Jakarta -- Pengaduan masyarakat terhadap tayangan “Sinetron” yang masuk ke kotak surat pengaduan KPI Pusat terbilang tinggi. Berdasarkan data dari bagian pengaduan KPI Pusat terhitung dari 2019 hingga pertengahan 2021, total jumlah pengaduan masyarakat yang sudah terverifikasi terkait program ini mencapai 1,598 aduan. 

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo,  mengatakan ada beberapa jenis pengaduan yang sering dilaporkan publik, tapi yang paling tinggi terkait aspek kekerasan dan STLS (surat tanda lulus sensor) atau klasifikasi program acara. “Kurang lebih kalau kita lihat pengaduan terkait sinetron seperti ini persoalannya pada penempatan waktu. Ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam tema dan adegan sinetron yang tayang sebelum pukul 22.00,” katanya dalam rapat koordinasi antara KPI, LSF, Lembaga Penyiaran serta Rumah Produksi, beberapa waktu lalu.

Program acara ini menjadi perhatian utama pengawasan KPI karena menduduki peringkat kedua setelah tayangan variety show dari keseluruhan dugaan pelanggaran. “Bahkan, tayangan sinetron menduduki peringkat kedua dalam persoalan sanksi. Kedudukan sinetron dari mulai potensi pelanggarannya sampai sanksi menempati peringkat kedua,” ungkap Mulyo.

Tidak hanya itu, KPI telah berulangkali mengingatkan sejumlah TV terkait cerita sinetron berlatar mistik, horor dan supranatural (MHS). Ditegaskan, segala bentuk sinetron bertemakan MHS tidak boleh tayang sebelum pukul 22.00.  “Kami sudah memberi rambu-rambunya. Memang visual yang tidak terlalu mengerikan dan bisa diidentifikasi sosok manusianya masih dimungkinkan, itu pun dengan catatan durasi adegannya masih dalam taraf yang wajar,” tutur Mulyo.

KPI juga menemukan sejumlah sinetron yang di dalamnya ada adegan percobaan pembunuhan atau mengarah perencanaan pembunuhan. Kemudian juga maraknya adegan konflik, cerita soal WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain) dan mengorbankan anak sebagai akibat dalam konflik rumah tangga tersebut. 

“Aduan dari masyarakat soal tayangan ini terkait kualitas ceritanya, cerita yang tidak logis, konflik yang muncul dan tema yang mengeksploitasi konflik keluarga. Padahal ini sangat terkait dengan perlindungan anak dan perempuan dalam isi siaran. Konflik yang intens di rumah tangga tidak patut ditonton anak-anak,” jelas Mulyo. 

Mulyo menilai peningkatan kualitas sinetron dapat dilakukan dengan memperbaiki  perencanaan konsep produksinya. Kemudian, harus mempertegas jumlah episode yang akan dibuat agar kualitas isinya tetap terjaga.

Kenapa publik banyak menyampaikan aduan pada kami, soal apapun yang disanksi KPI, netizen selalu menanggapi dengan 'urus saja sinetron yang tidak berkualitas'. Sumber utamanaya pada perencanaan konsep. Jumlah episode yang akan dibuat tidak jelas. 

“Serial yang terlalu panjang kalau digarap setiap hari orang akan jenuh. Bukan saja penonton, tetapi pemain dan crew juga akan mengalami kejenuhan.  Dengan perencanaan cerita yang baik dan diikuti dengan perencanaan produksi yang baik serta hasilnya ketika masuk ke LSF akan lebih jelas karena semua sudah disiapkan sangat baik,” papar Komisioner KPI yang juga beberapa kali terlibat dalam produksi film.  ***/Editor:MR

 

