Jakarta -- Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran No.32 tahun 2002 harus segera tuntas. Selain itu, RUU Penyiaran baru harus berisikan aturan-aturan yang progresif dengan definisi penyiaran yang luas. Jadi ketika UU tersebut berlaku, aturanya mampu menjangkau dan memahami seluruh aspek penyiaran termasuk di dalamnya perkembangan media dan teknologi.  

Hal itu disampaikan Anggota KPI Pusat, Irsal Ambia, saat mengisi acara Diskusi Forum Legislasi yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen dan Biro Pemberitaan DPR dengan tema “RUU Penyiaran untuk Kedaulatan Bangsa dan Negara” yang berlangsung di Media Center DPR/MPR/DPD RI di Gedung Nusantara 3 Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/3/2023) kemarin.  

“Kita mendorong UU Penyiaran baru segera dibahas dan bisa dihasilkan. UU baru ini tidak hanya bicara konvensional tapi juga punya pandangan digital pada platform new media. Ini tugas kita bersama dan teman-temen wartawan perlu mengutarakan ini,” tambah Irsal di depan peserta diskusi. 

Tak hanya itu, Irsal berharap UU Penyiaran baru mampu mewujudkan keadilan berusaha untuk semua platfrom media. Dengan demikian, kompetisi antar kedua platform media itu akan berjalan baik dan sehat. 

“Kewenangan KPI sekarang hanya yang konvesional dan yang baru belum tersentuh. Ini akan menjadi semacam regulasi yang adil. Mereka nanti akan berbadan hukum Indonesia dan ketika sudah maka mereka akan tunduk pada hukum Indonesia. Salah satunya mereka akan bayar pajak dan salah satu kepentingan pengaturan media baru adalah kedaulatan bangsa,” jelas Irsal. 

Selain soal media baru, Irsal meminta RUU Penyiaran dapat mendorong demokratisasi penyiaran di Indonesia menjadi lebih baik. Hal ini salah satunya menyangkut persoalan kepemilikan media karena menyangkut aspek ekonomi dan politik. 

“Fenomena seperti ini tidak hanya di Indonesia tapi juga terjadi di seluruh dunia. Ada hubungan antara politik dan ekonomi. Kemudian sedikit orang menguasai media. Mereka itu punya banyak radio dan TV. Yang penting dilakukan kita adalah belajar dari negara lain dengan membangun fire wall yang menjaga kepentingan politik sehingga tidak akan sangat mudah menggunakan ruang publik tersebut,” ujar Irsal.

Dia juga menyampaikan perlunya penguatan kelembagaan KPI sebagai regulator penyiaran. Selama ini, fungsi KPI belum optimal karena kewenangannya hanya terbatas pada konten siaran. “Semestinya kewenangan pengaturan secara holistik. Artinya, hal-hal yang di luar konten, seperti registrasi perizinan, dan sebagainya secara menyeluruh ada di sebuah badan. Intinya penguatan KPI baik strukturnya, KPI Daerah dan lain sebagainya," tutur Irsal.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, pihaknya sedang membahas draf RUU penyiaran dan berencana akan menyelesaikannya pada periode ini. Jika draf sudah selesai, Komisi I DPR akan menyampaikan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.

"Proses di Komisi I hampir selesai untuk draf RUU-nya. Mudah mudahan dalam masa sidang besok ini draf RUU penyiaran sudah akan selesai," kata Abdul Kharis dalam Forum tersebut.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah meminta pembahasan revisi UU Penyiaran melibatkan partisipasi publik dan memperhatikan masukan publik tersebut. Hal itu agar pembentukan UU tidak cacat formil atau sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan. "Bagaimana kemudian publik dirangkul sebanyak mungkin, jangan dikebut," papar Trubus. ***

 

 

Jimbaran -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang mewakili masyarakat dalam dunia penyiaran terus gencar melakukan literasi ke masyarakat dalam bentuk Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP). Kali ini, Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Bali berkesempatan menjadi tuan rumah dalam helatan tersebut. 

Bertindak sebagai narasumber yakni I Made Sunarsa, Tulus Santoso dan Ni Made Ras Amanda Gelgel. Materi literasi difokuskan menguatkan peran masyarakat sebagai penentu arah industri televisi saat ini. Belum lagi perkembangan media baru dengan banyak pilihan yang dikhawatirkan membuat masyarakat meninggalkan TV dan radio. Padahal media ini merupakan sumber informasi yang diawasi dengan ketat sehingga sangat minim hoaks atau disinformasi.

“Pendengar radio semakin hari semakin turun. Dibalik itu, pengguna media sosial terus naik tiap tahun. Harusnya ini menjadi perhatian bagi kita semua,” jelas Tulus saat menyampaikan keperihatinannya akan media TV dan radio yang mulai ditinggalkan.

