Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengapresiasi dukungan yang diberikan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), sivitas akademika UMJ dan seluruh pembicara seminar yang hadir terkait kelanjutan proses pembahasan Revisi UU (Undang-Undang) Penyiaran. 

Pernyataan ini disampaikan Anggota KPI Pusat, Amin Shabana, usai pelaksanaan Kick Off Konferensi Penyiaran Indonesia dan Seminar Nasional “Opportunnities and Challenges of Indonesian Broadcasting Industry in The Digital Transformation Era”di Auditorium Fakultas Kedokteran dan Kesehatan (FKK) UMJ, Kamis (04/07/2024) kemarin.

Menurut Amin, dukung dari perguruan tinggi terhadap penguatan kelembagaan KPI menjadi faktor penting karena obyektifitas yang disampaikan melalui kajian akademisi yang ilmiah. “Kami sangat mengapresiasi dukungan ini. Dukungan ini sangat penting karena perguruan tinggi merupakan mitra strategis dalam cakupan akademis. Karena sudah sangat teruji terkait keakuratan masukannya,” katanya

Terkait hal itu, Amin berharap, perguruan tinggi lain yang menjadi mitra KPI ikut mendukung langkah UMJ mendorong keberlanjutan RUU Penyiaran. Revisi UU ini, katanya, menjadi pijakan KPI dalam menjalankan mandat publik. 

“Undang-undang Penyiaran saat ini yang dilahir pada tahun 2002 sudah berusia 22 tahun. Sudah begitu lama dan pada saat pembuatannya ketika itu belum dipikirkan soal disrupsi yang memengaruhi hajat dan kehidupan masyarakat,” jelas Amin. 

Dia menambahkan, ketika disrupsi makin membesar hal ini tidak diikuti dengan adanya pengawasan. Dinamika inilah yang mendorong perlu adanya pengawasan soal disrupsi dalam RUU Penyiaran. 

“Kami juga banyak mendapatkan masukan dari masyarakat termasuk perguruan tinggi soal perlakukan yang sama atau berimbang. Jika negara melakukan pengawasan terhadap media penyiaran meskinya media baru harus ikut diawasi. Negara harus hadir, negara tidak boleh kalah oleh penyelenggara platform media baru,” tegas Anggota KPI Pusat bidang Kelembagaan ini.

Sementara itu, di tempat yang sama, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah menyampaikan, Konferensi Penyiaran ini adalah bagian dari keterbukaan ruang diskusi agar mendapatkan masukan dan pengayaan dari masyarakat terhadap penyiaran. “Penting melibatkan masyarakat. Kami juga melibatkan media dan masyarakat kampus,” katanya.

Melalui konferensi ini, Ubaidillah berharap, KPI Pusat mendapatkan saran dan masukan konstruktif dari masyarakat kampus untuk mengetahui pasal-pasal yang perlu penyesuaian dengan perkembangan zaman dan teknologi, serta yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan.

Menurut Ubaidillah, penguatan kelembagaan merupakan salah satu hal penting karena kondisi KPI khususnya KPI Daerah tidak sehat. Hal itu disebabkan oleh adanya UU tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa urusan penyiaran bukan bagian dari urusan pemerintah daerah.

“Maka dari itu kami baik KPI Pusat maupun Daerah, mendorong agar dilanjutkan terus pembahasan RUU Penyiaran sehingga Undang-Undang yang sudah berusia 22 tahun ini bisa sesuai dengan perkembangan zaman,” tegas Ubaidillah.

Ia juga menerangkan, seminar ini merupakan bagian dari pembuka rangkaian Konferensi Penyiaran Indonesia. Acara ini menjadi tempat untuk masyarakat dan akademisi menyampaikan saran dan masukan.

Sebelumnya, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Ma’mun Murod, mendorong pemerintah, khususnya DPR RI, agar segera membahas RUU Penyiaran. Menurutnya, revisi ini penting dilakukan karena dunia penyiaran semakin berkembang.

“Amandemen UU Penyiaran sampai saat ini masih belum ada tanda berakhir, penyelesaian, atau wujud UU yang baru. Padahal usianya sudah lebih dari 22 tahun,” kata Ma’mun.

