Menyongsong Siaran Digital

(Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)

Oleh: Hardly Stefano Fenelo Pariela

Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan

 

Pengaturan Siaran Digital

Meskipun memiliki berbagai kelebihan dan membawa kemanfaatan, namun pelaksanaan penyiaran digital di Indonesia selama ini terhambat karena belum ada regulasi setingkat Undang – Undang yang mengatur hal tersebut. UU no.32/2002 tentang Penyiaran secara konseptual hanya mengatur tentang siaran analog. Melalui UU no.11/2020 tentang Cipta Kerja, atau dikenal juga dengan sebutan omnibus law, pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terbatas terhadap UU penyiaran untuk mengatasi hambatan regulasi dalam proses digitalisasi penyiaran. Melalui pasal 72 UU no.11/2020 ditambahkan pasal 60A pada UU no.32/2002, dimana disebutkan: “Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital”. Ini merupakan dasar hukum dimulainya proses migrasi penyiaran. Mengingat Indonesia termasuk negara yang terlambat menerapkan penyiaran digital, maka pelaksanaan digitalisasi penyiaran juga diberi tenggat waktu. Penghentian siaran analog (Analog Swicth Off / ASO) harus diselesaikan paling lambat dua tahun setelah ditetapkannya UU no.11/2020. Selain itu juga disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi penyiaran analog menjadi digital diatur dalam peraturan pemerintah.

Dapat dikatakan Indonesia saat ini telah memulai hitung mundur (countdown) menuju era penyiaran digital. Kemkominfo memiliki kewajiban untuk bekerja secara cepat mempersiapkan berbagai peraturan yang mengatur teknis pelaksanaan digitalisasi penyiaran. Diantaranya tentang proses perijinan, tata kelola siaran, tanggung jawab lembaga penyiaran maupun pengelola multipleksing, serta pengawasan penyiaran digital. Selain itu Kemkominfo juga perlu menyusun perencanaan dan tahapan pelaksanaan (roadmap) proses alih teknologi. Diharapkan semuanya dapat dilaksanakan Kemkominfo dengan menggunakan pendekatan partispatoris, yaitu terbuka dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, khususnya masyarakat.

Partisipasi Masyarakat

Dalam proses transisi sistem penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai Lembaga Negara Independen yang merupakan wujud peran serta masyarakat dalam bidang penyiaran, harus mampu berperan untuk melakukan sosialisasi tentang agenda migrasi penyiaran sebagaimana telah diamanatkan oleh UU no.11/2020. Sehingga masyarakat secara luas mengetahui tentang konsep penyiaran digital termasuk dampak dan manfaat dari proses tersebut. Tidak kalah pentingnya adalah memunculkan kepedulian publik untuk berpartisipasi dalam proses alih teknologi penyiaran. Karena spektrum frekuensi yang digunakan, baik untuk telekomunikasi maupun penyiaran adalah sumber daya alam yang terbatas, oleh sebab itu harus dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Masyarakat perlu berpartisipasi dalam seluruh proses alih teknologi penyiaran, dengan memberikan masukan dalam perumusan regulasi teknis, mengawasi setiap tahapan pelaksanaan, serta memberi catatan sebagai umpan balik dalam proses migrasi penyiaran. Publik perlu memastikan bahwa melalui pelaksanaan penyiaran digital akan semakin banyak wilayah Indonesia yang mendapatkan akses menerima siaran televisi FTA.

KPI harus berada bersama publik serta mampu membangun komunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan, agar melalui penyiaran digital dapat terwujud demokrasi penyiaran yang dimanifestasikan dalam keragaman konten (diversity of content) dan keragaman kepemilikan lembaga penyiaran (diversity of ownership). Sehingga proses migrasi sistem penyiaran bukan semata-mata alih teknologi yang berorientasi bisnis dan ekonomi, namun dapat mebawa kemanfaatan bagi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.

