- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 4897
Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano.
Jakarta -- Meskipun dalam situasi pandemi Covid-19, literasi untuk publik supaya memanfaatkan media secara benar dan bijak tak boleh berhenti. Apalagi sekarang, masyarakat justru banyak memanfaatkan atau mengakses media untuk mengisi waktu di rumah seiring diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengatakan jumlah penonton televisi mengalami peningkatan karena harus Belajar, Bekerja dan Beribadah di Rumah. Berdasarkan data yang dirilis Nielsen, jumlahnya sekitar satu juta pemirsa. Selain itu ada penambahan waktu rata-rata menonton TV per hari, hingga 40 menit. “Bahkan, penonton program berita juga mengalami kenaikan sebanyak 25 persen,” katanya saat menjadi narasumber acara Diskusi Virtual yang diselenggarakan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Barat, Jumat (1/5/2020) sore.
Akan tetapi peningkatan jumlah dan jam menonton tersebut berbanding terbalik dengan proses produksi konten siaran. Hardly menyampaikan bahwa dengan adanya kebijakan PSBB, proses produksi program siaran yang dilakukan oleh Lembaga Penyiaran hanya berkisar 10 - 20% dari total program yang disiarkan. Selebihnya waktu siar diisi dengan program siaran lama yang ditayangkan kembali, baik secara utuh maupun dikemas ulang.
Rerun dan repackage konten, adalah strategi industri penyiaran untuk dapat terus menghadirkan hiburan kepada khalayak. Akan tetapi perlu melakukan review secara cermat, agar konten rerun dan repackage tetap sesuai dengan regulasi maupun dinamika kebijakan penyiaran. "KPI telah menyampaikan kepada industri penyiaran, agar tetap merujuk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), sehingga dapat senantiasa menyiarkan hiburan yang sehat dan informasi yang berkualitas" ujar Hardly.
KPI juga telah meminta kepada seluruh lembaga penyiaran agar dalam pemberitaan tentang Covid-19 senantiasa menyiarkan informasi yang akurat, dan sebisa mungkin dapat membangun optismisme publik dalam menghadapi pandemi. “Saat beredar berbagai informasi tentang pandemi, maka rujukan yang paling dapat diandalkan dan dipercaya adalah media penyiaran. Informasi yang disampaikan di media penyiaran dapat dipertanggungjawabkan karena ada proses kontrol internal oleh redaksi dan pengawasan oleh KPI. Inilah yang membedakan dengan informasi melalui media sosial,” kata Hardly.
Dalam kesempatan itu, Hardly mengajak para kader GMNI dan seluruh aktivis mahasiswa untuk terlibat dalam gerakan literasi sejuta pemirsa dan kampanye bicara siaran baik. Karena upaya mewujudkan penyiaran berkualitas selain dengan penegakan regulasi, juga dibutuhan partisipasi masyarakat yang kritis, selektif serta memiliki daya apresiasi.
Komisioner bidang kelembagaan ini juga menyampaikan bahwa KPI telah mempublikasikan 129 program siaran yang dinilai berkualitas, melalui sosial media agar dapat menjadi referensi bagi pemirsa dalam memilih siaran yang baik. “Kami berharap milineal yang akrab dengan teknologi untuk senantiasa menyebarkanluaskan informasi yang baik dan benar. Dalam konteks penyiaran, jika menemukan siaran buruk maka segera laporkan pada KPI. Sebaliknya, jika ada konten siaran yang baik, mari sebarkan, viralkan dan referensikan, agar pemirsa siaran berkualitas semakin bertambah,” pintanya.
Sementara itu, Dosen Mercubuana, Antonius Manurung, menekankan pentingnya sikap kritis dan dialektis ketika ada konten yang negatif. Membangun sikap ini akan membangun tatanan konten yang baik dan bermutu. “Sikap dialektis terhadap konten negatif harus dijaga dan ini menjadi tanggungjawab generasi muda,” katanya yang juga didaulat menjadi salah satu narasumber diskusi.
Dia memandang, literasi sebuah hal yang penting dan harus dipahami dengan baik. Sekarang ini, lanjut Anton, kegiatan literasi digital sudah didukung dengan kemampuan teknologi yang memadai. Menurutnya, literasi digital dapat menjadi pilar penting untuk masa depan pendidikan di tanah air. “Sikap kritis itu sangat penting untuk memilih mana yang memiliki makna baik dan sebaliknya,” tambahnya.
Anton menilai literasi digital bukan menjadikan manusia sebagai sosok robotik melainkan sebuah perpaduan antara lterasi dan digital untuk lebih memanusiakan manusia. “Kita bisa memanfaatkan digital literasi untuk merubah mindset. Mari gunakan literasi digital ini sebagai literatur untuk menyelesaikan problem kita sekarang,” tandasnya. ***