Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menerima kunjungan mahasiswa Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (UII) yang dipimpin Dosen Ilmu Komunikasi, Anggi Arifudin Setiadi, beserta staf, di Rupatama, Kantor KPI Pusat (04/12/2024). Rombongan diterima Wijanarko, Irvan Priyanto (Tenaga Ahli Madya Penjatuhan, dan Guntur Karyapati (Tenaga Ahli Madya Pemantauan Isi Siaran).

Di awal kunjungan, Irvan Priyanto menyampaikan materi mengenai peran KPI yang diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yaitu mengatur jalannya sistem penyiaran agar masyarakat memperoleh sebuah tayangan yang mencerdaskan sehingga dapat bermanfaat bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

“Wewenang KPI mencakup kewenangan secara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Jika dirinci terdiri dari kewenangan menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (P3), menetapkan standar program siaran (SPS), mengawasi pelaksanaan peraturan dan P3SPS, memberikan sanksi terhadap pelanggaran terhadap peraturan dan P3SPS, serta berkoordinasi dan atau melakukan kerja sama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat,” ujarnya.

Dia juga menyampaikan pemberlakuan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran, beserta perubahan yang terjadi sebagai dampak munculnya Omnibus Law Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021. Dalam penerapannya, KPI melakukan upaya persuasif melalui pencegahan dan pembinaan sebelum akhirnya menjatuhkan sanksi kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran. 

“Temuan atas pelanggaran didapat melalui pemantauan oleh tenaga analis pemantauan, dan pengaduan dari masyarakat. Sebagai langkah perbaikan, KPI melaksanakan beberapa kegiatan yaitu Indeks Kualitas Program Siaran, literasi media, sosialisasi, Sekolah P3SPS, serta pembinaan program siaran,” kata Irvan.

Melanjutkan pemaparan, Guntur Karyapati menyampaikan teknis pelaksanaan pemantauan yang dilakukan staf analis isi siaran terhadap 61 LP yang terdiri dari 41 televisi digital, 5 provider televisi berlangganan, dan 15 radio berjaringan, paska ASO (Analog Switch Off). Teknis pemantauan dilakukan nonstop 24/7 dengan 5 skema shifting, yaitu Pukul 15.00 – 23.00, 16.00 – 00.00, dan 00.00 – 08.00 bagi tenaga pemantauan pria, dan 07.00 – 15.00, dan 08.00 – 16.00 bagi tenaga pemantauan wanita.

“Dalam P3SPS dicantumkan pengaturan terkait sejumlah isu penting, yang menjadi pedoman bagi tenaga pemantauan dalam melakukan pengawasan terhadap isi siaran,” lanjutnya.

Menggali lebih dalam tentang kewenangan KPI, sejumlah mahasiswa dari UII menanyakan beberapa hal terkait pengawasan terhadap platform media baru dan bagaimana regulasi atau pengaturannya, bagaimana pemberlakuan sanksi terhadap jenis pelanggaran yang variatif, serta teknis pemantauan terhadap siaran langsung (live). 

Sebelum melanjutkan kegiatan pendampingan ke ruang pemantauan isi siaran, KPI menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada pengaturan untuk media baru, itulah pentingnya untuk tetap menjadikan lembaga penyiaran televisi dan radio sebagai referensi utama atas suatu informasi yang sudah jelas regulasinya. “Namun, jika diamanatkan, KPI siap melakukan pengawasan terhadap media lain,” pungkas Irvan Priyanto. Anggita/Foto: Agung R

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menggelar kegiatan pemutaran film secara off-air bertema “Setahun Film Radio: Penyiaran Inklusif bagi Pemenuhan Hak Disabilitas atas Informasi dan Hiburan” di Auditorium Jusuf Ronodipuro, RRI Pusat, Selasa (03/12/2024). 

Selain diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional dan peringatan setahun pemutaran film radio di RRI, kegiatan ini dimaksudkan memantik ekosistem penyiaran Indonesia yang lebih inklusif.

“Hadirnya film ramah disabilitas menjadi upaya pemenuhan informasi, pendidikan, dan hiburan bagi semua lapisan masyarakat, sekaligus memutus kesenjangan informasi. Hal ini menjadi upaya integral pembangunan SDM berkualitas yang tidak dibatasi dari kelompok mana mereka berasal karena pembangunan SDM adalah target segenap bangsa Indonesia untuk mencapai Indonesia Emas 2045,” kata Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, mengawali sambutannya. 

Dia juga menyatakan bahwa pihaknya sudah mengajak seluruh lembaga penyiaran untuk menggunakan bahasa isyarat yang bisa dipahami penyandang disabilitas (PD).

Direktur Utama LPP RRI, I Hendrasmo, menguatkan apa yang disampaikan Ubaidillah. “Sebagai lembaga penyiaran publik, RRI punya tanggung jawab besar menjangkau seluruh masyarakat, termasuk disabilitas,” katanya. 

Dia menyatakan RRI tidak hanya menyediakan saluran penyiaran tapi menjadi wadah inovasi penggunaan audio description sehingga film lebih memungkinkan untuk diakses semua lapisan masyarakat. Tantangan yang tengah dihadapi bersama adalah perubahan teknologi dan munculnya disrupsi informasi.

Keynote speech acara Direktur Yayasan Louise Braille Indonesia sekaligus Ketua Umum Aliansi Disabilitas Nusantara Agus Diono menyampaikan, setelah 8 tahun UU disabilitas diratifikasi menjadi UU Nomor 8 Tahun 2016, dirinya mengimbau agar disabilitas dimaknai sebagai keragaman fisik yang ada pada manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala kelebihan dan kekurangan dan tidak disebut sebagai difabel. “The way to get ability is different between nondisable and disable”, ujarnya.