Fenomena ini menunjukkan kecenderungan masyarakat yang lebih menggandrungi media sosial daripada TV atau radio. Ditambah lagi terbentuk pendapat tentang isi kontennya yang tidak berkualitas, jenis acara yang monoton, hingga sudah merasa tidak mendapat manfaat dari media ini. Karena itu, semangat untuk melihat TV dan mendengar radio perlu ditumbuhkan lagi. 

“Jadi kalau ingin informasi yang baik, hiburannya yang sehat, edukasinya ada, nonton aja siaran TV. Saya kira ini harus menjadi semangat kita bersama,” jelas Made Sunarsa.

Literasi merupakan aspek penting yang menjadi bekal masyarakat dalam menerima informasi. Terlebih pola penyiaran TV dan radio saat ini adalah menampilkan fenomena yang viral di media sosial. Pikiran kritis dalam literasi yang harus dikuatkan untuk menekan hal-hal buruk yang justru viral dan kemudian tayang di TV atau radio.

“Kita bicara literasi kita bicara tentang kritis, jadi kalau nonton kita tidak boleh menerima informasi begitu saja.” Jelas Ni Made, Akademisi Universitas Udayana (Unud).

Tumbuhnya sikap kritis masyarakat dibarengi minat menonton TV atau mendengar radio mestinya jadi kunci berbenahnya industri penyiaran. Tingkat literasi dan perhatian masyarakat terhadap TV maupun radio akan sangat membantu KPI dalam mengawasi dan menyanksi program siaran yang bandel.

“Saya kira KPI Pusat dan KPI Daerah yang jumlahnya puluhan tidak cukup untuk mengawasi siaran yang jumlahnya beribu-ribu jam. Gerakan ini (GLSP) mengajak masyarakat untuk aktif. Saat ini, KPI sudah berusaha tegas pada lembaga penyiaran dengan P3SPS dan lainnya. Saya kira KPI selain mengawasi pemberi pesan (lembaga penyiaran), namun juga (penerima pesan) masyarakat untuk cerdas dalam memilih program siaran,” harap akademisi Unud tersebut sebagai closing statement. Abidatu Lintang

 

 

 

 

Depok -- Program Indeks Riset Kualitas Program Siaran TV tahun 2023 akan dimulai dalam waktu dekat. Persiapan awal tengah dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) salah satunya dengan uji instrumen pelaksanaan indeks yang digunakan dalam mengevaluasi kualitas program siaran di 15 TV berjaringan nasional. Uji instrumen terhadap 8 kategori program acara TV melibatkan 35 responden dari berbagai keahlian.

Adapun uji instrumen untuk penelitian indeks kualitas program siaran TV meliputi metodologi penelitian, kategorisasi program, dimensi dan pernyataan dan penentuan sampel tayangan.

Kepala Sekreatriat KPI Pusat, Umri mengatakan, proses uji instrumen diperlukan untuk mendukung penguatan sekaligus menyempurnakan perangkat teknis penelitian pelaksanaan indeks kualitas program siaran TV tahun ini. 

“Kami ingin mengembangkan riset ini dan kegiatan uji instrumen yang melibat responden ahli adalah upaya kami menghasilkan pelaksanaan indeks yang lebih baik dari indeks sebelumnya,” katanya saat membuka kegiatan Uji Instrumen dan Operasionalisasi (Uji Validitas dan Reliabilitas) Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2023, Sabtu (25/2/2023) di Depok, Jawa Barat.

KPI memerlukan banyak masukan dari para responden ahli sebelum merumuskan formulasi dan operasionalisasi pelaksanaan kegiatan indeks. Selain juga menentukan metode dan desain penelitian Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2023. “Kami juga berusaha meningkatkan kemampuan tim penelitian KPI dalam pelaksanaan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi pada tahun 2023,” ujarnya.

Pendapat yang sama disampaikan nara sumber kegiatan uji instrumen yang juga Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Pinckey Triputra. Menurutnya, pelaksanaan uji instrumen untuk menyerap hal-hal baru sehingga instrumen indeks kualitas program TV semakin sempurna. 

“Kami tidak menutup menyerap hal-hal yang baru apa yang akan jadi pertimbangan dalam menilai dan melihat serta mengevaluasi program siaran TV. Kami coba merumuskan instrumen ini. Ini memang jadi tantangan. Apa yang dilihat orang akan menjadi bahan untuk menyempurnakan itu,” papar Pinckey.