Selain itu, pentingnya RUU Penyiaran terkait dengan peneguhan ideologi kebangsaan. Hal ini dilandasi oleh kerisauan Ma’mun terhadap konten-konten negatif yang berasal dari media baru dan platform streaming yang tidak bisa dikontrol. 

“Sekarang orang bisa membuat apa saja, yang fitnah, yang adu domba termasuk di dalamnya LGBT dan lain sebagainya. Positioning Muhammadiyah jelas, LGBT tidak bisa dibenarkan. Tetapi dengan tidak adanya UU Penyiaran yang komprehensif, susah sekali kita menghadangnya. Seperti juga tayangan vulgar di platform media sosial lain,” tandasnya. ***/Foto: Agung R

 

 

 

 

 

 

Jakarta -- Penguatan lembaga KPI dan penyiaran di era disrupsi media sekarang butuh penyesuaian regulasi. Oleh karenanya, revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran tahun 2002 mesti dilanjutkan agar masalah-masalah kelembagaan dan penyiaran saat ini dapat tertangani.

Pandangan tersebut disampaikan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, I Made Sunarsa, dalam Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di AONE Hotel Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Koordinator bidang Kelembagaan KPI Pusat ini menyampaikan, secara historis sosiologi revisi UU Penyiaran adalah sebuah keniscayaan. Selain itu, dari sisi yuridis, ada masalah serius yang mendesak adanya revisi, terkait dengan keberlangsungan hidup KPID di 33 Provinsi.

"Ada Undang-Undang No 23 tahun 2014. Atas UU ini muncul PP 18/2016, isinya tahu nggak? Tidak menjadikan KPI di daerah itu sebagai kongruen urusan daerah. Bayangkan UU ini sangat melemahkan KPID" ucap Sunarsa.

I Made Sunarsa juga bercerita, bahwa ada 9 pasal di UU Penyiaran tahun 2002 yang dikoreksi oleh UU Cipta Kerja. Beberapa di antaranya diungkapkan, seperti penggapusan dan koreksi pasal 33 dan 34.

Hal itu mengakibatkan hilangnya  beberapa kewenangan KPI berkaitan dengan perizinan penyiaran. Dibutuhkan formulasi baru dalam RUU terkait kewenangan Kpi.

Sunarsa mengungkapkan, kalau dulu, sebelum TV punya program siaran baru, harus melalui proses evaluasi. "Sekarang atas dasar Undang Undang Ciptaker, TV dan Radio tanpa kita tahu siarannya dulu. Kalau dulu nggak boleh," jelas I Made Sunarsa.

Lalu kebijakan ASO juga berpengaruh terhadap industri penyiaran yang menuntut peran lembaga pengawas siaran semakin komplek. “Nggak bisa lembaga mengawasi lembaga penyiaran yang bertumbuh pesat akibat Aso tanpa penguatan lembaga" tambahnya.

Menanggapi terkait dinamika yang panas terkait pasal pasal RUU yang dikritik oleh beberapa pihak, Sunarsa menyampaikan "Kami belum bisa menanggapi lebih dalam soal itu, karena kami belum menerima draf resmi dari Komisi 1. Namun kami meyakini bahwa draf yang nantinya dibuat pasti didasarkan kebutuhan negara dan sudah berdasarkan aspirasi semua komponen masyarakat". 

Dalam diskusi ini, hadir narasumber dari Dewan Pers, masyarakat siber Indonesia dan praktisi penyiaran lainnya. Sebelum acara ini dimulai, Wakil Menteri Komifo, Nezar Patria berkesempatan memberikan sambutan kunci. **

 

Cirendeu - Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengakibatkan dampak signifikan bagi status Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah seluruh Indonesia. Status kelembagaan KPID tidak lagi menjadi bagian dari pemerintahan daerah sehingga berdampak pada dukungan anggaran dan sekretariatan.

“Penganggaran KPI Daerah akhirnya bersumber dari hibah. Berarti tergantung pada kedekatan dengan pemerintah daerah,” kata Ketua KPI Pusat Ubaidillah dalam sambutannya di Kick-Off Konferensi Penyiaran Indonesia 2024, di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Kamis (4/7). 

