Jakarta - Kala itu adalah tahun 2008, publik Indonesia dihebohkan dengan berita duka meninggalnya mantan presiden Indonesia ke–2, Soeharto. Sepuluh jam kemudian, Indonesia kehilangan sosok pentingnya, ia adalah pria yang berjasa menyebarluaskan kabar kemerdekaan Indonesia ke dunia luar.

Ia tak lain adalah Mohammad Yusuf Ronodipuro, seseorang yang telah berjasa bagi Indonesia karena telah menyebarkan kabar merdekanya Indonesia tak lama setelah teks proklamasi dibacakan oleh Sukarno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.

Yusuf lahir di Salatiga pada 30 September 1919 kala negeri kita tengah dijajah pemerintah kolonial Belanda.

Memasuki masa penjajahan Jepang, Yusuf yang memiliki minat dalam bidang jurnalistik memutuskan pada tahun 1943 untuk bekerja sebagai seorang wartawan Hoso Kyoku, sebuah radio militer milik pemerintah kolonial Jepang di Jakarta.

Pada 9 Agustus 1945 Kekaisaran Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu, setelah tiga hari sebelumnya kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom milik sekutu, negeri “Matahari Terbit” itu memutuskan untuk mengaku kalah dalam perang dunia kedua.

Sayangnya berita kekalahan Jepang belum terdengar hingga khalayak umum Indonesia, sebab pada masa itu pendengar radio di Indonesia belumlah banyak.

Beruntunglah Yusuf termasuk orang Indonesia yang mengetahui kabar gembira ini, dari rekanya yang bernama Mochtar Lubis, ia kemudian menyebarkan kabar ini kepada para pejuang di markas mereka yang dikenal dengan nama Menteng 31.

Terdengarnya kabar menyerahnya Jepang kepada Sekutu, membangkitkan semangat para pejuang untuk menyegerakan kemerdekaan Indonesia, terutama mereka–mereka yang berasal dari golongan pemuda.

Momen yang ditunggu itupun tiba, pada 17 Agustus 1945, Republik Indonesia menyatakan kemerdekaanya. Dengan dibacanya teks proklamasi oleh Sukarno dan Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaanya.

Namun merdekanya Indonesia ini belum diketahui oleh dunia luar, sehingga pengakuan atas kemerdekaan Indonesia oleh bangsa lain belum didapatkan.

Yusuf kala itu belum mendengar kabar akan merdekanya Indonesia, ia dan rekan–rekan lainnya di Hoso Kyoku terjebak dari gedung kerja mereka karena tidak diperijinkan untuk keluar oleh Kempetai.

Namun tiba–tiba datanglah utusan Adam Malik bernama Syahrudin untuk menemui Yusuf, ia berhasil menembus penjagaan pihak Jepang di Hoso Kyoku, lalu diberikanlah selembar surat pendek berisi teks proklamasi ini kepada Yusuf.

Atas perintah Adam Malik, Yusuf ditugaskan untuk menyebarluaskan pernyataan merdekanya bangsa Indonesia kepada dunia luar melalui radio, namun dalam prosesnya Yusuf menghadapi kendala, pasalnya studio siaran di Hoso Kyoku tidak terhubung lagi dengan pemancarnya.

Beruntunglah ada seorang teknisi yang dapat mengutak–atik pemancarnya sehingga dapat terhubung kembali.

Setelah segalanya telah dipersiapkan, pada pukul 19.00, Yusuf mulai menyebarluaskan kabar kemerdekaan ini melalui radio.

Selain menggunakan bahasa Indonesia, Yusuf juga menggunakan bahasa Inggris agar pesan yang ia sampaikan dapat dipahami oleh dunia Internasional.

Radio–radio internasional di Inggris, Amerika, dan Singapura berhasil mendengar siaran radio Yusuf. Kabar merdekanya Indonesia pun disebarkan lagi oleh radio–radio internasional ini.

Upaya Yusuf dalam menyebarluaskan kabar ini bukanlah tanpa konsekuensi. Yusuf dan rekan–rekannya yang membantu dalam penyebarluasan kabar ini kemudian ketahuan oleh pihak Jepang dan diberikan hukuman fisik.