Sebelumnya, Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, mengatakan tujuan uji instrumen indeks kualitas program siaran TV agar tidak terjadi masalah dikemudian hari. Uji ini merupakan tahapan akademis akan memperkuat pelaksanaan serta hasil penelitian indeks. 

“Indeks kualitas ini sudah masuk tahun ke sembilan. Jadi harus ada pengembangan dengan perbaikan-perbaikan yang  kurang. Sehingga kualitas penyiaran ke depan semakin baik,” kata Yuliandre, Jumat (24/2/2023).

Kegiatan Indeks Kualitas Program Siaran TV KPI bekerjasama dengan 12 Perguruan Tinggi di 12 kota di Indonesia. Tidak menutup kemungkinan, kerjasama ini lebih diperluaskan dengan melibatkan Perguruan Tinggi lainnya. ***

 

 

 

Jimbaran – Literasi membentuk sikap kritis dan selektif masyarakat terhadap tayangan atau konten di media. Jika sikap ini makin kuat dan meluas, hal ini tak hanya mengubah kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi media tapi juga akan memengaruhi pola produksi konten di media tersebut.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan, TV dan radio bahkan media baru seperti Youtube berharap tayangannya ditonton atau didengar masyarakat. Semakin banyak konten tersebut ditonton maupun didengar, maka konten tersebut makin sering dibuat. 

“Rating dan share itu menjadi pertimbangan lembaga penyiaran karena berpengaruh kepada pemasukan. Jumlah pemirsa selalu menjadi lebih penting. Kalau di sosial media juga begitu acuannya, viewer dan subscribe. Selalu yang menentukan adalah penonton,” kata Hardly saat membuka acara Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa di Kampus Institut Teknologi Bisnis STIKOM Bali, di Jimbaran, Bali, Kamis (2/3/2023). 

Oleh sebab itu, lanjut Hardly, pihaknya berupaya menempatkan posisi masyarakat (penonton) berada di atas atau yang menentukan dinamika siaran. Namun sikap menonton harus terlebih dahulu diarahkan agar memilih konten yang baik dan berkualitas. Melalui literasi pola tersebut tersebut dapat dibentuk.

“TV dan radio kalau membuat siaran lalu tidak banyak yang nonton tentu akan membuat hal-hal yang menarik supaya banyak dilihat. Karenanya, kita ingin membuat teman-teman semakin selektif melihat tontonan karena itu akan jadi rujukan industri untuk proses selanjutnya. Ini yang akan kita dorong,” pintanya kepada para mahasiswa. 

Hardly menambahkan, KPI bisa saja menjatuhkan sanksi kepada konten lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran. Tapi hal ini tidak akan berkelanjutan jika tidak ada dukungan dari penonton. Artinya, meskipun tayangan tersebut sudah disanksi tetap bisa ada selama penoton tidak meresponnya. 

“Karenanya kami berharap melalu gerakan ini, bukan hanya KPI tapi seluruh masyarakat Indonesia khususnya generasi muda, menjadi bagian untuk mendorong kualitas penyiaran dari waktu ke waktu menjadi lebih baik,” katanya. 

Menurut Hardly, ada beberapa cara untuk mewujudkannya yang pertama dengan selalu memilih program siaran yang baik dan berkualitas. Artinya, tayangan tersebut bermanfaat bagi masyarakat. Kedua, sebarkan atau umumkan siaran baik dan berkualitas itu kepada masyarakat. 

“Jadi yang kita viralkan itu siaran yang baik-baik. Kenapa kita perlu viralkan, agar semakin banyak orang yang tahu tentang program siaran baik. Jika orang makin banyak tahu, maka mereka akan menonton. Kalau makin banyak, maka industri juga akan bergerak memproduksi yang baik itu tadi,” ujar Hardly. 

Berdasarkan hasil indeks kualitas program siaran TV yang dilakukan KPI bersama 12 Perguruan Tinggi di 12 Kota, dari 8 kategori program acara enam, 6 kategori dinilai berkualitas. Hanya tersisa 2 kategori program yang masih di bawah indeks berkualitas yakni Infotainmen dan Sinetron. 

Ketua KPID Bali, I Gede Agus Astapa, mengatakan mencerdaskan masyarakat merupakan tugas bersama termasuk dalam hal memanfaatkan media terutam di era digital sekarang. “Mudah-mudahan dengan kegiatan ini masyarakat Bali khususnya, dapat semakin cerdas dalam memanfaatkan media. Apalagi pada 20 Maret nanti akan dilakukan analog switch off,” katanya.

Dia menyatakan masyarakat Bali terbilang sudah cerdas dalam memilih konten. Namun kecerdasan tersebut harus terus diasah yang salah satunya melalui literasi. 