Jakarta - Surat pemberitahuan yang dikirimkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) tentang daftar lagu yang memiliki muatan lirik berpotensi melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS), merupakan tindak lanjut dari pertemuan pembinaan KPI kepada pengelola radio yang diselenggarakan pada 28 Mei 2021. Lagu-lagu tersebut beberapa di antaranya merupakan hasil aduan masyarakat dan beberapa lainnya merupakan temuan tim pemantauan KPI. Setelah melalui kajian internal, daftar tersebut disampaikan pada saat pembinaan. Karena belum dapat memberikan tanggapan pada forum tersebut, maka PRSSNI meminta daftar tersebut dikirimkan dalam rangka untuk dicermati dan disiapkan versi radio editnya. Hal ini untuk memudahkan pengelola radio memastikan lagu yang dimaksud dan menyiapkan versi radio edit jika memang ditemukan potensi pelanggaran. 

Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo menyampaikan hal tersebut dalam Konferensi Pers bersama antara KPI dan PRSSNI yang digelar secara virtual (5/7). Dalam forum tersebut, turut hadir Ketua KPI Pusat Agung Suprio, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Mimah Susanti, serta Sekretaris Jenderal PRSSNI M Rafiq.

Konsep radio edit sendiri sebenarnya bukanlah barang baru dalam industri radio. Pada prinsipnya radio edit merupakan usaha modifikasi yang dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan, baik itu dari segi durasi atau pun konten dari lirik lagu. Dengan demikian, lagu-lagu yang diputar dapat sejalan dengan regulasi penyiaran yang ada. 

Pasal 20 SPS KPI tahun 2012 menyebutkan, program siaran dilarang berisi lagu dan/ atau video klip yang menampilkan judul dan/atau lirik bermuatan seks, cabul, dan/atau mengesankan aktivitas seks. Aturan ini pula yang menjadi landasan dari beberapa KPID mengeluarkan larangan diputarnya lagu-lagu dangdut yang memiliki judul dan lirik porno, seperti yang dilakukan KPID Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan KPID lainnya beberapa tahun lalu. Di antara lagu dangdut yang dilarang adalah “Hamil Duluan”, “Pengen Dibolongi” dan “Mobil Bergoyang”. 

KPI tentunya memberi ruang pada PRSSNI dan organisasi music director untuk berdiskusi lebih jauh tentang radio edit. Masih ada kemungkinan daftar lagu tersebut berubah jumlahnya, disesuaikan dengan masukan serta kajian, baik dari KPI ataupun dari pihak internal radio sendiri. Ke depan, KPI berharap konten lagu yang mengudara di ruang siar pendengar, tidak memiliki muatan cabul dan kasar sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam P3 & SPS.  

Terkait surat pemberitahuan yang sudah beredar, PRSSNI mengambil sikap untuk melakukan radio edit pada lagu-lagu yang dimaksud. Jika tidak melakukan radio edit, maka lagu tersebut hanya bisa diputar setelah pukul 22.00. Sedangkan untuk radio-radio dengan segmen remaja, PRSSNI menyatakan harus melakukan radio edit, karena mencermati perilaku remaja saat ini yang lebih banyak memutar radio pada malam hari. PRSSNI juga mendukung upaya KPI untuk menyosialisasikan tentang radio edit ini pada seluruh radio dan untuk semua jenis lagu, agar senantiasa sesuai dengan regulasi penyiaran yang ada saat ini./Editor:MR

 

(Konferensi Pers dapat disimak ulang melalui saluran youtube KPI)

 

 

Jakarta – Program siaran “Spotakuler” yang ditayangkan stasiun tvOne diputuskan melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012 dan memperoleh surat sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama dari KPI Pusat. 