Yusuf merupakan salah satu yang menerima hukuman paling berat, ia disiksa habis–habisan, seorang perwira Jepang telah mengeluarkan katana miliknya untuk memenggal kepala Yusuf.

Beruntunglah datang Letkol Tomo Bachi, pimpinan Hako Kyoku kala itu, ia kemudian memerintahkan untuk membebaskan Yusuf.

Kesukaan antar Yusuf dengan Letkol Tomo Bachi dalam hal opera dan musik klasiklah yang menyelamatkan Yusuf dari akhir hidupnya.

Kesukaan yang sama ini membuat Yusuf memiliki hubungan yang baik dengan Letkol Tomo Bachi sehingga Yusuf kemudian diperbolehkan pulang walaupun ia dalam kondisi baju robek, gigi copot dan pincang.

Meski nyawanya hampir hilang, keinginan Yusuf untuk berbakti pada negaranya tak berakhir. Pada 23 Agustus 1945, bersama beberapa orang lainya, Yusuf mendirikan radio Suara Merdeka Indonesia. Melalui radio ini, kabar akan Indonesia merdeka dalam bahasa Inggris dikumandangkan ke seluruh dunia.

Melalui radio ini pula, Sukarno pada 25 Agustus 1945 mengumandangkan pidato pertamanya di radio kepada khalayak banyak.

Didirikannya Suara Merdeka Indonesia ini, menyebabkan stasiun radio kecil milik Jepang di berbagai daerah dipergunakan untuk menyebarluaskan kabar kemerdekaan Indonesia bagi masyarakat di sekitar daerah tersebut.

Lalu pada 11 September di tahun yang sama, Yusuf bersama Abdulrachman Saleh, Maladi dan Brigjen Suhardi, mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI).

RRI sendiri didirikan dengan tujuan yang berorientasi demi kepentingan masyarakat Indonesia. Slogannya yang terkenal, yaitu “Sekali di Udara, Tetap di Udara”, juga merupakan buatan Yusuf.

Penyebaran kabar kemerdekaan Indonesia melalui radio ini kemudian menuai hasil, pada 1946, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi, lalu Palestina ikut serta mengakui, negara Timur Tengah lainnya pun mengikuti, lalu India kemudian juga mengakui kemerdekaan Indonesia.

Setelah jasanya terhadap Indonesia, pada 1950, Yusuf ditugaskan menjabat sebagai Kepala Stasiun RRI. Dimasa kepemimpinan jabatannya, ia berhasil membujuk Presiden Soekarno untuk merekam beliau membacakan teks proklamasi. Hal ini menjadikan RRI sebagai satu–satunya yang memiliki rekaman deklarasi kemerdekaan yang Soekarno bacakan.

Setelah dipercaya memimpin RRI, Yusuf dipercaya menjadi Sekjen Departemen Penerangan di Departemen Luar Negeri RI. Ia ditugaskan di daerah–daerah penting seperti London dan markas besar PBB di New York.

Selama masa kepemimpinan Indonesia di bawah Soeharto, Yusuf kemudian dipercaya sebagai Duta Besar RI bagi Argentina di Buenos Aires.

Ia bersama tokoh bangsa lainya juga kemudian mendirikan lembaga non pemerintah dan otonom bernama L3PES (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan  Sosial).

Yusuf kemudian memutuskan pensiun dari pekerjaan terakhirnya sebagai Duta Besar pada 31 Mei 1976.

Ia kemudian menikmati masa tuanya hingga meninggal pada 28 Januari 2008 akibat penyakit kanker paru–paru dan stroke yang ia derita. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Pria yang begitu berjasa bagi bangsa Indonesia ini, sehari–harinya dikenal sebagai pria ramah yang suka tersenyum dan bergurau dengan orang disekitarnya. Ia meninggalkan istrinya bernama Siti Fatma Rassat, tiga anak, dan tujuh cucu.

