- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 11003
Jakarta -- Hari kedua Sekolah P3SPS, Sabtu (31/7/2021) diisi dengan pemaparan materi tentang perlindungan terhadap anak, remaja dan perempuan serta seksualitas dalam isi siaran. Materi ini diisi oleh Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti dan Nuning Rodiyah.
Dalam paparannya, Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, menjelaskan tentang kewenangan KPI dalam pengawasan penyiaran terhadap lembaga penyiaran dimulai pada saat tayangan tersebut disiarkan. Pernyataan ini sekaligus menjawab pertanyaan publik yang sering dilayangkan ke KPI, kenapa kewenangan tersebut tidak dimulai pada saat sebelum tayang.
“KPI itu bekerja pasca ditayangkan. Setelah disiarkan TV dan radio baru kita kerja. Perjalanan program siaran itu ternyataa panjang. Ini untuk pengetahuan supaya tidak ada perdebatan mengenai ini,” kata Mimah yang juga Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat.
Dia juga menjabarkan tentang siapa atau lembaga mana yang berwenang melakukan sensor terhadap konten sebelum tayangan tersebut ditayangkan. Misalnya untuk tayangan film dan sinetron. Materi program acara ini harus memperoleh STLS (Surat Tanda Lulus Sensor) dari Lembaga Sensor Film (LSF) sebelum tayang di TV.
“Setelah itu ada quality control dan ada proses editing. Jika ada gambar atau kata yang tidak pantas akan di blur atau di bib. Proses tersebut merupakan proses internalisasi di lembaga penyiaran sebelum ditayangkan. Ketika sudah ditayangkan, argo yang jalan sudah di P3SPS. Dan, di dalam peraturan kita, walau sudah ada STLS tidak serta merta menghilangkan kewajiban yang lain,” jelas Mimah Susanti.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menyampaikan pentingnya perlindungan anak dan perempuan dalam siaran. Selain itu, dia juga menekankan perihal pemberdayaan perempuan dalam semua aspek penyiaran.
“Lembaga penyiaran harus menjadi medium advokasi perlindungan bagi anak dan pemberdayaan untuk kaum perempuan selain juga tetap menegakkan fungsi edukasi kepada masyarakat,” kata Nuning.
Menurutnya, advokasi ini dapat dilakukan lewat pemberitaan yang menampilkan upaya penegakan hukum atas kasus perempuan dan anak, maupun muatan berita yang meningkatkan kepedulian masyarakat terharap perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan. Selain program berita, dia juga berharap hal ini diterapkan dalam setiap produksi program siaran, baik berupa sinetron, infotainment, variety show atau dan program siaran lainnya selalu menunjukkan prinsip yang mendukung perlindungan anak dan perempuan. “Negasi yang dilakukan jangan hanya tipis. Hal ini untuk meminimalisir penekanan terhadap perempuan,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, Nuning menayangkan cuplikan sejumlah tayangan untuk dikomentari para peserta sekolah. Para peserta sangat antusias memberikan pandangan dan pendapat mereka terhadap cuplikan tayangan tersebut. Selain itu, mereka banyak bertanya terkait berbagai hal persoalan dan isu yang viral belakang ini. ***/Editor:MR