Termasuk pelaporannya, Anggota KPI Daerah juga yang melaporkan karena tidak ada dukungan sekretariatan. “Para komisioner membuat pertanggungjawaban administratif, sehingga menjalankan tugas ganda di daerah,” lanjutnya. 

Sebelumnya, dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran, anggaran KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mendapatkan dukungan sekretariatan. Dengan demikian, para Anggota KPI dapat maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara independen yang mengawasi lembaga penyiaran.

“Karenanya, kami mendorong kepada pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran ini dapat dilanjutkan, sehingga regulasi yang sudah berusia 22 tahun dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Termasuk juga kelembagaan KPI sebagai regulator penyiaran dapat bersifat struktural dengan penganggaran terpusat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN),”terangnya. 

Selain penguatan kelembagaan KPI, Ubaidillah juga mengusulkan pengaturan media baru sebagai bentuk level playing field dan audit rating. 

Terkait pengaturan media baru, Ubaidillah memberikan contoh soal tayangan rokok yang sangat dibatasi di TV dan radio. “Namun di platform media baru, jangankan iklannya, pembawa acaranya pun tampil sambil merokok,” terangnya. 

Pembatasan tayangan rokok diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS) KPI 2012, iklan rokok hanya boleh tampil pada pukul 21.30-03.00. Sedangkan siaran yang bermuatan penggambaran konsumsi rokok hanya dapat ditayangkan pada program dewasa dan wajib ditampilkan sebagai perilaku dan gaya hidup negatif serta tidak digambarkan sebagai sesuatu yang hebat dan menarik. 

Pengaturan konten di platform digital atau media baru sudah menjadi kebutuhan bagi publik. “Persoalan siapa yang dimandatkan melakukan pengawasan, bukan masalah buat KPI. Yang penting ada regulasinya, negara hadir” tegas Ubaidillah. 

Kick-Off Konferensi Penyiaran Indonesia yang berlangsung hari ini merupakan bentuk kolaborasi KPI dengan kalangan akademisi untuk memberi sumbangsih keilmuan atas arah penyiaran Indonesia. Kegiatan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang sudah berlangsung sepuluh tahun, adalah usaha KPI dalam menilai kualitas program siaran televisi yang ternyata hasilnya berbanding terbalik dengan angka dari lembaga pemeringkatan. Karenanya KPI juga mengusulkan pada Komisi I DPR RI, untuk mengatur tentang audit lembaga rating dalam regulasi. 

Kerja sama dengan UMJ ini juga dalam rangka memperkuat Pancasila sebagai ideologi yang harus dijaga. Harapannya, empat pilar kebangsaan yang digelorakan selama ini di tengah masyarakat, juga dapat tercermin dalam konten media. Ketua KPI juga berharap, kebutuhan masyarakat yang lain terkait penyiaran dapat diakomodasi. Misalnya, kemudahan proses perizinan bagi lembaga penyiaran komunitas (LPK), salah satu yang juga dibutuhkan oleh kampus. Saat ini, proses perizinan LPK dengan lembaga penyiaran swasta (LPS) sama saja. “Saya berharap, regulasi ke depan dapat memberi kemudahan bagi publik mendirikan LPK,” tegasnya. 

Turut hadir dalam Kick Off Konferensi Penyiaran Indonesia 2024, Rektor UMJ Prof. Ma’mun Moerad, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Amin Shabana dan Evri Rizqi Monarshi, serta Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Wayan Toni Supriyanto.

 

 

Cirendeu – Permintaan agar proses pembahasan Revisi UU (Undang-Undang) Penyiaran tetap dilanjutkan bergaung dari kalangan sivitas akademika di Muhammadiyah. Selain keniscayaan, hadirnya UU Penyiaran baru yang komprehensif menyikapi perkembangan penyiaran saat ini menjadi alasan utama.

Demikian disampaikan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Prof. Ma’mun Murod, dalam sambutannya di acara Kick Off Konferensi Penyiaran Indonesia dan Seminar Nasional “Opportunnities and Challenges of Indonesian Broadcasting Industry in The Digital Transformation Era”di Auditorium Fakultas Kedokteran dan Kesehatan (FKK) UMJ, Kamis (04/07/2024).

