Denpasar – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat kembali menggelar Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dengan merangkul sejumah praktisi, media lokal, hingga akademisi di wilayah Bali. Kegiatan yang menerapkan protokol kesehatan ini berlangsung selama dua hari, Sabtu hingga Minggu (5-6 Februari 2022) di Denpasar, Bali. 

Sekolah P3SPS ini diharapkan membentuk rasa tanggung jawab khususnya di kalangan industri penyiaran dengan selalu menghadirkan konten berkualitas bagi masyarakat dengan memperhatikan kandungan P3SPS dan Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 ketika memproduksi karya terbaiknya.

Wakil Ketua KPI Pusat yang juga Kepala Sekolah P3SPS, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan penguatan kaidah P3SPS seperti ini sangat penting dilakukan agar dunia kreatif di tanah air semakin terarah dan bernilai baik. Selain itu, TV dan radio masih menjadi prioritas pilihan masyarakat mendapatkan informasi dan hiburan. Karenanya, sebagai media yang keabsahan informasinya dapat dipertanggungjawabkan, TV dan radio wajib memperhatikan instrumen dalam berkreasi yakni P3SPS.

“Memahami beberapa unsur P3SPS sama sekali tidak membatasi ruang gerak ekspresi industri,” kata Mulyo saat menjadi pemateri sekolah P3SPS, Sabtu (5/2/2022) lalu.

Lebih dalam disampaikannya, kalangan industri penyiaran harus memiliki kesadaran dan memperhatikan latar belakang informasi yang akan ditayangkan terutama dari sisi kebermanfaatan. Dalam P3 KPI Pasal 11 ayat (1) dijelaskan bahwa Lembaga Penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. 

“Faedah konten siaran  yang akan dipublikasikan menuntut mengedepankan kualitas. P3 dan SPS KPI bukan untuk membatasi konsep kreatif, perlu dipahami juga bahwa dalam merancang konsep sebuah program tentu memperhatikan dari sebuah kebermanfaatan,” katanya.

Pemateri lainnya, Komisioner KPI Pusat, Mohammad Reza, mengatakan dirinya merasa prihatin dengan berbagai kualitas tayangan infotainmen. Dalam kenyataannya, sering kali ditemukan contoh tayangan infotainmen yang abai dari unsur edukasi dan hanya mengedepankan asumsi. “Infotainmen ini selalu mendapatkan jam tayang di primetime, perlu dipahami juga oleh kita semua untuk dapat membedakan mana karya jurnalistik dan mana berita,” tuturnya.

Reza melihat kenyataan yang sering ditemui di lembaga penyiaran adalah mengejar eksistensi melalui sebuah rating. Dia juga mengingatkan setiap peserta Sekolah P3SPS untuk dapat memperhatikan kualitas siaran ketimbang rating yang belum diketahui apa instrumen di dalam sebuah penempatan rating itu sendiri. “Tidak selau rating menjadi tujuan utama, tapi ingat nilai dari sebuah tayanganlah yang harus diperhitungkan,” katanya.

Di tempat yang sama, Senior Editor VOA Indonesia, Eva Mazrieva mengatakan, sisi jurnalisme dan ekosistem penyiaran yang sehat harus dijaga. Terkait ini, dia mengapresiasi terselenggraranya Sekolah P3SPS yang menurutnya menawarkan pengalaman lain dalam melihat regulasi penyiaran. 

Dalam prespektif jurnalisme, Eva meminta tim yang terlibat langsung dalam sisi produksi siaran untuk sensitif dengan kaidah yang terkadung dalam kode etik jurnalistik (KEJ). Dia juga meminta kepada peserta sekolah ini untuk bisa menambah wawasan hingga skala global. 

Dia mencontohkan kebanyakan praktik media sekarang hanya merancang dan mengemas isu dalam lingkup nasional ketimbang global. Hal ini berdampak pada minimnya isu nasional di level internasional. “Sebuah gaya berita yang mencakup pandangan global dan memberitakan tentang isu yang melampaui batas nasional seperti perubahan iklim, terorisme hingga pemberitaan terkait covid-19,” kata Eva.

Sementara itu, pada Minggu (6/2/2022), pemateri akan diisi Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, Ketua KPID Provinsi Bali, I Gede Agus Astapa dan Dosen Universitas Warmadewa Denpasar, Nengah Muliartha. Di sesi akhir kegiatan, para peserta Sekolah P3SPS akan menjalani serangkaian prosesi ujian untuk memperoleh kelulusan dalam sekolah kali ini. Maman/Editor: RG dan MR

 

Tarakan -- Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang menjadi program prioritas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ditujukan melecut penyadaran masyarakat Indonesia untuk kritis dan cerdas memilih tayangan atau siaran media yang baik, tepat dan bermanfaat. 

