Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan memberi sanksi teguran tertulis kepada Program Siaran “I POP” di Net TV (NET.). Program yang diberi klasifikasi R13+ ini kedapatan menayangkan adegan yang membahayakan dan dinilai tidak memperhatikan kepentingan anak dalam aspek isi siaran. Demikian ditegaskan KPI dalam surat teguran yang telah disampaikan ke NET TV, Jumat (3/12/2021) lalu.
Adapun adegan pelanggaran itu ditemukan tim pemantauan KPI pada tayangan “I POP” tanggal 22 Oktober 2021 pukul 08.55 WIB. Bentuk pelanggaran yakni adanya tampilan rekaman video seorang anak perempuan yang berinteraksi dengan buaya dan ular.
Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan adegan yang menggunakan anak sebagai objek dalam konteks yang berbahaya (berinteraksi dengan binatang buas) sangatlah tidak tepat. Meskipun anak tersebut sudah terlatih dan terbiasa, adegan seperti ini tidak memberi kesan baik dan mendidik bagi anak-anak lain.
“Kita harus memperhatikan dan jeli terhadap dampak peniruan dari tayangan tersebut. Anak-anak itu paling gampang mencontoh dan ketika mereka diperlihatkan adegan seperti ini, dikhawatirkan mereka menganggap hal itu biasa dan bisa mereka praktikan tanpa harus ada pengamanan atau juga pelatihan serta pendampingan orang dewasa yang berpengalaman,” jelas Mulyo.
Dalam Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran Pasal 37 Ayat (4) huruf a, disebutkan bahwa program siaran klasifikasi R dilarang menampilkan muatan yang mendorong remaja belajar tentang perilaku yang tidak pantas dan atau membenarkan perilaku yang tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.
“Aturan ini harus diperhatikan oleh seluruh tim produksi, pihak ketiga (production house), dan juga lembaga penyiaran. Apakah sudah pantas tayangan tersebut untuk ditayangkan dan bagaimana kemungkinan dampaknya terhadap penonton khususnya anak-anak,” kata Mulyo.
Dalam kesempatan itu, Mulyo mengingatkan agar tayangan dengan klasifikasi R atau remaja harus berisikan hal-hal yang bernilai pendidikan dan ilmu pengetahuan, nilai-nilai sosial dan budaya, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik, dan penumbuhan rasa ingin tahu remaja tentang lingkungan sekitar. “Program siaran dengan klasifikasi R harus mengandung muatan, gaya penceritaan dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja,” tandasnya. ***/Editor: MR
Makassar - Era disrupsi yang menghadirkan keberlimpahan informasi dan hiburan seringkali tidak diimbangi dengan kemanfaatan atas informasi dan hiburan yang diakses tersebut. Media baru yang hadir melalui internet, selain memudahkan publik untuk mengakses konten media, juga memberikan kesempatan setiap orang untuk ikut membuat dan menyebarkan informasi. Meski demikian, kepercayaan publik terhadap media yang eksisting terutama televisi dan radio masih yang utama. Karenanya tak heran, kalau media penyiaran masih menjadi masih menjadi media yang dominan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Hardly Stefano Pariela, saat memberikan sambutan dalam acara Malam Penganugerahan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Sulawesi Selatan di Baruga Karaeng Pattingalloang, kompleks rumah jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, (4/12).
Dalam konteks di atas, menurut Hardly, pemberian Anugerah KPID Sulawesi Selatan memiliki nilai yang sangat penting. “Ini merupakan upaya KPID untuk mengidentifikasi dan memberi apresiasi pada konten siaran televisi dan radio yang dinilai berkualitas,” ujarnya. Proses penilaian yang dilakukan juga berlangsung secara obyektif dengan melibatkan kalangan akademisi, praktisi penyiaran dan juga tokoh masyarakat. Hardly meyakini, Anugerah KPID ini dapat menjadi panduan bagi masyarakat di Sulawesi Selatan dalam menonton dan menyimak siaran televisi dan radio.
