- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 5507
London - Pengaturan terhadap lembaga yang mengukur pemeringkatan televisi atau rating televisi harus diakomodir dalam revisi undang-undang penyiaran yang tengah dibahas oleh Komisi I DPR RI saat ini. Hal tersebut menjadi bagian dari usaha menjaga iklim industri penyiaran tetap sehat dan kepentingan masyarakat terhadap konten siaran berkualitas juga terpenuhi. Hal ini disampaikan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, usai melakukan audiensi dengan Kantar Media selaku lembaga survey multinasional yang berpusat di London, Inggris, (10/2).
Dalam pertemuan tersebut, Yuliandre diterima oleh Mark Wisbey selaku Product Director TAM, Stuart Wilkinson selaku Business Development, dan Laurence Chausson selaku International Business Development Director, Media Division. Perkembangan ekosistem media dalam perspektif flonal dan perkembangan regulasi konten digital di negara-negara Eropa menjadi bahasan utama.
Laurence mengungkap, pada era sekarang ini adalah tahunnya Smart TV. “Hampir semua masyarakat di dunia menggunakan Smart TV, meskipun masih ada yang menggunakan teknologi televisi analog,” ujarnya. Untuk itu, tambahnya, yang perlu dilakukan vendor-vendor perangkat teknologi adalah memastikan produk yang dibuat dapat terintegrasi dengan smartphone ataupun smart TV.
Sedangkan Stuart memaparkan nilai investasi media secara global. Untuk langganan Pay TV, misalnya, sudah mencapai nilai $ 173 juta. Sedangkan untuk Video on Demand (VoD), nilai berlangganan mencapai $61 juta. Adapun untuk produksi konten menghasilkan $ 220 juta, iklan $ 543 juta dan teknologi infrastruktur senilai $ 21 juta.
Terkait kebiasaan menonton dalam dunia penyiaran, pihak Kantar Media menjelaskan tentang beberapa hal yang harus dipahami. Integrasi antara layanan Video on Demand dan media penyiaran yang linear dan penonton layanan streaming, masih menjadi kebiasaan yang bayak dilakukan. Layanan streaming masih menjadi favorit konsumen, karena biasanya masyarakat lokal senang menonton konten global dan internasional. Jadi layanan ini dinilai sebagai jembatan antara penduduk lokal dan global.
Dalam dunia periklanan sendiri, menurut Mark Wisbey didapati beberapa kebiasaan yang berubah. Misalnya, pengiklan yang awalnya mencari alternatif dalam penempatan iklan. Saat ini, justru pengiklan berusaha meningkatkan kebutuhan integrasi dan pengukuran iklan melalui cross-platform. Iklan yang ditempatkan dalam platform digital dinilai lebih menguntungkan dibanding iklan yang ditempatkan dalam media penyiaran analog. Hal ini dikarenakan pengiriman IP akan mempercepat penempatan produk. Ditambah lagi sudah ada televisi yang dapat memberikan fasilitas pembelian produk melalui internet, dan e-niaga atau pun e-commerce sudah dapat melakukan aktivitas periklanan melalui streaming.
Laurence juga memaparkan tentang pemberlakuan rating di Eropa. Menurutnya, di zaman digital saat ini, rating harus menjadji hal yang wajib karena media juga menerapkan “act of freedom”. Menurutnya, dunia sudah berubah dan pengukuran nilai kepemirsaan atau rating dalam media penyiaran, harus diatur dalam regulasi yang kuat.
Menyambung Laurence, Yuliandre menjelaskan bahwa rating penyiaran di Indonesia hanya dilakukan oleh satu lembaga rating. Perusahaan multinasional itu mengukur rating dengan memasang alat khusus, people meter, pada setiap televisi di 2.273 rumah tangga. Panel itu tersebar di 11 kota besar di Indonesia. Ada beberapa hal yang mempengaruhi rating, misalnya ada durasi program karena rating itu dihasilkan setiap menit. “Kalau punya program 15 menit dan yang lain 60 menit, tentu menjaga pemirsa untuk 15 menit itu lebih gampang dibandingkan dari pada menjaga pemirsa untuk 60 menit,” ujar Yuliandre. Hal ini menjadikan program siaran yang lebih panjang tentu makin sulit mendapatkan rating yang tinggi.
Menurutnya hal ini yang seharusnya tidak terjadi di Indonesia. “Tidak ada lembaga yang ditugaskan menjadi pengawas dari lembaga rating, rating terhadap penyiaran juga hanya dilakukan oleh satu lembaga rating,” tambahnya. Laurence menimpali bahwa Kantar Media di Inggris juga memiliki tools sebagai lembaga rating di Inggris. Kantar saat ini sudah memiliki ribuan people meter, sama seperti yang dilakukan oleh Nielsen di Indonesia. Bahkan Kantar dapat bekerja sama dengan lembaga lain untuk melakukan riset untuk rating. Misalnya, Kantar saat ini bekerjasama dengan Mediametrie untuk melakukan pengukuran konsumsi penonton saat mereka sedang bepergian dan kapan saja, baik itu konten TV, video, audio dengan alat seperti jam atau smartwatch.
Dalam audiensi itu Yuliandre pun menyampaikan penilaiannya tentang kualitas film dan drama seri di Inggris yang lebih baik dibandingkan Indonesia, khususnya Jakarta. Bahkan, Yuliandre yang juga pernah mengetuai Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) menyebut kualitas film dan serial dari Inggris tidak kalah keren dari Hollywood. Karena itulah, dirinya sangat mengharapkan dalam revisi undang-undang penyiaran ke depan, DPR dapat merumuskan pengaturan terhadap penyelenggaraan lembaga rating termasuk keberadaan dewan pengawas lembaga rating. Hal ini juga untuk mencegah terjadinya monopoli dan tafsir tunggal atas pemeringkatan program siaran, dari satu lembaga saja. “Muaranya tentu saja untuk kepentingan publik. Yakni hadirnya konten siaran berkualitas dan berkesinambungan lantaran mendapatkan dukungan dari para pengiklan lewat data kepemirsaan yang terpercaya,” pungkasnya.