Gerakan literasi yang sudah dicanangkan KPI sejak 2020 lalu ini juga difokuskan mencetak agen-agen literasi di berbagai elemen yang ada di kalangan pendidikan atau akademis hingga kelompok masyarakat. Mereka nantinya menjadi kepanjangan tangan KPI sebagai penyampai pesan-pesan literasi kepada masyarakat. Kapasitas literasi itu harus dimiliki oleh siapapun tanpa terkecuali.

Pencetus GLPS sekaligus Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menyatakan niat kegiatan ini adalah membentuk masyarakat Indonesia yang cerdas. Cerdas di sini artinya masyarakat memiliki kemampuan menilai, memfilter, dan bisa menanggapi dalam koridor yang positif setiap siaran atau tayangan yang mereka terima atau nikmati. Selain juga ikut berpartisipasi membentuk siaran yang berkualitas. 

“Bukan berarti pencerdasan ini mengajak masyarakat untuk tidak nonton TV atau matikan TV jika ada tayangan yang tidak sesuai atau buruk. Tapi bagaimana kita mengarahkan mereka untuk dapat mengalihkannya dengan memilih dan menikmati siaran atau tayangan yang baik, manfaat dan pantas. Artinya, hal ini juga akan memberi efek yang positif terhadap perkembangan TV atau radio tersebut. Bagaimanapun, KPI bertanggungjawab terhadap perkembangan lembaga penyiaran di tanah air,” kata Nuning di sela-sela kegiatan GLSP di Universitas Borneo Tarakan, Kota Tarakan, Kalimantan Utara, Kamis (3/2/2022).

Menurutnya, permasalahan tayangan itu ada pada kebutuhan pasar atau apa yang menjadi konsumsi masyarakat dan pengiklan. Publik gemarnya siaran atau tayangan seperti apa dan disitulah iklan ikut membuntuti. 

Karenanya, lanjut Nuning, nilai-nilai positif ini harus terus dikedepankan dan didorong lewat gerakan literasi semacam ini. Supaya setiap orang bisa menyampaikan atau bicara apa yang baik dari siaran atau tayangan yang mereka terima. 

“Sampaikan kembali apa yang baik-baik itu. Posting atau viralkan hal-hal baik tersebut dan yang baik lainnya. Jangan sungkan memberi apresiasi pada program yang baik. Dengan begitu, kita sudah membentuk budaya masyarakat yang baik pula dan tentunya membuat penasaran orang lain untuk melihat,” ajaknya kepada peserta literasi yang sebagian besar mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Borneo Tarakan.  

Nuning juga menyinggung peran orangtua dalam membimbing anak-anak pada saat menonton TV. Menurutnya, setiap program acara TV telah terklasifikasi jenis penontonnya seperti D untuk Dewasa, R untuk remaja, SU untuk semua usia, hingga klasifikasi A bagi anak. Jadi, ketika ada tayangan berklasifikasi D kemudian anak didiamkan menonton, hal ini tentu ada yang salah pada pengawasnya.

“Karena itu, kami mengajak adek-adek semua untuk mengindentifikasi hal ini. D itu untuk siaran dewasa dan tayang pada jam 10 atau pukul 22.00 malam ke atas. Tidak boleh ditonton anak di bawah umur. Tidak boleh ada toleransi apapun soal ini. Ini adalah petunjuk yang harus diikuti,” tegas wanita yang aktif membela kepentingan anak dan perempuan dalam siaran ini. 

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Dekan Fakultas Hukum UBT, Nurasikin, menyampaikan kebutuhan informasi merupakan hak setiap warga negara. Namun dia menggarisbawahi informasi yang disampaikan dan menjadi kebutuhan masyarakat adalah yang memiliki nilai manfaat dan mendidik. “Tayangan itu harus memiliki nilai-nilai yang memberi edukasi bagi penontonnya,” katanya di acara literasi tersebut.