Implementasi siaran digital

Migrasi atau peralihan siaran televisi dari modulasi analog menjadi digital adalah proses dan dinamika yang kompleks karena terkait dengan berbagai aspek, diantaranya adalah teknologi, ekonomi, maupun sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itu perlu pengaturan, perencanaan dan proses implementasi sehingga proses migrasi siaran dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat Indonesia. Manfaat langsung yang diharapkan akan dapat dirasakan masyarakat adalah berkurangnya wilayah blankspot penyiaran, jumlah pilihan saluran televisi yang semakin banyak, serta kualitas gambar dan suara yang diterima oleh perangkat televisi semakin baik. Selain itu masyarakat juga akan merasakan kemanfataan tidak langsung, dimana digital deviden dimanfaatkan oleh operator seluler untuk mengembangkan internet berkecepatan tinggi, yang pada gilirannya juga akan digunakan oleh masyarakat.

Meskipun proses migrasi siaran analog menjadi digital merupakan proses yang kompleks, namun dalam implementasinya secara teknis bagi masyarakat merupakan hal yang sangat sederhana. Karena untuk mengakses siaran televisi digital, masyarakat dapat menggunakan antena Ultra High Frequency (UHF) serta perangkat televisi yang selama ini digunakan untuk menerima siaran analog. Bagi perangkat televisi yang belum memiliki saluran penerimaan siaran digital, juga tidak harus melakukan penggantian perangkat dengan televisi baru, cukup dengan menambahkan alat bantu penerima siaran digital berupa kotak decoder yang disebut Set Top Box (STB). Dimana kabel dari antena UHF terlebih dahulu disambungkan dengan STB, lalu kabel dari STB dikoneksikan pada perangkat televisi analog, maka masyarakat sudah dapat menerima siaran modulasi digital, sepanjang siaran digital telah dipancarkan.

Dari penjelasan teknis implementasi siaran digital, yang juga perlu dipahami oleh masyarakat bahwa siaran televisi digital terrestrial bukanlah siaran televisi streaming. Untuk mengakses Siaran streaming masyarakat membutuhkan jaringan, layanan data dan perangkat yang terhubung dengan internet. Sedangkan siaran televisi digital terrestrial adalah siaran yang tidak berbayar, dan untuk mengakses hanya membutuhkan perangkat antena UHF dan televisi digital, atau televisi analog namun telah dilengkapi dengan STB.

Penutup

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang telah terbiasa menggunakan perangkat seluler berupa smartphone, kemungkinan akan cepat beradaptasi dengan teknologi siaran digital. Transisi dua tahun, adalah waktu yang sangat cukup untuk mempersiapkan masyarakat sebagai pengguna layanan televisi digital. Akan tetapi migrasi siaran bukan hanya sekedar alih teknologi, menambah perangkat STB atau bahkan mengganti perangkat televisi. Alih teknologi dari siaran analog menjadi digital harus dapat menjadi momentum untuk mewujudkan demokrasi penyiaran dan memastikan bahwa seluruh wilayah Indonesia mendapatkan siaran televisi terrestrial secara gratis. Terkait hal tersebut dibutuhkan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan penyiaran. Kemkominfo dan KPI sebagai regulator, lembaga penyiaran, penyelenggara multipleksing dan juga masyarakat berkolaborasi dan bersinergi dalam proses transisi penyiaran menuju Analog Swicth Off pada bulan November 2022 mendatang, serta menyongsong siaran televisi digital yang dapat membawa kemanfaatan bagi masyarakat. Semoga pelaksanaan siaran digital yang mampu meliputi seluruh wilayah Indonesia, dapat menjadi benang digital yang mempersatukan kebhinekaan dalam semangat kebangsaan.

 

Link:  

Tulisan Bagian Pertama

 

 

Menyongsong Siaran Digital

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Oleh: Hardly Stefano Fenelon Pariela

Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan

 

 

International Telecommunication Union (ITU), dalam konferensi yang diadakan pada 16 Juni  2006 telah menghasilkan kesepakatan dimulainya proses migrasi siaran dari modulasi analog menjadi modulasi digital. Proses tersebut diharapkan dapat tuntas dilakukan oleh negara – negara anggota ITU pada 17 Juni 2015 dengan menghentikan seluruh aktivitas siaran analog (Analog Swicth Off / ASO) dan  sepenuhnya menggunakan modulasi siaran digital. ITU adalah salah satu badan khusus Perserikatan Bangsa – Bangsa yang bertanggung jawab terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi, dimana Indonesia merupakan salah satu anggota.