Hardly yang hadir mewakili Ketua KPI Pusat menerangkan, tantangan masyarakat Indonesia tahun depan adalah realisasi penyiaran digital. Tepatnya pada 2 November 2022, pemerintah telah menetapkan perubahan teknologi modulasi penyiaran dari analog menjadi digital.
Implikasi dari migrasi ini, ujar Hardly, akan mendatangkan beberapa kemanfaatan. Masyarakat menerima siaran dengan kualitas gambar yang lebih baik, sara yang lebih jernih, serta ditunjang dengan beberapa fitur teknologi digital yang lebih canggih. Misalnya, EPG (Electronik Parental Guide), ujar Hardly. Yang terpenting, semua itu dapat dinikmati masyarakat secara gratis. Bisa dikatakan, pada penyiaran digital mendatang, masyarakat menerima kualitas siaran setara dengan TV berbayar, namun sekali lagi, gratis, tambahnya. Tentu saja, hal ini hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang wilayahnya sudah terjangkau siaran terrestrial, serta sudah menggunakan perangkat televisi digital atau set top box (STB) sebagai decoder.
Sebagai penutup Hardly menitipkan kepada jajaran pemerintah daerah Sulawesi Selatan untuk terus mendukung dan memberi penguatan pada kelembagaan KPID. Penyiaran digital di tahun depan, ujar Hardly, menjadi tugas KPID untuk mengurus berbagai agenda penyiaran agar kemanfaatannya dapat dinikmati masyarakat di ujung selatan pulau Sulawesi. Termasuk memastikan konten penyiaran digital selaras dengan kebutuhan dan hajat hidup masyarakat.
Bekasi - Riset indeks kualitas program siaran televisi yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat saling melengkapi dengan riset kepemirsaan yang sudah eksis lebih dahulu di industri penyiaran. Mengingat riset kepemirsaan pada prinsipnya hanya menghitung jumlah penonton dari sebuah siaran di televisi yang bahkan tidak berbanding lurus dengan kesukaan penonton terhadap siaran tersebut. “Nilai rating yang tinggi belum berarti pemirsa menyukainya,” ujar Hellen Katherina dari Nielsen Media saat menjadi pembicara Talkshow dalam Ekspos Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode dua tahun 2021, (2/12).
Karenanya, ujar Hellen, riset yang dilakukan KPI adalah melengkapi yang diukur oleh Nielsen selama ini, karena KPI menggali kualitas suatu program dengan beragam parameter yang konsisten sejak beberapa tahun lalu. Dalam talkshow yang dipandu oleh Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela, turut hadir pula sebagai pembicara Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Hery Margono dan Rektor Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Dr Erna Ernawati.
Senada dengan Hellen, Hery menyetujui bahwa antara riset kualitatif dan riset kuantitatif harus saling mendukung dan melengkapi untuk memperbaiki ekosistem penyiaran di Indonesia. Yang terjadi saat ini sekarang, menurut Hery, adalah trade off. Program siaran yang memiliki kualitas tinggi justru iklannya sedikit. Sedangkan program yang kurang berkualitas justru pengiklannya banyak. “Ini yang tidak boleh terjadi,” ujar Hery. Seharusnya keduanya saling melengkapi dan tidak terjadi trade off.
Lebih lanjut Hery menilai butuh kesadaran kolektif dari pengiklan bahwa kualitas siaran itu penting. Hal ini dikarenakan menyangkut hajat hidup orang banyak. “Kualitas siaran itu adalah identitas bangsa. Kalau kualitasnya tidak bagus, maka identitas bangsa juga tidak bagus,” ujarnya. Jadi, kalau KPI melakukan penelitian yang fokus pada kualitas, harapannya Nielsen juga ikut menjadikan hasil riset KPI ini sebagai bahan pertimbangan pada konsumen.