Sementara itu, sejumlah mahasiswa yang hadir meminta kepada lembaga penyiaran lebih banyak membuat tayangan yang berbobot dan berkualitas dari segi isi. Mereka mengeluhkan masih adanya TV yang menayangkan atau mengundang seleb-seleb yang viral di media sosial karena hal yang tidak memiliki nilai pendidikan. “Kembalikan fungsi TV yang sebenarnya. Jangan gelap mata karena rating,” tutup Yuni yang disambut tepuk tangan peserta lain. ***/Editor: MR/Foto: AR

 

 

Tarakan  - Gubernur Kalimantan Utara Zainal Arifin Paliwang meminta pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) segera direalisasikan. Salah satunya dengan membentuk panitia seleksi yang terdiri atas perwakilan masyarakat untuk memilih orang-orang yang akan menjalankan tugas menjadi regulator penyiaran di daerah. Bahkan Gubernur berharap, lebih cepat terealisasi pembentukan KPID tersebut, lebih baik. Hal ini disampaikan Zainal saat meresmikan pembukaan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) KPI tahun 2022 di Universitas Borneo Tarakan (UBT), (3/2). 

Kondisi penyiaran di Kalimantan Utara sendiri, menurut Zainal, dipenuhi dengan siaran asing, sehingga banyak masyarakat di wilayah perbatasan yang dengan mudah menangkap siaran dari negara tetangga. Dia bersyukur TVRI sebagai lembaga penyiaran publik, sudah hadir di provinsi paling muda ini. TVRI mulai besiaran tepat pada saat ulang tahun provinsi ini ke-9, pada 25 Oktober 2021 yang lalu. Selanjutnya TVRI pun akan membangun stasiun di kabupaten Bulungan. Harapannya, dengan kehadiran TVRI dan juga televisi lokal lainnya di Kaltara, konsumsi masyarakat terhadap siaran televisi asing dapat dikurangi. 

Dalam kesempatan tersebut Zainal mengapresiasi KPI Pusat yang telah menggelar GLSP di Tarakan. “Literasi menjadi bentuk penguatan terhadap hak publik untuk ikut mengawasi dan meningkatkan kualitas konten-konten siaran  di televisi dan radio,” ujarnya.  

Zainal juga mengakui, dengan derasnya arus informasi melalui media seperti sekarang, masyarakat dibuat kebingungan dalam memilih, menyeleksi serta memanfaatkan informasi yang didapat.  Melalui literasi ini, ujar Zainal, masyarakat mendapat bekal dalam menggunakan dan memanfaatkan media untuk kepentingannya. 

Zainah juga berharap peserta yang merupakan mahasiswa di UBT ini dapat menjadi agen literasi media yang ikut mendidik dan mengedukasi masyarakat agar kritis menanggapi pesan media. “Saya berharap kita dapat menciptakan masyarakat atau khalayak media yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang kritis, sehingga tak mudah terperdaya oleh muatan informasi di televisi dan radio,” ujarnya. 

Sementara itu Ketua Komisi I DPRD Kaltara, Fenry Alpius mendukung keinginan Gubernur terkait pembentukan KPID. Fenry menjanjikan segera mengomunikasikan hal ini dengan legislator di DPRD Kaltara.  Dia berharap dengan hadirnya KPID, kepentingan masyarakat Kaltara dapat terepresentasikan dengan baik. Termasuk menjaga konten-konten siaran di televisi dan radio agar selaras dengan norma dan budaya yang berlaku di masyarakat sehingga keharmonisan dapat tetap terjaga. Termasuk juga harapan Fenry adalah wilayah yang masih terisolir dari siaran atau blank spot, dapat terlayani dan hak masyarakat atas informasi terpenuhi. “Yang penting KPID terbentuk segera, sehingga televisi lokal juga dapat tumbuh dan televisi yang sudah ada dapat lebih berkembang,” pungkasnya. Foto: AR

 

 

Tarakan – Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2022 secara resmi dimulai di kota Tarakan, Kalimantan Utara, (3/2). Dipilihnya kota Tarakan sebagai lokasi GLSP karena posisi kota ini yang berada di provinsi perbatasan antarnegara sekaligus menjadi beranda negeri. Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Nuning Rodiyah mengatakan, KPI berkepentingan untuk menguatkan wilayah di perbatasan Indonesia dengan konten-konten siaran yang sesuai dengan budaya bangsa. “Kalau masyarakat di wilayah ini mendapat informasi yang cukup tentang ke-Indonesiaan, tujuan berbangsa kita akan terjaga dengan baik,” ujarnya. 

Nuning juga menyampaikan agenda digitalisasi penyiaran yang dimulai pada 30 April 2022 mendatang serta konsekuensi yang dihadapi masyarakat saat siaran analog dihentikan pada 2 November 2022. Harapannya, ujar Nuning, dalam realisasi penyiaran digital ke depan, hak atas informasi bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diperoleh dengan benar.  “Jangan sampai, saat penyiaran analog berhenti, masyarakat kemudian mengeluh karena tidak lagi dapat menonton sinetron kesayangannya atau pun siaran berita favoritnya,” ujar Nuning. 