Menurutnya, perubahan terhadap UU Penyiaran 2002 sudah sangat lama dinantikan. Sementara perkembangan dunia penyiaran termasuk teknologi komunikasi begitu luar biasa dan massif. 

“Padahal usia 22 tahun bukanlah usia yang singkat. Kalau boleh saya meminta dengan sangat kepada Komisi I untuk bisa membincang segera mungkin untuk membahas undang-undang penyiaran baru yang lebih komprehensif menyikapi banyak hal terkait dengan perkembangan penyiaran di Indonesia,” ujar Rektor UMJ.

Alasan lain Prof.  Ma’mun Murod menyinggung RUU Penyiaran supaya dilanjutkan berkaitan dengan peneguhan ideologi kebangsaan. Hal ini dilandasi oleh kerisauannya terhadap konten-konten negatif yang berasal dari media baru dan platform streaming yang tidak bisa dikontrol. 

“Sekarang orang bisa membuat apa saja, yang fitnah, yang adu domba termasuk di dalamnya LGBT dan lain sebagainya. Positioning Muhammadiyah jelas, LGBT tidak bisa dibenarkan. Tetapi dengan tidak adanya UU Penyiaran yang komprehensif, susah sekali kita menghadangnya. Seperti juga tayangan vulgar di platform media sosial lain,” tegasnya. 

“Karena itu, sekali lagi di forum ini, kami berharap, setidaknya kami mewakili kampus Muhammadiyah, untuk penting adanya pembahasan terkait UU Penyiaran yang baru. Supaya komprehensif dan tetap mengedepankan khas Indonesia terkait dengan Pancasila dan UUD 1945,” tambah Prof. Ma’mun Murod.

Di tempat yang sama, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Prof. Muchlas, menyampaikan pandangan yang senada terkait kelanjutan pembahasan RUU Penyiaran. Bahkan, lanjut dia, momentum akan diselenggarakan Konferensi Penyiaran Indonesia dapat menjadi forum penyampaian masukan terkait produk hukum dalam RUU Penyiaran.

“Ini perlu masukan-masukan yang komprehensif. Tidak hanya dari aspek hukum saja tetapi juga dari aspek-aspek yang lain sosial, budaya, dan psikologis. Juga jangan sampai lupa aspek-aspek perkembangan terkini terkait peluang dan tantangan industri penyiaran di era transformasi digital ini,” katanya.

Dia juga menyoroti perubahan cara mengkonsumsi media dan informasi oleh generasi sekarang. Ini menjadi tantangan yang harus dipikirkan dan menjadi masukan dalam RUU Penyiaran. 

Sementara itu, Ketua TV MU, Makroen Sanjaya, ikut mendukung dilanjutkan pembahasan RUU Penyiaran yang semestinya sudah dilakukan sejak lama. Perbedaan perlakuan antara media baru dan media lama menjadi salah satu pertimbangannya. Saya harap ketika merevisi ini harus tepat guna dan tepat sasaran,” katanya. 

Makroen juga mendukung KPI untuk mendorong lahirnya lembaga rating alternatif. Menurutnya, hal ini untuk memastikan peratingan program tidak hanya dikuasai satu rating tunggal. “Karena soal rating ini tidak pernah selesai,” tutupnya. ***/Foto: Agung R

 

 

 

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta revisi Undang-Undang Penyiaran dilanjutkan tahapannya hingga dapat disahkan sebagai Undang-Undang Penyiaran yang baru pada periode DPR 2019-224. Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, saat menjadi narasumber FGD online Forum Media Barat 9, dengan tema “Menyusur Arah Penyiaran Indonesia”, (28/6).