Teguran ini diberikan karena program siaran yang tayang pada 15 Juni 2021 di pukul 10.04 WIB pada saat membahas informasi tentang “Kisah Memalukan Selebritis” menampilkan visualisasi seorang pria buang air kecil di tempat umum (bandara). Hal ini dijelaskan KPI Pusat dalam surat teguran yang telah dilayangkan kepada TV One, beberapa waktu lalu.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, menegaskan visualisasi tersebut jelas menabrak aturan penyiaran berkaitan dengan norma kesopanan dan kesusilaan yang dijelaskan dalam Pasal 9 Pedoman Perilaku Penyiaran. Menurutnya, segala visualisasi ataupun tayangan harus memperhatikan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

“Kami berupaya menjaga agar hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya dan kebiasaan (norma), tidak muncul dalam layar kaca. Siaran yang tidak pantas dan kemudian tersebar lewat media penyiaran sangat mungkin berpengaruh buruk bagi masyarakat, utamanya anak dan remaja kita yang semestinya diajarkan sesuatu yang baik dan berpaedah. Meski tidak tampak bagian vital, tapi tidak adanya upaya pengaburan menunjukkan ketidakperhatiannya tayangan tersebut terhadap norma kesopanan,” jelasnya.

Berdasarkan keterangan dalam surat teguran, visualisasi tersebut melanggar 8 (delapan) Pasal di P3SPS. Salah satu pasalnya terkait kewajiban lembaga penyiaran memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran. 

“Lembaga ini (KPI) dan aturan penyiaran sangat peduli terhadap perlindungan anak dan remaja dalam isi siaran. Apalagi program siaran “Spotakuler” berklasifikasi R atau remaja yang semestinya sudah dipahami pihak lembaga penyiaran untuk lebih jeli dan berhati-hati terhadap apa yang disiarkan dan kemungkinan dampaknya. Jangan sampai hal-hal yang tidak baik dan tidak sesuai norma sosial masuk di dalamnya,” jelas Mulyo Hadi.

Dalam kesempatan itu, Mulyo meminta TV One dan seluruh lembaga penyiaran agar memahami dan jeli terhadap aturan yang ada dalam P3SPS KPI khususnya terkait pasal klasifikasi usia penonton. 

“Jika sebuah program siaran telah diklasifikasi R atau remaja harus diingat adanya larangan menampilkan muatan yang mendorong remaja belajar tentang perilaku yang tidak pantas atau membenarkan perilaku yang tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Aturan ini terdapat dalam Pasal 37 ayat 4 Standar Program Siaran KPI,” tandasnya. ***

 

Jakarta – Lembaga Sensor Film (LSF) yang berwenang melakukan sensor terhadap seluruh film, sinetron maupun iklan sebelum tayang di televisi berdasarkan UU Perfilman No.33 tahun 2009, ternyata menerima banyak materi tayangan sinetron dari rumah produksi. Materi cerita yang paling banyak diterima terkait tema keluarga.

Hal ini disampaikan Anggota LSF pada saat rapat koordinas antara KPI, LSF, Lembaga Penyiaran dan Rumah Produksi yang berlangsung pekan lalu. 

Anggota LSF, Nasrullah mengungkapkan, materi sensor yang banyak diterima pihaknya adalah sinetron bertemakan keluarga dan akan disiarkan stasiun TV. “Di LSF ini gelombang materi sensor yang tayang di TV bertema keluarga cukup banyak. Ada yang disiarkan oleh lembaga penyiaran dan ada yang didaftarkan oleh PH. Kebanyakan yang kita terima untuk TV. Setelah mengamati untuk TV sinetron bertemakan keluarga cukup banyak. Kalau disebut satu-persatu cukup banyak. Semuanya dilayani dan disensor,” jelas Nasrullah. 

LSF kemudian menyikapi sinetron bertema rumah tangga dengan konfirmasi afirmatif dengan pembuat dan biasanya melalui dialog. “Ketika dikonfirmasi bahwa alasan PH rata-rata mereka sering melakukan permohonan penurunan penggolongan usia ke 13 dari 17 karena mereka tidak suka stigma 17 pada produk mereka. Kalau ada hasil sensor LSF 17 mereka meminta  untuk dialog,” ungkap Nasrullah.