Digitalisasi penyiaran merupakan suatu keniscayaan karena spektrum frekuensi radio  yang digunakan untuk untuk memancarkan siaran televisi dan radio merupakan sumber daya alam yang terbatas. Frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dapat menjadi medium penghantar suara dan gambar dari pengirim pesan melalui perangkat transmitter untuk diterima oleh perangkat receiver.  Penggunaannya selama ini adalah untuk kebutuhan penyiaran radio dan televisi, radio amatir, Sambungan Telepon Jarak Jauh, telegraf, navigasi, teknologi militer, dan lain-lain. Kebutuhan penggunaan frekuensi radio semakin meningkat seiring dengan kebutuhan manusia untuk berkomunikasi melalui internet dan telepon seluler, yang dari waktu ke waktu semakin massif. Di era digital, frekuensi radio juga merupakan medium penghantar data digital dalam satuan bit yang di dalamnya dapat berisi suara, gambar, maupun tulisan. Proses transmisi data digital tersebut kemudian disebut unggah (upload) dan unduh (download). Semakin besar ukuran, frekuensi maupun lalu lintas data digital yang ditransmisikan, semakin besar pula kebutuhan atas penggunaan frekuensi radio.  

Konsep Teknis Siaran Digital

Pada penyiaran dengan modulasi analog, setiap pemancaran siaran televisi terrestrial membutuhkan lebar pita frekuensi radio sebesar 8 Mhz. Dengan menggunakan modulasi digital, pita frekuensi 8 Mhz dapat digunakan untuk memancarkan beberapa siaran sekaligus dengan menggunakan teknologi multipleksing. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 6 Tahun 2019 telah menyebutkan spesifikasi teknis penyelenggaraan siaran digital. Teknologi yang akan digunakan adalah Digital Video Broadcasting – Terrestrial Second Generation (DVB-T2), dengan lebar pita frekuensi 8 Mhz akan memiliki kapasitas payload multiplexer minimal 33 Mbps. Sedangkan parameter teknis bitrate konten siaran dengan kualitas gambar Standard Definition (SD) maksimal 2,5 Mbps, sementara untuk kualitas gambar High Definition (HD) bitrate maksimalnya adalah sebesar 6 Mbps. Dari spesifikasi teknis tersebut, maka untuk frekuensi sebesar 8 Mhz akan mampu memancarkan secara bersamaan 5 saluran siaran yang semuanya menggunakan kualitas HD atau 13 saluran siaran yang semuanya berkualitas SD. Sehingga perbandingan penggunaan frekuensi pada siaran analog dengan siaran digital minimal 1:5 dan maksimal 1:13.  

Gambar  Ilustrasi saluran / kanal Mux dengan playload 33Mbps

Peralihan modulasi siaran televisi dari analog menjadi digital akan mengubah proses pemancaran siaran. Pada siaran dengan modulasi analog setiap lembaga penyiaran adalah penyedia konten sekaligus yang memancarkan konten kepada khalayak. Oleh sebab itu setiap lembaga penyiaran harus melakukan investasi dengan membangun infrastruktur berupa antena pemancar / transmitter, sesuai dengan wilayah siaran. Sedangkan siaran dengan menggunakan modulasi digital, konsepnya adalah memancarkan siaran lima sampai tiga belas saluran siaran televisi pada satu pita frekuensi, dengan menggunakan teknologi multiplexing. Dalam siaran digital yang memancarkan konten melalui spektrum frekuensi adalah Penyelenggara Multipleksing (Mux), sedangkan lembaga penyiaran sebagai penyedia konten. Penyelenggara mux yang melakukan investasi membangun antena pemancar, sedangkan lembaga penyiaran akan menyewa saluran / kanal siaran dari penyelenggara mux agar konten siarannya dapat dipancarkan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan Lembaga Penyiaran juga sekaligus menjadi penyelenggara mux. 

