 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.