Meskipun begitu, Nasrullah memastikan pihaknya tetap konsisten mengkategorikan semua tema sinetron berlatar rumah tangga dengan klasifikasi 17. “Dalam menyensor, hasil sensor ada penggolongan usia yang biasa kami temukan bertema keluarga pasti LSF secara konsisten menggolongkan usia 17 tahun ke atas,” tegasnya.

Sementara itu, Anggota LSF, Ahmad Yani, menyampaikan masih ditemukannya beberapa hal yang tidak konsisten dari hasil penyensoran. Memang secara sifat masih dapat dipahami tapi sedikit merepotkan misalnya dalam perubahan judul sinetron.

Antara aturan dan rating

Dalam pandangan industri penyiaran, kualitas sinetron dinilai sudah lebih baik dari sebelumnya. Seperti yang disampaikan perwakilan SCTV, Banardi Rachmat, bahwa perubahan ini dikarenakan adanya dua lembaga yakni KPI dan LSF. 

“Sebenarnya kalau melihat sinetron dari dulu dan sekarang menjadi sangat baik karena adanya dua lembaga ini, KPI dan LSF. Saya sangat apresiasi pada LSF yang proporsional melihat konten. Kalau boleh disampaikan ada di sosial media 17+ atau 13+, LSF bisa menjawab sangat baik. KPI juga melakukan pembinaan tidak hanya pada hukuman atau dialog. Itu wujud dari LSF dan KPI membuat tayangan ini menjadi lebih bagus,” ujarnya.

Secara internal, perbaikan juga dilakukan lembaga penyiaran dengan membenahi sistem penyensoran mandirinya. Bahkan, ketika mereka mendapatkan surat sanksi hal itu akan membuat mereka khawatir dan berupaya meningkatkan konten sesuai aturan. “Kalau sudah ada surat kami deg-degan, kami akan tingkatkan konten sesuai aturan,” kata Banar.

Sementara itu, Suharto dari ANTV menilai ada permasalahan soal aturan yang terdapat dalam P3SPS yakni Pasal 50 yang berbenturan dengan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) yang dikeluarkan LSF. Menurutnya, aturan penyiaran tersebut membuat lembaga seperti LSF jadi tak diakui izinnya. “Saya prihatin suatu lembaga negara tidak diakusi izinnya. Saya pikir untuk saling hormati saja,” ujar Harto.

Adapun Ekin Gabriel dari Indosiar mengatakan pihaknya memproduksi sebuah sinetron berdasarkan perilaku di masyarakat. Karenanya, tambah dia, konten soal PIL dan WIL bukan pembenaran dari pihaknya. 

Menurut Ekin, setiap TV memiliki brand dan target pemirsa yang beda. Karenanya, tidak bisa ada pemaksaan tema di dalamnya. “Dalam penayangan kami punya acuan P3SPS dan LSF yang mengikuti UU Perfilman. LSF pra melihat sebuah film sebagai sesuatu yang utuh, KPI pascanya,” tuturnya. 

Wakil dari rumah produksi Sinemart, Dani Sapawi, menyatakan pihaknya berusaha untuk ikut aturan yang ada, baik KPI maupun LSF. Karenanya, aturan penayangan itu ada di dua lembaga tersebut. 

Dalam kesempatan itu, Dani menyoroti pengaruh rating terhadap tayangan sinetron di tanah air. Rating ini membuat rumah-rumah produksi harus mau tidak mau menyesuaikan. “Ketika rating turun tanggung jawab kami karya sendiri harus utuh, ending harus jelas, tidak bisa putus begitu saja,” tandasnya. ***/Editor:MR

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mengupayakan peningkatan kualitas tayangan sinetron (sinema elektornik) di layar kaca. Berbagai cara telah dilakukan agar mutu sinetron terutama yang dibuat anak negeri makin membaik, mulai dari pembinaan secara intensif hingga penjatuhan sanksi. Sayangnya, hingga saat ini, sebagian besar kualitas isi sinetron kita tetap sama alias belum beranjak ke level yang diharapkan.