Pada Bab I Pasal 1 disebutkan Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Forum ini dipandang sebagai media strategis untuk mengedukasi dan menyadarkan masyarakat tentang cara pandang terhadap disabilitas.

Pemutaran dua film pendek “Ride to Nowhere” dan “Luckiest Man on Earth” produksi Minikino disajikan dengan menyertakan audio description atau deskripsi radio, sebuah narasi yang memberi gambaran atau menjelaskan elemen visual utama dalam video, film, atau multimedia untuk membantu penonton dengan disabilitas netra atau gangguan penglihatan. 

Kegiatan dilanjutkan dengan talkshow bersama narasumber Komisioner KPI Pusat Amin Shabana, Ketua Bidang Pengembangan SDM dan Standar Kompetensi Badan Perfilman Indonesia (BPI), Naswan Iskandar, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Woro Sri Hastuti Sullistyaningrum, dan Komisioner Komisi Nasional Perempuan, serta menghadirkan Juru Bahasa Isyarat (JBI), Bahrul Fuad. 

Film Radio: Terobosan Penyiaran Inklusif Sinergi Industri Penyiaran dan Sineas Indonesia menjadi tema yang diangkat Amin Shabana. “Melalui program ini saya ingin menyampaikan bahwa teman disabilitas punya hak yang sama atas informasi dan hiburan. Adanya fasilitas audiio description memungkinkan film dinikmati juga oleh disabilitas netra,” ujarnya. 

Dia menambahkan film radio sudah selama 1 tahun menjadi program yang rutin diputar di Pro 1 91,2FM, setiap hari senin di awal bulan.

Nazwan Iskandar dengan materi “Mendorong Industri Perfilman Nasional Aksesibel bagi Kelompok Disabilitas”, menyampaikan bahwa pada dasarnya industri perfilman tidak membedakan PD dengan nondisabilitas, baik sebagai kru produksi, penulis skenario atau peran dalam bidang yang lain. 

Dia juga menyatakan beberapa stakeholder sudah menyediakan audio description untuk beberapa film. “Bahkan, salah satu film Indonesia yang ditayangkan di Cannes Film Festival menampilkan PD sebagai aktor,” tambahnya.

Sementara itu, delegasi Kemenko PMK menekankan pentingnya peran keluarga melalui tema Dukungan Keluarga dalam Pemberdayaan Kelompok Disabilitas di Era Penyiaran Digital, “Kalau ingin memberdayakan PD, keluarga inilah sebagai unit terkecil masyarakat yang menjadi titik penting, karena dari keluarga mereka belajar bagaimana berinteraksi, mempelajari nilai, norma, agama, dan budaya,” katanya. 

Menurutnya, keluarga berperan memberikan dukungan fisik dan psikologis, menyiapkan sarana prasarana atau infrastruktur bagi PD yang ramah dan aman untuk beraktivitas, serta mempersiapkan mereka masuk ke dalam komunitas yang lebih luas, yaitu masyarakat.

Suara Kelompok Disabilitas terhadap Industri Penyiaran dan Perfilman Nasional menjadi tema penutup yang disampaikan Bahrul Fuad. Terlepas dari apresiasinya atas inovasi yang dilakukan terkait akses informasi melalui film radio, dia mendapati terjadinya bias abilism. Dia acapkali menyaksikan, PD dikonstruksikan dan diglorifikasi dalam kondisi yang mengharu biru penonton, atau sebagai motivator. Padahal kehidupan PD sebagaimana kehidupan nondisabilitas. 

“Everything you see on disability is only perspective, not a fact. Everything you hear on disability is only opinion, not the truth. Except you experience it.”

Kegiatan yang dihadiri oleh Komisioner KPI Pusat, jajaran Dewan Pengawas RRI, serta narasumber ini terselenggara atas kerjasama KPI Pusat dengan RRI dan Minikino. Anggita/Foto: Roby dan Samdea

 

 

Jakarta -- Terkait kasus anak membunuh ayah dan nenek, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta lembaga penyiaran untuk berhati-hati dan bijak dalam memberitakan kasus yang melibatkan anak di bawah umur tersebut. 

KPI Pusat menegaskan setiap pemberitaan kasus pembunuhan seperti ini, lembaga penyiaran wajib menjadikan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI sebagai acuan penayangan.

“Kami meminta lembaga penyiaran untuk tidak mengeksploitasinya dan memperhatikan aturan P3SPS khususnya menyangkut penyamaran identitas bagi pelaku kejahatan yang dilakukan anak-anak,” kata Anggota KPI Pusat, Tulus Santoso. 

Hal lain yang juga ditekankan KPI dalam tayangan kasus pembunuhan ini, lanjut Tulus, lembaga penyiaran mesti mengedepankan informasi yang akurat, kredibel dan bermutu. Artinya, semua data dan narasumber yang dimintakan keterangan merupakan orang-orang kompeten dan ahli di bidangnya.

“Dalam pemberitaan diperlukan pelibatan kriminolog, sosiolog, dan psikolog untuk mendalami berbagai fenomena serupa yang ada di masyarakat. Pelibatan berbagai  lintas disiplin dapat diangkat oleh lembaga penyiaran dengan kasus tersebut melalui pandangan-pandangan pakar yang ahli di bidangnya,” jelasnya. 

Menurut Tulus, dengan pelibatan para pakar dan ahli diharapkan publik lebih banyak mendapatkan pemahaman mengenai fenomena sosial tersebut, sehingga bisa melakukan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan serupa, mulai dari level keluarga, sekolah maupun masyarakat.  

“Jadi mari kita sajikan informasi yang memang berguna buat publik yang berasal dari aparat yang berwenang dan para pakar yang memang kompeten dibidangnya,” tandas Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat ini. ***/Foto: Agung R

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.