Pada tahun 2012, ia diberikan Anugerah Lifetime Achievement oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atas jasanya bagi Indonesia terutama dalam bidang penyiaran di tanah air. Red dari Nationalgeograpic.co.id

 

 

Jakarta -- Peran lembaga atau media penyiaran dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di masa pandemi dinilai sangat vital. Selain dapat meningkatkan partisipasi pemilih, media seperti TV dan radio, bisa berfungsi sebagai media penjernih pelbagai informasi dari media baru yang kebenarannya tanpa verifikasi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat mengisi acara Seminar Nasional on line dengan tema “Pilkada di Masa Pandemi” yang diselanggarakan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, Jawa Timur, bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Kamis (13/8/2020). 

Di awal paparan, Hardly menyampaikan, kondisi pandemi Covid-19 saat ini memunculkan apatisme publik yang cukup tinggi terhadap pelaksanaan Pilkada yang dikhawatirkan menurunkan angka partisipasi pemilih. Untuk menepis hal itu, lanjutnya, perlu ada penyampaian informasi secara massif kepada masyarakat melalui instrumen media penyiaran. 

“Bahwa Pilkada di saat pandemi dilakukan dalam suasana new normal. Ada pembatasan pengumpulan orang dalam jumlah banyak. Sehingga penyampaian informasi paling efektif di saat ini adalah menggunakan media. Baik media konvensional maupun media baru atau internet,” kata Hardly. 

Dalam konteks media penyiaran, lanjut Hardly TV dan Radio harus senantiasa mengacu pada pedoman penyiaran (P3SPS). Adanya aturan dan juga pengawasan dari KPI (baik di pusat maupun daerah), memastikan media ini menyampaikan informasi yang terukur, berkualitas, dan proporsional. 

“Tentunya hal ini bisa melawan dan mengantisipasi informasi hoax, hate speech dan SARA. Dan, ini sering kali menjadi instrumen dalam sebuah proses yang disebut black campaign dan hal negatif lainnya,” katanya. 

Berkaca hal di atas, KPI berpandangan bahwa media penyiaran dapat menjadi media penjernih untuk melawan hoax, ujaran kebencian (hate speech) maupun SARA. “Dalam konteks tersebut, maka kami ingin mendorong lembaga penyiaran terutama di saat pandemi ini menjadi instrumen penyampaian sosialisasi tentang Pilkada maupun juga berbagai materi kampanye secara proporsional dan berimbang. Menjadi medium pendidikan politik yang konstruktif pada masyarakat sehingga bisa mendorong partisipasi politik. Pada gilirannya akan meningkatkan kualitas demokrasi, khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada tahun ini,” tutur Hardly.  

Selain itu, Hardly mendorong lembaga penyiaran untuk dapat menyuguhkan informasi Pilkada yang lengkap dan akurat serta diperlukan publik. Seperti informasi calon pemimpin serta apa esensi dari Pilkada meskipun dalam suasana pandemi. “Informasi-informasi seperti ini harus tersampaikan kepada publik secara massif melalui berbagai media khususnya media penyiaran agar dapat mendorong partisipasi publik dalam penyelenggaraan Pilkada,” pintanya. 

Dalam kesempatan itu, Hardly mendorong lembaga penyiaran agar diprioritaskan dalam sosialisasi maupun medium kampanye. Alasannya, lembaga penyiaran senantiasa melakukan check dan recheck informasi. 

“Ini berbeda karakteristiknya jika dibanding dengan media daring atau online. Karena di media itu, ada juga yang merupakan media pers dan tercatat di Dewan Pers tetapi banyak juga yang kemudian berkembang di sosial media. Nah, yang berkembang di sosial media ini, bisa menyampaikan informasi apa saja yang bisa saja bias kepentingan dan tendensius. Bahkan bisa menjadi media serang menyerang di antara peserta Pilkada, baik di antara timses dan lainnya,” tandasnya. 

Pilih pemimpin berkualitas

Sementara itu, di awal seminar, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Arif Wibowo, mengatakan penyelenggaraan Pilkada 2020 banyak ditentang karena khawatir terhadap penyebaran Covid-19. Namun, dalam prosesnya, Pilkada tetap dilangsungkan meskipun diundur hingga Desember mendatang. 