Langkah lain juga dilakukan KPI guna mengerek kualitas tayangan sinetron yakni bersinergi dengan Lembaga Sensor Film (LSF). Upaya ini dinilai sangat tepat karena LSF memiliki kewenangan atas penyensoran dan pelebelan klasifikasi usia penonton dalam setiap judul dan episode sinetron yang akan tayang di televisi.

Sinergi ini telah dilakukan kedua lembaga dan yang terakhir dalam Rapat Koordinasi (Rakor) yang diinisiasi LSF pada Kamis (1/7/2021) di Jakarta. Rakor yang berlangsung secara luring dan daring itu turut mengundang Stasiun TV dan Rumah Produksi (Production House). 

Di awal rakor itu, Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menyampaikan catatan semua keluhan publik terhadap tayangan sinetron di TV. Kebanyakan meminta kualitas konten tayangan ini ditingkatkan. “Setiap topik apapun dalam media sosial KPI, sinetron dijadikan bahan agar KPI memperbaiki kualitas sinetron. Itu kesimpulannya, sinetron menjadi rujukan netizen untuk diperbaiki,” katanya.

Agung kemudian menyinggung bagaimana Korea Selatan mampu berjaya lewat produksi film dan drama Korea-nya yang mestinya jadi contoh industri penyiaran di tanah air. Menurutnya, sinetron Indonesia dengan drama Korea tak jauh beda karena topik yang diangkat soal romantisme. 

“Drama Korea menjual mimpi. Endingnya happy, gambarnya bagus, alur cerita bagus, tapi kalau dilihat secara detail kualitas sinetron kita kalah jauh dengan mereka,” ujar Agung dan perbedaan kondisi kualitas ini sering menjadi pokok bahasan di KPI.

Agung mengatakan pembatasan jumlah episode setiap judul drama yang dilakukan Korea dinilai sangat baik. Hal ini akan memberi ruang lebih luas bagi pelaku industri film membuat karya-karya yang bermutu dan tidak membosankan secara cerita. 

“Di Korea dibatasi tidak lebihi dari sekian puluh episode. Kalau di Indonesia bisa ratusan. Bahkan ada yang sampai ribuan, bayangkan saja alur ceritanya. Inilah yang menjadi perhatian kami bagaimana kualitas sinetron kita menjadi lebih baik daripada yang ada sekarang. Saya yakin kita tidak kalah dengan Korea, saya yakin kita mampu membuat sinetron yang seperti Korea,” harap Agung.

Ketua LSF, Romy Fibrianto, menimpali bahwa forum rakor yang diadakan pihaknya dan mengundang perwakilan TV serta rumah produksi merupakan upaya bersama untuk membangun kualitas sinetron karena lembaga seperti LSF bagian dari ekosistem perfilman di tanah air. Menurutnya, pertemuan bersama ini (KPI, LSF, LP dan PH) harus dilakukan secara berkesinambungan. 

“Sebagai tuan rumah, LSF menyambut baik untuk berdiskusi dan bertukar pikiran demi gagasan demi kemajuan industri perfilman dan penyiaran Indonesia,” katanya.

Sementara itu, Koordinator bidang Isi Siaran sekaligus Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, berharap seluruh lembaga penyiaran dan juga rumah produksi mau bersinergi mewujudkan tayangan sinetron dalam negeri yang berkualitas. Menurutnya, tayangan sinetron di televisi harus mampu memberikan nilai dan manfaat yang baik bagi masyarakat. 

“Mudah-mudahan kebersamaan ini bisa membawa perubahan dan fungsi media supaya bisa terwujud, jadi tidak hanya memberikan informasi juga tidak hanya menghibur, tapi juga harus menjadi perekat dan kontrol social. Harus ada nilai dalam progman sinetron. Itu catatan saya,” tutupnya. ***/Editor:MR

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.