Dalam konteks ini, Nuning menyinggung pentingnya keberadaan KPID di Kalimantan Utara. Sebagai provinsi paling bungsu di Indonesia, sekaligus provinsi yang bersebelahan dengan negara tetangga, keberadaan KPID tentu sangat diperlukan untuk menjaga penyiaran berjalan dengan baik. Termasuk untuk penyelenggaraan penyiaran digital, tambah Nuning. Sebagai wakil publik, KPID menjadi tempat masyarakat menyampaikan aspirasi dan juga keluhannya pada masa transisi sistem penyiaran ini. 

GLSP yang digelar dengan tema “Cerdas Bermedia Menuju Siaran Berkualitas”, diselenggarakan di Universitas Borneo Tarakan (UBT). GLSP diawali dengan penandatanganan nota kesepahaman antara KPI Pusat dengan UBT tentang peningkatan kerja sama dalam mewujudkan penyiaran yang sehat di Indonesia. Hadir dalam acara tersebut Rektor UBT, Prof Dr Adri Patton, Dekan Fakultas Hukum UBT, Dr Yahya Ahmad Zein, serta Ketua Komisi I DPRD Kalimantan Utara yang juga menjadi narasumber GLSP, Fenry Alpius. 

Kepada mahasiswa UBT yang menjadi peserta GLSP, Fenry mengharapkan kelembagaan KPI dapat diperkuat dan dikokohkan. Sebagaimana dalam undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang meletakkan KPI sebagai lembaga independen yang menjadi representasi publik di bidang penyiaran.  Selain itu, dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat ini, KPI harus memastikan penyiaran memberikan kemanfaatan yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat.  

Fenry menyambut baik keinginan Gubernur Kalimantan Utara saat pembukaan GLSP, untuk segera membentuk KPID di Kalimantan Utara. Dia menjelaskan, ada banyak kepentingan masyarakat di Kalimantan Utara terkait penyiaran yang dapat terlayani dengan baik jika KPID sudah terbentuk di provinsi ini. Termasuk dengan hadirnya televisi-televisi lokal di Kaltara yang juga akan memberi kontribusi besar bagi perekonomian lokal. Foto: AR

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyelesaikan evaluasi tahunan terhadap 14 (empat belas) Lembaga Penyiaran Swasta Televisi Berjaringan (LPS TV Berjaringan) selama empat hari, mulai Kamis (27/1/2022) hingga Rabu (2/2/2022) lalu. Evaluasi tahunan ini diharapkan jadi rapor kinerja sekaligus masukan TV untuk memperbaiki kualitas tayangan.

Ke-14 Stasiun TV yang dievaluasi yakni PT. Cakrawala Andalas Televisi (ANTV),  PT. Cipta Megaswara Televisi (Kompas TV), PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (MNCTV), PT. Visi Citra Mulia (iNewsTV), PT. Duta Visual Tivi Tujuh (Trans7), PT. Global Informasi Bermutu (GTV), PT. Indosiar Visual Mandiri (Indosiar), PT. Lativi Media Karya (tvOne), PT. Media Televisi Indonesia (MetroTV), PT. Metropolitan Televisi (RTV), PT. Net Mediatama Televisi (NET.), PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), PT. Surya Citra Televisi (SCTV), dan PT. Televisi Transformasi Indonesia (TransTV).

Seperti evaluasi tahun sebelumnya, objek penilaian meliputi jumlah sanksi, penghargaan, serta pelaksanaan program siaran lokal sistem stasiun jaringan (SSJ). Untuk pelaksanaan SSJ, KPI mendapatkannya dari aplikasi SSJ. Aplikasi ini mencatat dan menghitung durasi seluruh siaran lokal pada anak jaringan LPS TV Berjaringan di seluruh wilayah Indonesia. KPI juga menerima laporan hasil pengawasan KPID yang ada di setiap provinsi. 

“Maksud dari forum evaluasi tahunan ini adalah untuk meningkatkan kualitas siaran. Kami berharap kegiatan ini memajukan bobot siaran di masa mendatang. Hasil evaluasi ini juga akan diberikan kepada Komisi I DPR RI hingga masyarakat sipil,” kata Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, ketika membuka kegiatan Evaluasi Tahunan LPS Berjaringan di Ruang Rapat Utama Kantor KPI Pusat, Jakarta, Kamis (27/1/2022) lalu.

Evaluasi yang berlangsung secara daring dan luring, secara terinci KPI menyampaikan rekap jumlah sanksi masing-masing TV, jumlah apresiasi yang diperoleh dari berbagai anugerah yang diadakan KPI dan penghargaan lain, serta implementasi SSJ setiap TV menyangkut realisasi alokasi 10% konten siaran lokal di setiap TV anak jaringan di daerah. 