Di lain sisi, Rektor UPN Veteran berpendapat pentingnya literasi media sebagai upaya menstimulasi penonton untuk lebih cerdas dalam konsumsi media. Erna mengatakan, hasil riset KPI menunjukkan bahwa program siaran variety show, infotainment dan sinetron selalu berada di bawah standar. Namun realitasnya justru 60% penonton terhimpun dalam tiga program siaran ini. Karenanya Erna berpendapat harus ada komitmen dalam mengurangi iklan pada tiga program yang belum berkualitas ini.
Menyambut pendapat Rektor UPN, Hardly kemudian mengingatkan tentang perlunya sampel yang lebih besar dan lebih luas untuk riset kepemirsaan dari Nielsen Media yang selama ini menjadi rujukan lembaga penyiaran. Selama ini riset dari Nielsen diambil hanya dari sebelas kota besar di Indonesia. Padahal sebelas kota ini, belum tentu mencerminkan data kepemirsaan dari masyarakat Indonesia secara utuh.
Menanggapi hal ini Hellen menjelaskan sesungguhnya Nielsen selalu mengomunikasikan pada pengguna data, bahwa angka dari riset kepemirsaan hanya mewakili sebelas kota yang menjadi representasi dari 25% populasi masyarakat. Kemudian Hellen mengungkap rencana besar Nielsen di tahun mendatang. “Ada dua inisiatif besar Nielsen untuk mendukung terciptanya ekosistem penyiaran yang lebih baik,”ujar Hellen. Pertama, di bulan Juli 2022 memperluas data untuk seluruh total Jawa urban, hingga mewakili 70% populasi masyarakat. Selanjutnya di bulan Januari 2023 akan merilis data total Indonesia urban. “Sehingga akan dapat dilihat perbedaan antara angka dari 11 kota dengan total Indonesia urban. Dan kita akan mendapat informasi serta insight baru untuk industri penyiaran,”terangnya.
Inisiatif Nielsen lainnya, ujar Helen, adalah mengeluarkan data pengukuran untuk siaran streaming. Hal ini untuk menghapus “missing piece” yang dirasakan sangat besar ketika realitas saat ini orang menonton tidak saja dari televisi tapi juga melalui telepon genggam.
Rencana Nielsen dalam melakukan ekspansi kota sebagai sample pengukuran data merupakan terobosan yang sangat baik. Hardly menilai, penambahan kota riset dari Nielsen ini tentu akan berdampak positif pada televisi lokal yang harapannya juga ikut diukur performance-nya. Hal ini juga harus diikuti dengan adanya perluasan riset indeks kualitas program siaran televisi hingga seluruh wilayah Indonesia. “Termasuk juga melakukan riset terhadap lembaga penyiaran lokal di daerah,” ujarnya.
Dalam talkshow tersebut, KPI juga mengundang perwakilan asosasi lembaga penyiaran untuk ikut memberikan tanggapan dan masukan atas hasil riset. Hadir dalam acara ini, Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil Tobing, Ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) Santoso, Wakil Ketua Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) Deddy Risnandi, Ketua Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) Eris Munandar, serta Ketua Asosiasi Siaran Televisi Streaming Indonesia (ASTSI) Irwan Setyawan. Foto: AR
Bekasi - Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi tahun 2021 yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menunjukkan masih ada tiga program siaran yang mendapatkan nilai indeks di bawah standar berkualitas. Padahal ketiganya memiliki kemampuan menyedot hinggal 60% penonton. Untuk itu kolaborasi pentahelix dengan multistakeholder penyiaran mendesak untuk dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil riset. Hal tersebut terungkap dalam talkshow Ekspos Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode II tahun 2021 yang digelar KPI di kota Bekas, (3/12).
Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil Tobing yang hadir sebagai penanggap mengatakan riset KPI ini harus mendapat dukungan dari pemerintah untuk menjadi benchmarking lembaga penyiaran secara umum. Neil juga berharap ada pemihakan dari pemerintah untuk mendukung program berkualitas, termasuk kehadiran program-program baru yang menjadi identitas bangsa di layar kaca. “Tidak ada salahnya KPI juga mengajak kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif untuk melakukan kolaborasi yang konkrit agar riset ini menjadi bermanfaat,” ujarnya.
Lebih jauh Neil menjelaskan, lembaga penyiaran swasta (LPS) saat ini berkomitmen untuk menghalau ujaran kebencian dan hoax, yang sebenarnya marak di media-media sosial. “Kami dari ATVSI selalu melakukan verifikasi untuk setiap data dan footage dari media sosial, sebagai bentuk kehati-hatian,”ujarnya. Ini adalah bentuk usaha ATVSI dalam meredam penyebaran hoax dan juga hatespeech.
Terkait tiga program siaran yang menjadi sorotan dalam ekspos hasil riset, Neil mengatakan, sepanjang program tersebut berada dalam koridor regulasi baik itu Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI dan juga mendapat Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF), tentu tetap ditayangkan. Mengingat respon penonton yang baik dan pemasukan yang didapat dari iklan juga banyak, ujarnya. Ini juga merupakan balancing dengan program-program lain yang berkualitas namun tidak berimplikasi signifikan pada pemasukan, terangnya.
Menanggapi hal ini, perwakilan dari Nielsen Media, Hellen Katherina mengusulkan agar KPI turut mengundang APPINA (Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia) dalam menyosialisasi hasil riset. Saat ini berbagai produk yang mempunyai budget besar untuk beriklan memiliki prinsip brand safety untuk diterapkan dalam penempatan iklan di media digital. Salah satu penerapan prinsip brand safety ini, ujar Hellen, adalah memastikan iklan mereka tidak dipasang pada konten-konten kekerasan, pornografi atau child abuse. Dia mengusulkan, KPI melakukan komunikasi dengan APPINA, agar prinsip brand safety ini juga dapat berlaku di lembaga penyiaran.
Hery Margono selaku Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) menyetujui usulan kerja sama KPI dengan berbagai pihak. Menurutnya, harus ada kolaborasi pentahelix antara KPI, pengiklan, masyarakat, akademisi dan juga privat sektor dalam menciptakan ekosistem penyiaran yang baik. Bagaimana pun juga, kualitas siaran itu menjadi identitas bangsa, ujarnya. Jika kualitas siaran bagus maka identitas bangsa juga baik.
Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela yang menjadi moderator dalam talkshow tersebut mengakui, mengatur industri penyiaran tidak bisa hitam putih. Hal ini dikarenakan yang terlibat dalam dunia penyiaran bukan hanya satu atau dua pihak, melainkan ada multistakeholder di dalamnya. Hardly sepakat kerja sama dengan semua pihak yang menjadi pemangku kepentingan di dunia penyiaran harus dilakukan, termasuk dengan masyarakat. Hardly menegaskan, KPI akan mengambil langkah konkrit dalam mewujudukan komitmen kebaikan untuk industri penyiaran agar dari waktu ke waktu konsisten memproduksi konten berkualitas. Termasuk melakukan penyempurnaan riset yang diharapkan dapat memotret seluruh wilayah di Indonesia agar hasil riset ke depan dapat lebih fungsional dan implementatif. Foto: AR
Bekasi - Kualitas program siaran televisi berdasarkan riset yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada bulan Juli-Agustus 2021, terus merangkak naik. Dari delapan program siaran yang dinilai, lima diantaranya telah melampaui nilai standar yang ditetapkan KPI. Program berita, talkshow, religi, wisata budaya dan program anak, secara konsisten menunjukkan kualitas yang baik dengan capaian angka indeks di atas 3. Sedangkan tiga program lainnya yakni infotainment, sinetron dan variety show, masih di bawah standar. Hal tersebut disampaikan Andi Andrianto, Koordinator Tim Litbang KPI Pusat saat menyampaikan hasil riset indeks kualitas program siaran televisi periode II tahun 2021, (2/12).