 

Menurut Reza, revisi Undang-Undang Penyiaran merupakan kebutuhan yang mendesak, dalam rangka penguatan kelembagaan bagi KPI termasuk KPI Daerah. Kemunculan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang otonomi daerah yang menempatkan penyiaran sebagai urusan pusat, membuat berat kondisi KPI di Daerah. Lantaran undang-undang tersebut dan peraturan turunannya, semua fasilitas kesekretariatan dan perangkat pengawasan isi siaran di daerah, dihentikan oleh pemerintah daerah. Dengan lobi KPI ke Kementerian Dalam Negeri, akhirnya ada anggaran untuk KPI Daerah melalui skema hibah. Namun, tambah Reza, karena skemanya hibah, ibaratnya KPID harus meminta belas kasihan untuk mendapat dukungan fasilitas dari pemerintah daerah. “Bagaimana mungkin yang melakukan pengawasan lembaga penyiaran di daerah, harus meminta dulu untuk mendapat dukungan manajerial dan operasional kegiatan, ini kan gak masuk akal,” tegasnya. 

 

Inilah yang menjadi salah satu alasan bagi KPI, bahwa revisi undang-undang penyiaran merupakan sebuah kebutuhan mendesak. Sedangkan hal lainnya, terang Reza, adalah soal pengawasan di media baru. Dalam beberapa kegiatan KPI di berbagai daerah, berulang kali publik menggugat konten-konten di media baru, yang dinilai melanggar norma di masyarakat.  

Saat ini saja, terang Reza, banyak tayangan di televisi dan radio yang bersumber dari media baru. “Terakhir soal pelecehan agama yang ditayangkan berulang-ulang, hingga KPI harus memanggil lembaga penyiaran agar berhati-hati dengan masalah ini,” ungkapnya. Belum lagi konten Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) yang mudah ditemukan di media Over The Top (OTT). Hingga saat ini, lembaga penyiaran kita tidak akan menyiarkan konten LGBT, namun tidak dengan OTT. “Apalah hal seperti ini akan terus dibiarkan, OTT tanpa ada pengaturan,” tambah Reza. 

Bagi KPI sendiri, kalau pun ada satu atau dua hal yang dinilai perlu diubah, silakan saja diperbaiki, saat draf undang-undang ini sudah secara resmi ditetapkan sebagai RUU setelah diserahkan DPR pada pemerintah untuk dibahas. Namun, pada prinsipnya, kebutuhan regulasi baru untuk dunia penyiaran sudah mendesak. 

Adapun terkait kewenangan KPI dalam pengawasan konten jurnalistik di lembaga penyiaran, sebenarnya sudah diatur juga dalam undang-undang saat ini. Namun demikian, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tetap menundukkan diri pada Undang-Undang Pers. Reza memaparkan beberapa program jurnalistik yang mendapatkan sanksi dari KPI Pusat. Diantaranya karena tidak menutup indentitas dari anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual. Atau, tambah Reza, saat peliputan gerebeg markas pinjaman online (pinjol) muncul layar komputer yang menampilkan situs porno.  Ada juga bencana kecelakaan bis, keluarga korban yang masih trauma diwawancarai termasuk juga sopir yang masih terkapar. Sementara di P3SPS jelas ada perintah untuk menghargai kondisi traumatik korban bencana. 

Dalam menanggapi isu RUU Penyiaran, KPI juga fokus pada isu pengaturan media baru dengan prinsip kesetaraan dan keadilan, sebagaimana aspirasi publik dan juga industri penyiaran.  Jika dianggap pengaturan tersebut membatasi kebebasan berekspresi, apakah selama ini kebebasan berekspresi di televisi dan radio dibatasi? KPI tidak dalam posisi membredel kebebasan berekspresi, tapi butuh kesetaraan dan keadilan dalam memperlakukan konten di semua platform media. 

Dirinya mengakui perlu adanya pembedaan perlakuan antara streaming dan broadcasting. Tapi apakah kemudian pendekatan yang dilakukan pada infrastruktur atau pendekatan konten? Kalaupun menggunakan pendekatan infrastruktur, sebagaimana yang sering disampaikan Kementerian Komunikasi dan Informatika, itu tidak ada masalah. Di beberapa negara, sudah dilakukan pengaturan tersebut. Yang pasti, ujar Reza, kita butuh duduk bersama untuk revisi undang-undang. Sekali lagi, kalau drafnya sudah ditetapkan DPR sebagai Rancangan Undang-Undang, kami akan berikan masukan resmi secara kelembagaan, pungkasnya. 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.