“Diperlukan pemilihan agar ada legislasi yang kuat untuk kepala daerah. Jika kita tidak bisa memastikan kapan covid berakhir, maka tidak ada jalan yang lebih baik yang diambil karena pemerintahan harus terus berlanjut oleh karena itu kami memutuskan pilkada tetap berlanjut,” jelasnya.

Selain itu, kata Arif, jika tidak ada pemilihan dikhawatirkan adanya konflik karena ada pertanyaan soal tidak adanya legitimasi untuk kepala daerah. “Jadi pelaksanaan pilkada sangat penting dan tentunya nanti harus patuh dengan protokol kesehatan yang berlaku,” tambahnya.

Dia juga meminta semua pihak ikut terlibat dalam pengawasan dan ikut mendorong partisipasi masyarakat dalam Pilkada yang akan berlangsung pada Desember mendatang. Minimal jumlah partisipasi bisa sama dengan Pemilu 2019 lalu. 

“Apatisme masyarakat cukup tinggi dan itu tidak sesuai dengan survey yang dilakukan selama ini. Kita harus mampu mendorong partisipasi masyarakat dalam pilkada nanti dan menyampaikan informasi tentang calon secara lengkap agar publik dapat memilih pemimpin yang bermutu,” papar Arif. 

Anggota KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan pihaknya sudah mengajukan perubahan Peraturan KPU tentang Pilkada 2020 kepada DPR. Perubahan ini menyangkut sejumlah pasal terkait kampanye dan iklan calon peserta di media massa. 

Selain itu, Kade Wiarsa, menyoroti pemilih pemula dalam Pilkada mendatang yang angkanya mencapai 3 juta lebih. Menurutnya, jumlah pemilih pemula dalam Pilkada ini melebihi angka pemilih pemula pada Pemilu 2019 lalu. 

Dalam kesempatan itu, Dia  berharap kepada pemilih yang akan berpartisipasi dalam Pilkada di tengah suasan pandemi untuk memperhatikan protokol kesehatan. “Aspek kesehatan ini sangat penting. Kami juga berharap tahapan Pilkada dapat berjalan dengan baik,” kata Raka Sandi.

Adapun Rektor Untag 1945 Banyuwangi, Andang Subaharianto, sepakat pelaksanaan Pilkada tetap jalan dan jangan sampai diundur lagi. Menurutnya, proses pemilihan untuk memenuhi asas demokrasi dan membentuk pemerintahan yang sah serta berlegitimasi. ***

Jakarta – Ada 8 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak pada Desember 2020 mendatang. Di antaranya adalah Kabupaten Bandung, Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi, Kab. Karawang, Kab. Indramayu, Kab. Tasikmalaya, Kab. Pangandaran, dan Kota Depok.

Menyongsong suksesi tersebut, KPI Daerah Provinsi Jabar menggelar Workshop Daring bertema “Optimalisasi peran Lembaga Penyiaran pada Pilkada serentak 2020 dalam Masa Pandemi Covid-19,” Rabu (12/8/2020). Kegiatan yang berlangsung secara virtual tersebut melibatkan penyelenggara Pilkada, KPU dan Bawaslu Daerah, DPRD, akademisi, lembaga penyiaran serta KPI yang diwakili langsung Ketua KPI Pusat, Agung Suprio sebagai Keynote Speech. 

Dalam sambutannya, Agung Suprio, menyebut pelaksanaan Pemilukada nanti yang akan berlangsung di tengah pandemi bukan pertama kali terjadi. Menurutnya, negara seperti Prancis, Iran dan Korea Selatan telah terlebih dahulu melaksanakannya. 

"Memang ada yang berhasil, partisipasi masyarakat tinggi dan penularan Covid-19 tidak terjadi saat pemilihan, seperti Korea Selatan. Kendati demikian juga ada yang gagal seperti yang terjadi di Iran," ujarnya. 

Keberhasilan Korea Selatan, menurut pria yang akrab disapa Agung ini, tidak lepas dari pemanfaatan media sebagai ruang sosialisasi penyelenggaraan pemilihan maupun terkait protokol kesehatan. 