Dengan konsep penyiaran multipleksing, maka biaya investasi (capital expenditure / capex) infrastruktur penyiaran pada dasarnya ditanggung bersama (cost sharing) oleh beberapa lembaga penyiaran melalui pembayaran sewa saluran / kanal siaran. Melalui model cost sharing, penyelenggara mux memiliki potensi membangun antena pemancar siaran secara massif sehingga dapat mengurangi area yang tidak mendapat siaran televisi (blankspot). 

Manfaat Siaran Digital

Beberapa kelebihan siaran televisi digital menurut Oktariza et al (2015) adalah sebagai berikut: 1).Kualitas siaran yang lebih stabil dan tahan terhadap gangguan (interferensi, suara dan/atau gambar rusak, berbayang, dsb.), dimana dalam siaran televisi digital hanya dapat diperoleh kemungkinan “gambar bagus” atau “tidak ada gambar sama sekali”; 2).Memungkinkan untuk siaran dengan resolusi tinggi berkualitas HDTV secara lebih efisien; 3).Kemampuan penyiaran multi-channel dan multiprogram dengan pemakaian kanal frekuensi yang lebih efisien; 4). Kemampuan transmisi audio, video, serta data sekaligus. Memungkinkan untuk fitur Electronic Program Guide (EPG).

Migrasi siaran televisi dari analog menjadi digital akan memberi manfaat kepada masyarakat, industri penyiaran, maupun pemerintah. Masyarakat akan mendapat manfaat berupa kualitas gambar dengan resolusi tinggi dan suara yang lebih jernih, selain itu juga akan lebih banyak pilihan saluran televisi yang bisa dinikmati. Semua manfaat tersebut akan dinikmati masyarakat secara gratis, karena proses digitalisasi penyiaran ini dilakukan pada penyiaran tetap tidak berbayar (free to air / FTA).

Bagi industri penyiaran, siaran digital akan membuka peluang bisnis baru. Baik sebagai lembaga penyiaran maupun lembaga penyelenggara multipleksing. Lembaga penyiaran baru, termasuk lembaga penyiaran lokal akan bermunculan seiring dengan meningkatnya jumlah ketersediaan saluran siaran. Biaya Investasi (Capex) lembaga penyiaran di era digital akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan saat siaran dilakukan dengan modulasi analog. Lembaga penyiaran tidak perlu lagi melakukan investasi untuk membangun infrastruktur pemancar, karena hal tersebut akan dilakukan oleh penyelenggara multipleksing. Lembaga penyiaran dapat fokus pada proses produksi konten siaran. Dengan semakin banyaknya saluran siaran, maka kompetisi yang akan terjadi diantara lembaga penyiaran adalah kompetisi konten. Lembaga penyiaran televisi lokal juga memiliki peluang berkembang dengan memproduksi konten siaran yang sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat, sekaligus memenuhi kebutuhan informasi di daerah. Khazanah kebudayaan serta kearifan lokal, termasuk berbagai informasi tentang potensi maupun dinamika masyarakat yang terjadi di daerah, dapat menjadi materi program siaran bagi lembaga penyiaran lokal.

Jika proses migrasi siaran televisi dari modulasi analog menjadi digital telah tuntas dilakukan, akan terjadi efisiensi penggunaan spektrum frekuensi yang disebut digital deviden. Seluruh frekuensi yang selama ini dikelola oleh lembaga penyiaran swasta untuk siaran analog akan dikembalikan pada pemerintah. Sebagian dari frekuensi tersebut akan dialokasikan untuk penyelenggaraan multipleksing siaran digital, namun akan ada digital deviden  sebagai hasil efisiensi penggunaan frekuensi, sejumlah 112 Mhz. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) akan memanfaatkan digital deviden ini untuk mengoptimalkan layanan seluler internet 4G, sekaligus dapat menfasilitasi pengembangan internet dengan menggunakan teknologi 5G. 