Berdasarkan data KPI, jumlah sanksi yang dikeluarkan selama 2021 mencapai 57 sanksi administrasi yang terdiri atas sanksi teguran pertama (52 sanksi) dan sanksi teguran kedua (5 sanksi). Kabar baiknya, tidak ada sanksi penghentian program yang dikeluarkan KPI pada tahun ini. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, jumlah sanksi kali ini cenderung menurun.

Menurut Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, rendahnya jumlah sanksi dan aduan masyarakat memberi kemungkinan bahwa lembaga penyiaran telah memahami dan menjalankan hasil evaluasi tahunan sebelumnya. “Artinya lembaga penyiaran telah peduli, memahami, dan menjalankan pedoman penyiaran sehingga jumlah pelanggaran dapat diminimalisir,” katanya dalam satu kesempatan.

Tak lantas menurunnya jumlah sanksi dan aduan ini dianggap memuaskan. Penyegaran dan pendalaman pedoman penyiaran di lembaga penyiaran harus berkelanjutan. Pengertian aturan klasifikasi program acara dan penempatan jam tayang yang tepat dinilai masih lemah. Kemudian, pemahaman pedoman tentang perlindungan anak dan remaja mesti dipertajam dan jadi acuan. 

Masih soal yang sama, evaluasi tahunan KPI menyoroti tayangan program acara berita terutama di TV bergenre berita yang kedapatan tidak melakukan penyamaran (bluring) wajah atau identitas anak sebagai korban atau pelaku kejahatan. Padahal, perlindungan identitas ini sudah diatur dalam Pasal 43 poin f dan g Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2002. 

“Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya. Menyamarkan gambar wajah, identitas pelaku, korban, dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya adalah anak dibawah umur,” bunyi pasal tersebut.

Perihal konten lokal, KPI memberi catatan tebal untuk seluruh TV mengenai kuantitas konten, kualitas, waktu penayangan siaran tersebut, bahasa, produksi hingga kategorinya serta penayangan kembali secara berulang-ulang. Berdasarkan pantauan KPID dan data aplikasi SSJ KPI, program lokal yang ditayangkan sering diputar berulang-ulang alias minim produksi. Pengulangan ini sering dikeluhkan masyarakat dan dianggap tidak serius membuat program lokal yang baru. Padahal, antusiame masyarakat lokal pada  program daerahnya sangat tinggi.

Tidak hanya itu, KPI masih menemukan banyak siaran lokal tersebut yang disiarkan pada waktu atau jam yang tidak produktif (06.00 - 22.00). Mengambil istilah pamornya, disiarkan pada jam-jam hantu atau di atas pukul 12 malam. Jika melihat angka, pemenuhan kuota 10% konten lokal di semua TV telah tercapai. Secara kuantitas memang terpenuhi, tapi kualitasnya masih jauh api dari panggang.

“Komposisi pelaksanaan tayangan lokal melalui SSJ memang ada yang sudah sesuai, meskipun juga terdapat LPS TV yang belum memenuhi. Ini menurut kami, TV induk harus lebih memperhatikan kualitas konten lokalnya,” ujar Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, kepada salah satu TV dalam evaluasinya. 

Hal lain yang tak kalah pentingnya dari pelaksanaan SSJ adalah ikut memberdayakan sumber daya manusia (SDM) di daerah. Berkah yang diperoleh daerah dari sistem jaringan ini harus bisa dirasakan secara rata. Masyarakat daerah jangan hanya menjadi penonton, tapi juga harus dilibatkan secara langsung, baik tenaga maupun pemikiran. 

Dalam evaluasi, KPI mengingatkan seluruh TV tentang persiapan menghadapi  ASO  (Analog Switch Off) pada akhir tahun ini (2 November 2022). Peran TV menyambut suntik mati TV analog  ini sangat krusial di antaranya menyosialisasikan kepada masyarakat. Bagaimana pun publik harus tahu agar tidak terkaget-kaget ketika siaran TV analog dimatikan. 

Sebagai catatan, parameter yang digunakan KPI dalam mengevaluasi ke 14 TV sangat mengedepankan unsur objektifitas sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Laporan evaluasi tahunan ini akan diserahkan KPI ke Komisi I DPR RI sebagai bentuk pertanggungjawaban lembaga ini kepada perwakilan publik. Semoga evaluasi tahunan TV ini tidak hanya sekedar seremoni rutin, tapi juga dapat membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi penyiaran di tanah air. ***/Foto: AR/Editor: MR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.