"Maka dari itu, alokasi kampanye atau sosialisasi di media seperti lembaga penyiaran musti lebih panjang. Sehingga aturan teknis saat pemilihan dengan rambu-rambu protokol kesehatan bisa dipahami oleh masyarakat," lanjutnya

Dengan sosialisasi yang lebih panjang waktunya, Agung menilai partisipasi pemilih akan tinggi dalam pelaksanaan pilkada. 

"Saya optimis pelaksanaan Pilkada serentak akan sukses jika masayarakat mendapatkan informasi yang benar tentang pelaksanaan pemilihan dan penerapan protokol kesehatan. Lembaga penyiaran bisa mengambil peran atas suksesi tersebut," tutup Agung. */met

 

Jakarta -- Digitalisasi penyiaran memberikan keuntungan bagi masyarakat, baik secara mikro maupun makro. Secara mikro, masyarakat akan mendapatkan kualitas siaran yang lebih baik dan konten beragam. Sementara secara makro, masyarakat diuntungkan dengan digital deviden yang dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang usaha berbasis digital, termasuk industri kreatif.

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, dalam Webinar Sosialisasi TV Digital dengan tema: Goes to Digital (12/8/2020). 

Menurutnya, posisi KPI sebagai Lembaga Negara Independen mendukung digitalisasi karena telah ditetapkan sebagai program pemerintah dan pada sisi lain ada keuntungan yang bisa diperoleh masyarakat. Karena itu, KPI mengambil posisi mendukung digitalisasi. 

"Ketika digitalisasi secara regulatif telah memiliki landasan hukum dalam pelaksanaannya, maka beberapa hal harus diperhatikan oleh KPI. Hal ini sekaligus menjadi tantangan. Pertama, KPI harus mengawal pelaksanaan digitalisasi penyiaran agar asas keadilan dalam pengelolaan multiplekser dapat ditegakkan. Keterbatasan mux jangan sampai membuat lembaga penyiaran eksisting maupun baru kesulitan untuk menjadi penyelenggara  siaran. Keadilan di sini juga berlaku dalam hak kepemilikan mux di seluruh area,” kata Mul, panggilan akrabnya. 

Kedua, digitalisasi harus dapat memecahkan persoalan belum meratanya siaran free to air. Data Kementerian Kominfo menunjukkan baru sekitar 57% kota terlayani. Nasib 43% kota lain juga harus diperhatikan. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan hiburan harus dipenuhi. 

Ketiga, digitalisasi harus berorientasi pada keberagaman konten. Televisi saat ini lebih didominasi oleh dua jenis konten: hiburan dan berita. “Sementara konten anak, perempuan, pendidikan, budaya yang masih belum terlalu kelihatan. Digitalisasi penyiaran harus memberikan banyak pilihan konten. Keempat, karena akan terjadi penambahan jumlah penyelenggara siaran maka KPI harus menyiapkan perangkat pengawasan,” tambah Mulyo. 

Peningkatan tersebut, menurut Mulyo, bisa jadi akan sangat signifikan sehingga tak bisa mengandalkan pengawasan manual tetapi harus mencari metode yang lebih canggih, misalnya dengan artificial intelegence. 

Kelima, KPI berharap sosialisasi siaran digital bisa dilaksanakan secara tepat dan merata. Masih banyak masyarakat yang mengira bahwa siaran digital sama dengan pay tv (tv berbayar). KPI bersama kominfo provinsi dan kabupaten/kota harus dilibatkan. Pemegang multiplexer juga harus turut menyosialisasikannya melalui layar kaca. 

Keenam, perbaikan survei rating harus dapat dibawa dalam teknologi set of box. Sehingga bisa merata dan memotret secara tepat fakta minat masyarakat. Tidak hanya terkonsentrasi pada kota besar sehingga membuat masyarakat kota lain tidak diminati penyelenggara siaran. Survey rating tak boleh menyebabkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi terabaikan. 

Adapun yang terakhir, kata Mulyo, adalah literasi media. Semakin banyak televisi dan program siaran akan semakin banyak kemungkinan paparan dari program siaran. Karena itu masyarakat harus dibuat lebih kritis dan peduli. Sekaligus untuk membuat masyarakat melek terhadap kemungkinan paparan media baru. 