Dalam forum Industry Summit, Promoting Digital Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta, 6 Februari 2020, Julian Gorman (Head of APAC GSMA) menyampaikan bahwa penggunaan digital deviden oleh operator seluler pada pita frekuensi yang selama ini digunakan oleh siaran televisi analog, akan memberikan keuntungan yang besar bagi perekonomian Indonesia. Dengan perkiraan pemasukan hingga 10,5 miliar dollar AS selama periode 2020 – 2030. Pendapat ini dikutip dan dipublikasikan  oleh beberapa media nasional. GSMA atau Global System for Mobile Communications Association adalah asosiasi yang mewadahi kepentingan operator telekomunikasi di seluruh dunia, khususnya operator telekomunikasi yang bergerak di bidang teknologi Global System for Mobile (GSM). Bersambung

Link: 

Tulisan Bagian Terakhir

 

 

Jakarta -- Terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang mengusung semangat kemudahan dalam proses izin berusaha termasuk dalam bidang penyiaran patut diacungi jempol. UU yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada awal November 2020 lalu ini pun mewujudkan perpindahan sistem siaran di tanah air dari analog ke digital pada 2022 mendatang. Sebuah transformasi sistem penyiaran yang sudah lama digadang-gadang dan salah satu penyebab mandeknya revisi UU Penyiaran. 

Lahir dengan niat memudahkan semua perizinan termasuk penyiaran, tidak lantas hal ini jadi mengabaikan kedaulatan publik di dalamnya. Peran publik seharusnya tetap diperhatikan dalam kaitan melakukan kontrol atas komitmen dan tanggung jawab industri dalam penyiaran. Dan hal ini seharusnya dapat ditampung dalam Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Cipta Kerja kluster Penyiaran aturan turunan dari UU baru tersebut. 

Pendapat ini dinyatakan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, dalam sebuah diskusi virtual akhir  tahun yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bertema “Meneropong Industri Penyiaran Pasca Omnibus Law”, Sabtu (26/12/2020).

“Meskipun semangat dari Undang-Undang Cipta Kerja adalah kemudahan dalam proses perizinan berusaha, termasuk dalam hal ini bidang penyiaran. Namun seharusnya hal ini tidak mengabaikan kedaulatan publik. Oleh karena itu, perlu dibuat formulasi atau regulasi turunan yang tepat agar dinamika bisnis bisa jalan tapi tetap mengakomodasi peran publik di dalamnya,” tegasnya.

KPI telah menyampaikan masukan kepada pemerintah terkait hal itu dalam regulasi turunan dari UU tersebut di RPP (Rencana Peraturan Pemerintah) Cipta Kerja kluster Penyiaran. Dalam salah satu masukan, KPI meminta tetap terlibat dalam proses perizinan, sebagai wujud kedaulatan masyarakat dalam penyiaran. “Ketiadaan kewenangan KPI dalam proses perizinan, berarti menghilangkan kedaulatan dan peran publik dalam proses tersebut,” kata Hardly. 

Nantinya, berdasarkan mekanisme yang ditawarkan KPI di RPP dalam hal akan diterbitkannya izin penyelenggaran penyiaran (IPP) baru adalah dengan menerbitkan IPP dua tingkat. Pertama, IPP Prinsip, yang berlaku selama 1 tahun sebagai masa percobaan siaran. Hal ini berbeda dengan konsep IPP Prinsip sebelumnya, tawaran KPI adalah dalam periode 1 tahun tersebut, Lembaga Penyiaran sudah bisa bersiaran secara komersial, termasuk menayangkan iklan. 

“Keberadaan masa percobaan 1 tahun ini adalah sebagai masa sanggah dan kontrol publik atas komitmen konten siaran. Apabila dalam masa satu tahun percobaan tersebut, Lembaga Penyiaran melakukan akumulasi pelanggaran atas ketentuan konten yang diatur dalam P3SPS, maka publik dapat menyampaikan evaluasi, dan KPI dapat menyampaikan keberatan untuk diterbitkannya IPP tetap,” tuturnya.

Keberadaan masa percobaan 1 tahun ini, tambah Hardly, adalah untuk meneguhkan kewenangan KPI dalam mewakili publik mengawasi konten siaran, sekaligus mengingatkan dan menertibkan Lembaga Penyiaran sejak awal, bahwa ada ketentuan-ketentuan tentang konten siaran yang harus dipenuhi. Diantaranya, tentang prosentase konten lokal, prosentase tayangan asing, prosentase iklan komersial, komitmen perlindungan anak dan remaja, kualitas konten dan lainnya. 