Dari riset ini, didapati gambaran detil dari masing-masing program siaran serta penilaian dari beragam aspek penilaiaan. Andi memaparkan, untuk program berita, meski mencapai angka standar 3 yang ditetapkan KPI, nilai yang didapat pada periode ini turun dari periode berikutnya. Catatan penting untuk program berita yang didapat dari riset ini adalah masih didapati berita yang mencampurkan antara opini dan fakta.
Sedangkan untuk tiga program siaran yang mendapat angka rendah, Andi berharap ada perbaikan signifikan yang dilakukan lembaga penyiaran. “Agar program sinetron, variety show dan infotainment dapat menghilangkan aspek-aspek negatif yang dinilai masih kuat mewarnai tiga program tersebut,” ujarnya. Secara khusus Andi mengungkap, dalam riset ini ditemukan bahwa konten yang mengangkat kehidupan artis dalam suatu program reality show seperti ajang lomba menyanyi yang ditayangkan stasiun televisi meskipun memiliki kesan promosi namun dinilai jauh lebih aman dibandingkan konten-konten yang mengumbar masalah privat.
Untuk program religi, menurut Andi, capaian nilai indeksnya sudah baik. Namun catatan penting dalam riset untuk program ini, adanya harapan untuk seluruh agama di Indonesia dapat hadir di siaran televisi secara proporsional. Sedangkan untuk program wisata budaya, mendapat capaian nilai indeks paling tinggi. Hanya saja tayangan wisata budaya di stasiun televisi kita berkurang. “Dalam penilaian riset kali ini, hanya empat stasiun televisi yang masuk ke dalam sample penilaian, yakni TVRI, Metro TV, Trans 7 dan Kompas TV,” ujarnya.
KPI berharap, lembaga penyiaran dapat mempertahankan program siaran yang sudah baik dan meningkatkan kualitas dari program-program yang belum mencapai angka berkualitas. Bagaimapapun juga tayangan yang bermutu akan membuat perilaku orang menjadi baik, ujar Andi mengutip American Psychology Association. “Televisi kita menanamkan sebuah nilai dan kita ingin televisi menampilkan program siaran yang baik dan berkualitas, karena itulah nilai yang ingin kita tanamkan dalam bermasyarakat dan juga dalam kehidupan berbangsa,” tutup Andi.
Selamat siang kepada Yth. Bapak/Ibu pimpinan KPI, saya ingin menyampaikan pesan kepada Pemerintah setempat melalui situs dan aplikasi, namun pesannya tertahan di "verifikasi", jadi tidak serta merta ditanggapi atau ditanggapi dengan kata " hoax".
Langsung saya sampaikan pesannya disini.
"Ada orang main sinetron Kabayan, sinetron halusinasi dalam kepala yang sudah ada sejak zaman Fir'aun (Siti Asyiyah)". Sinetron Kabayan dilanjutkan Leli mantan mitra perampok di Akas Mila, kota Probolinggo.
Saya mohon sampaikan pesan ini kepada Yth. Bapak/Ibu Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bapak/Ibu Bupati dan Wakil Bupati melalui KPI sesuai sinetron Kabayan untuk menahan nama-nama yang sudah disebutkan diatas ke dalam lapas setempat. Semoga pesan ini
Pojok Apresiasi
Muhammad Akbar
Tolong hentikan acara pesbuker yang ditayangkan do Antv ini..saya melihat apa yang dilakukan oleh host program ini tidak pantas untik dilihat oleh masyarakat..
Dari yang dewasa maupun anak anak..
Seperti pelukan..hinaan..bahkan terkait LGBT seperti mengundang Arti lucinta luna