“Komunikasi dengan masyakat secara langsung diperlukan dalam proses literasi. Di sinilah pentingnya KPID. Karena Indonesia terdiri atas banyak budaya maka yang dapat memahami secara baik adalah mereka yang berada dalam wilayah tersebut, yakni KPID. KPID juga akan turut serta mengawasi kinerja penyiaran di daerah. Akan ada banyak pengaduan masyarakat terkait konten siaran. Maka, keberadaan KPID masih diperlukan dalam konteks menjaga kepentingan publik agar tidak terpapar konten negatif TV, radio, atau nantinya terhadap media baru. KPID lebih paham norma dan etika terkait budaya yang berlaku di wilayah masing-masing,” tegas Mulyo.

Ia melanjutkan, apa yang diutarakan di atas sebagai bentuk amanat UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sesuai pasal 8 ayat 1 yang berbunyi “KPI sebagai wujud peran serta masyarakat dalam mewadahi aspirasi dan mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran”. Sementara dalam kaitannya dengan digitalisasi maka adalah tugas dan kewajiban KPI (psl 8 [3] b) untuk “turut serta dalam membantu pengaturan infrastruktur bidang Penyiaran.” Dengan demikian semua program pemerintah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat semestinya didukung.

Pembicara lain, Direktur Penyiaran Kominfo, Geryantika Kurnia menyatakan, semua “aturan main” di dalam proses digitalisasi penyiaran telah disiapkan sehingga fair, seperti masalah tarif, penawaran, termasuk antara konten dan penyelenggara multiplexernya telah diatur. “Bagi penyelenggara penyiaran yang IPP-nya masih analog bisa mengajukan ke Menkominfo untuk migrasi ke digital. Tidak akan ada biaya ISR, cost operasional infrastruktur akan hilang, hanya kontennya saja. Jika simulcast, maka hanya dicantumkan izin analog dan digital, maka bisa bersiaran analog dan digital,” jelasnya.  

Webinar hasil kerjasama Kementerian Kominfo dan KPID Bengkulu ini juga menghadirkan narasumber, antara lain: Ketua Koordinator ASPIKOM, Dhanurseto Hadiprasha, Dekan Binus Business School Undergraduate Program, Hardijanto Saroso, Corporate Secretary Trans TV, Freddy Melmambessy dan dimoderatori oleh Ketua KPID Bengkulu, Ratim Nuh. */Intan

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Pers, menandatangani Keputusan Bersama (Kepber) tentang pengawasan dan pemantauan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilkada 2020) melalui lembaga penyiaran, perusahaan pers cetak dan siber, Rabu (12/8/2020) pagi, di Kantor Bawaslu RI, Jakarta.

Keputusan bersama yang ditandatangani langsung Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, Ketua Bawaslu, Abhan, Ketua KPU, Arief Budiman, dan Ketua Dewan Pers yang diwakili Anggota Dewan Pers, Agung Darmajaya, diharapkan dapat menguatkan sistem pengawasan kampanye sehingga menciptakan Pilkada 2020 yang adil, jujur, berimbang dan berkualitas. 

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, mengatakan kerjasama ini sangat penting untuk mengawasi jalannya kampanye para peserta Pilkada di media khususnya media penyiaran. Apalagi kampanye lewat media elektronik diperpanjang. “Dan hal ini membuat tugas KPI makin vital karena KPI mengawasi TV dan radio sesuai dengan pedomana yang kami punya yakni P3SPS,” katanya dalam sambutan usai penandatanganan kerjasama itu.

Agung meyakini, terbentuknya gugus tugas Pilkada ini akan membuat pengawasan menjadi lebih efektif. “Bawaslu memantau peserta, KPI mengawasi media penyiaran dan Dewan Pers mengawasi media cetak dan online,” katanya dan berharap MoU akan berjalan maksimal dan menuai hasil yang positif. 