Dalam kegiatan diskusi GLSP, hadir narasumber antara lain I Made Sunarsa, Tulus Santoso dan Ni Made Ras Amanda Gelgel. Moderator acara diskusi dipimpin Nyoman Adi Sukerno. Turut hadir Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah. ***

 

 

Medan – Kekhawatiran penyelenggara Pemilu dan pengawas media termasuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada Pemilu 2024 mendatang adalah maraknya peredaran berita-berita hoaks terutama di media sosial dan internet. Guna mempersempit peredaran sekaligus dampak negatif dari pemberitaan hoaks, selain pengawasan diperlukan penguatan program literasi berkelanjutan untuk masyarakat .

Dalam acara Gerakan Cerdas Memilih dengan tema “Menangkal Hoaks di Tahun Politik” yang berlangsung di Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI) Medan, pekan lalu, mengemuka pentingnya literasi bagi publik ini. Apalagi, tidak semua media seperti media sosial dan streaming masuk dalam pengawasan dan dipayungi regulasi yang jelas.

Seperti yang disampaikan Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, bahwa fungsi utama literasi adalah untuk menanamkan sikap kritis terhadap media. Sikap ini akan menghidupkan alarm sensor pribadi atau self of sensorship dalam diri setiap orang yang terpapar literasi. 

“Jadi yang paling penting di sini untuk media sosial adalah usernya, teman-teman pengguna yang bisa melakukan self of sensorship. Jadi mensensor dirinya sendiri. Apa yang harus dibaca. Tentunuya membaca yang bermutu. Pasalnya, rata-rata pengguna internet menghabis 8 jam sehari dan anak muda lebih banyak lagi hingga 10 jam sehari. Jadi pilah pilihlah yang baik,” kata Meutya. 

Selain itu, lanjut Meutya, cara bijak lainnya saat mengkonsumsi berita media sosial adalah memastikan kebenaran berita dengan memverifikasinya di media mainstream seperti RRI dan TV. Informasi dari media ini dipastikan jelas dan dapat dipertanggungjawabkan juga diawasi oleh KPI. 

“Di tahun Pemilu, tensi akan naik. Nah, ini harus dilihat mana yang benar dan tidak. Jangan ikut-ikutan men-share. Kita harus bertangggungjawab, cros cek dulu ke media mainstream supaya hoaks jelang Pemilu bisa kita lawan bersama,” pintanya. 

Pentingnya literasi juga disampaikan Anggota KPU Provinsi Sumatera Utara, Herdensi. Menurutnya, permasalahan yang ditimbulkan akibat maraknya berita hoaks membuat jurang ideologis yang tak kunjung tersambung. Hal ini berkaca dari kasus Pemilu sebelumnya yang pada akhirnya tidak menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat. 

“Pemilunya sudah selesai, tapi masyarakatnya belum selesai karena hoaks. Masih berbeda, belum satu padu lagi,” katanya. 

Pada Pemilu tahun depan, KPU akan melakukan literasi kepada pemilih yang salah satu tujuannya membangkitkan kesadaran untuk jeli dan pandai menyikapi dari setiap informasi yang diterima. “Salah satunya upaya literasi ini agar mereka paham mana yang hoaks dan bagaimanan cara mengatasinya,” tuturnya. 

Di lain pihak, Anggota KPI Pusat, Mohamad Reza mengatakan, pihaknya (KPI) tidak memiliki wewenang untuk mengawasi media di luar media penyiaran seperti media sosial dan streaming internet. Karena belum diawasi, langkah yang paling tepat untuk mengurangi dampak informasinya adalah dengan memberi literasi kepada masyarakat.  

“Kami baru mengurusi konten atau program  yang ada di TV dan radio,” jelasnya dalam acara tersebut.

Terkait pengawasan TV, Reza menjelaskan pihaknya telah melakukan riset terhadap penonton TV. Bahkan, riset yang telah berjalan di Jawa Barat (Tasikmalaya, Cirebon dan Bandung) dan Gorotalo ini, memetakan kebiasan masyarakat dalam menonton TV.

“Dari riset itu, kami bertanya selain menggunakan media TV dan radio, media apalagi yang masyarakat gunakan. Ternyata kami menemukan banyak masyarakat yang menonton TV sambil menggunakan gadget. Angkanya mencapai angka 82%,” kata Reza. 

Namun begitu, Reza memastikan hasil riset KPI menintikberatkan pada perbaikan kualitas pada dua kategori program siaran yakni infotainment dan sinetron. Artinya, secara kualitas program di luar itu dinilai baik dan aman dikonsumsi. “Memang ada PR yang harus KPI laksanakan di periode beikutnya adalah soal infotainmen dan sinteron,” tutupnya. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.