- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 29890
Jakarta – Keragaman masyarakat di Indonesia seharusnya dapat tergambar dalam keragaman konten siaran televisi. Publik seharusnya mendapatkan banyak variasi konten siaran baik dalam variasi bentuk program atau pun variasi dan kreativitas dalam sebuah ide cerita. Namun kenyataan saat ini, justru konten siaran di televisi terjebak pada perilaku meniru, atau copy dan paste.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Bidang Kelembagaan Yuliandre Darwis menyampaikan hal tersebut saat menerima perwakilan Parlemen Remaja dari daerah pemilihan Jawa Barat di kantor KPI Pusat, di Jakarta, (1/10). Dalam memaparkan realitas konten siaran tersebut, Yuliandre juga mengungkapkan bahwa sinetron di Indonesia dikenal sebagai program drama seri paling panjang di dunia. Ini dikarenakan adanya kecenderungan para pengelola televisi untuk memperpanjang jumlah episode sinetron yang berhasil mendapat rating tinggi. “Kita punya pengalaman bagaimana sebuah judul sinetron dapat diproduksi hingga ribuan episode,” ucap Yuliandre sambil menyebut judul sinetron dimaksud.
Sementara konten-konten luar negeri yang masuk ke ruang-ruang siar kita melalui berbagai platform media, justru punya strategi yang berbeda. Drama korea misalnya, ujarnya, mampu konsisten pada jumlah episode yang tidak terlalu panjang namun memiliki nilai dan pesan yang kuat bagi publik. Kepada perwakilan Parlemen Remaja yang merupakan siswa sekolah menengah atas ini, Yuliandre menegaskan bahwa dunia penyiaran di negeri ini membutuhkan sumber daya manusia dengan skill kreatif yang tinggi agar dapat mengubah wajah layar kaca menjadi tidak saja lebih menarik, tapi juga sarat dengan pesan positif yang kuat bagi publik. Selain itu, tentu saja, orisinalitas konten siaran kita harus lebih ditingkatkan, tegasnya.
Parlemen Remaja yang dipimpin oleh Ketuanya, M Azhar Zidane, menyampaikan beberapa pertanyaan diantaranya terkait revisi undang-undang penyiaran. Di awal diskusi, Zidane menyampaikan pendapatnya tentang dinamika regulasi penyiaran dan kewenangan regulator yang ditetapkan oleh undang-undang. “Ada penilaian bahwa makin kesini kewenangan KPI sebagai regulator penyiaran makin dikerdilkan. Hal ini dikarenakan tidak adanya kewenangan untuk KPI mencabut izin penyelenggaraan penyiaran,” ujarnya.
Untuk pertanyaan ini, Yuliandre memaparkan tentang pola pembagian kewenangan antara KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam menata penyiaran. “Bagaimana pun juga Kominfo tidak dapat mencabut izin kalau tidak ada rekomendasi dari KPI,” ujarnya.
Pertanyaan lain disampaikan Joya Josephine mengenai posisi KPI dalam rencana pengaturan konten media multiplatform. Adapun pertanyaan dari Megumi Shallominova tentang kesanggupan KPI menertibkan konten-konten siaran dari luar negeri, termasuk saat dimulainya penyiaran digital ke depan. Selain pertanyaan, Padli Yasin Fadillah selaku perwakilan dari Tasikmalaya mengusulkan tentang pengaturan konten mistik, horror dan supernatural. Padli berpendapat, seharusnya muatan MHS tersebut dapat dimintakan kepada lembaga penyiaran untuk dikemas lebih kreatif. Menurutnya, banyak khazanah lokalitas daerah di Indonesia yang sarat dengan konten MHS. “Jika dikemas lebih kreatif dan edukatif atau dalam bentuk animasi, tentu memungkinkan untuk disiarkan di luar jam 22.00 sehingga dapat ditonton lebih banyak orang,” ujar Padli.
Yuliandre menjawab dengan gamblang beragam pertanyaan Parlemen Remaja ini. Termasuk menjelaskan bagaimana proses penyusunan regulasi penyiaran yang mengikutsertakan berbagai pemangku kepentingan penyiaran. “KPI tidak membuat regulasi semaunya dan asal ketok saja. Kita harus memastikan seluruh stakeholder memahami regulasi yang disusun, sehingga ikut berkomitmen pula menaati aturan tersebut,” terangnya. Dirinya juga menegaskan bahwa regulasi yang dibuat bukan untuk mempersulit industri penyiaran. Secara pribadi, dia menilai pengaturan terhadap multiplatform media harus segera dibuat. “Tentu tidak adil jika televisi free to air milik dalam negeri harus menaati aturan penyiaran yang demikian ketat, tapi konten siaran dari luar yang hadir melalui teknologi over the top (OTT) dan streaming, dapat disiarkan secara bebas tanpa aturan sama sekali,” ujarnya. Yuliandre berharap dengan adanya aturan untuk siaran dan konten pada media multiplatform dapat memunculkan ruang kompetisi yang lebih adil dalam dunia penyiaran. /Editor:MR