“Saya juga optimis hingga saat ini, jika kita menjalankan sosialisasi yang massif lewat media elektronik maka tingkat partisipasi publik minimal bisa sama dan mungkin bisa lebih tinggi dari Pilkada sebelumnya. Peran media sangat penting untuk mengedukasi masyarakat untuk berpartisipasi meskipun dalam suasana pandemi,” pinta Agung. 

Untuk diketahui, tahapan kampanye Pilkada 2020 akan berlangsung pada 26 September hingga 5 Desember 2020. Sedangkan kampanye melalui media massa baru dapat dilakukan selama 14 hari sejak 22 November hingga 5 Desember 2020.

Ketua Bawaslu RI, Abhan, berharap dengan penandatanganan keputusan bersama ini, KPI dan Dewan Pers dapat banyak memberikan masukan kepada pihaknya baik itu berupa pelanggaran penyiaran atau yang lain.

Dia mengatakan, Dewan Pers dan KPI punya kewenangan lebih dalam memantau media massa, baik cetak, elektronik maupun daring. Pengalaman Pemilu 2019, Bawaslu menemukan sejumlah dugaan pelanggaran iklan kampanye di media massa. Tetapi, setelah dikaji Dewan Pers, dinyatakan bahwa iklan kampanye itu bukan berasal dari produk jurnalistik. Oleh karenanya, meskipun telah menjadi temuan dugaan pelanggaran, Bawaslu tak menindaklanjuti temuan tersebut. 

"Nantinya kalau memang ada pelanggaran maka jadi kewajiban kita untuk menegakkan hukum itu. Tapi itu tentu bagian akhir, artinya ultimum remedium. Kalau bisa kita lakukan berbagai upaya pencegahan, kita lakukan pencegahan," tuturnya. Abhan pun berharap, kerja sama 4 lembaga ini dapat mencegah terjadinya pelanggaran kampanye di media massa selama Pilkada 2020.

Abhan pun mengatakan kerja sama ini untuk memastikan keterpenuhan hak dan keadilan dalam kampanye. Menurutnya, kerja sama dengan para pemangku kepentingan pengawasan media massa dan lembaga penyiaran sangat dibutuhkan. Hal itu karena adanya kenormalan baru akibat pandemi Covid-19 yang mendorong peningkatan aktivitas politik melalui media cetak, elektronik, dan penyiaran.

“Peran serta dan partisipasi media dalam pengawasan dan pemantauan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye juga sangat membantu kerja-kerja pengawasan dan penegakan hukum pemilihan,” tambah Abhan.

Dalam kesempatan itu, Abhan berharap Gugus Tugas ini tidak hanya dibentuk di tingkat pusat, tapi juga di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Adapun di tingkat provinsi, gugus tugas dibentuk oleh Bawaslu dan KPU provinsi serta KPID setempat dengan tetap melibatkan Dewan Pers. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, gugus tugas merupakan kerja sama antara Bawaslu dan KPU kabupaten/kota setempat dan turut melibatkan Dewan Pers dan KPID setempat. Menindaklanjuti penandatangaan keputusan bersama ini, akan diterbitkan pula petunjuk teknis yang menjadi pedoman kerja gugus tugas setiap tingkatan.

Sementara itu, Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan bahwa Pilkada 2020 (dalam masa pandemi) ruang untuk menggunakan saluran media akan semakin terbuka. Karena itu, kerja sama antara penyelenggara pemilu dengan KPI dan Dewan Pers ini sangat penting dalam mengawasi media massa, baik cetak maupun elektronik.

KPU dan Bawaslu, menurutnya, akan banyak bertanya mengenai pemberitaan dan penyiaran di media massa kepada KPI dan Dewan Pers. Hal itu untuk menentukan apakah terjadi pelanggaran kampanye atau tidak.

"KPU dan Bawaslu tidak mempunyai ruangan yang banyak monitor. Saya pernah datang ke Komisi Penyiaran Indonesia melihat war room-nya. War room itu akan melaksanakan pengawasan," pungkas Arief. 

Pada saat penandatanganan kerjasama, turut hadir menyaksikan Komisioner KPI Pusar, Irsal Ambia, Mohamad Reza dan Mimah Susanti. ***

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.