Hal itu tentu harusnya menjadi perhatian lembaga penyiaran sejak awal diberikannya izin. Argumentasi bahwa KPI akan memiliki kewenangan melakukan evaluasi, dan kapan pun dapat menyampaikan rekomendasi pencabutan izin, seharusnya tidak menghilangkan kewenangan KPI dalam tahapan perizinan. Karena setelah izin diberikan, untuk mencabutnya, rekomendasi KPI harus terlebih dahulu diuji dan diputuskan oleh pengadilan. Maka diperlukan mekanisme untuk sejak awal mengingatkan komitmen Lembaga Penyiaran atas pemenuhan konten berkualitas kepada masyarakat. 

Kedua tentang pemberian IPP Tetap, yang berlaku selama 10 tahun sebagaimana draft RPP. Menurut Hardly, IPP ini diterbitkan jika tidak ada keberatan publik melalui KPI selama masa percobaan 1 tahun tadi. Apabila terdapat keberatan dari masyarakat terhadap konten siaran, yang disampaikan secara terukur dan proposional oleh KPI kepada pemerintah, maka perlu mekanisme evaluasi sebelum diterbitkannya IPP tetap. 

Terkait dengan proses perpanjangan IPP, Hardly mengusulkan ada masa sanggah atau keberatan yang disampaikan berdasarkan hasil pengawasan KPI selama 9 tahun yaitu enam bulan sebelum diterbitkannya IPP perpanjangan. 

“Perlu dipahami bahwa usulan terkait posisi KPI dalam proses perizinan ini tidak dimaksudkan untuk menghambat proses perizinan, karena KPI sangat setuju proses perizinan dilakukan secara cepat, transparan, akuntable melalui sistem yang saat ini disebut Online Single Submission atau OSS. Kewenangan KPI untuk melakukan evaluasi di awal perizinan adalah untuk meneguhkan kedaulatan publik dalam penyiaran, khususnya dalam hal pengawasan konten siaran,” tegasnya.

Meskipun begitu, Hardly memahami bahwa dihapusnya ketentuan perizinan penyiaran dalam UU Omnibus Law, karena perlu desain perizinan yang compatible atau sejalan dengan skema penyiaran digital. Alasannya, dalam penyiaran analog hanya dikenal 1 entitas bisnis yaitu Lembaga Penyiaran, sedangkan pada penyiaran digital terdapat 2 entitas bisnis yaitu Lembaga Penyiaran dan Lembaga Pengelola Multipleksing. 

Hardly juga menyampaikan pentingnya digitalisasi dan manfaat yang menyertainya diantaranya efisiensi dan optimalisasi penggunaan frekuensi radio sebagai medium komunikasi (digital deviden). Kemudian, peningkatan kualitas teknis siaran (gambar dan suara yang diterima semakin jernih). Makin banyak pilihan saluran siaran televisi, yang diharapkan dapat mendorong keragaman konten, termasuk menumbuh-kembangkan konten siaran lokal serta mendorong kompetisi yang diharapkan akan meningkatkan kualitas konten siaran. 

“Siaran digital akan membuat kualitas teknis siaran digital yang lebih stabil dan ini diharapkan dapat mengurangi blankspot area siaran televisi, pada wilayah yang saat ini telah menerima siaran televisi analog. Selain itu, dengan model bisnis siaran digital, akan terjadi efisiensi biaya investasi (capex) infrastruktur penyiaran, sehingga diharapkan akan semakin banyak antena pemancar yang dapat dibangun sehingga seluruh wilayah Indonesia dapat menikmati siaran televisi digital secara gratis,” jelasnya.

Sementara itu, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Prof. Widodo Muktiyo, mengatakan lahirnya UU Cipta Kerja merupakan sesuatu yang luar biasa yang memutus kesulitan dari revisi UU Penyiaran yang tak kunjung selesai. UU ini menjadi pintu masuk Indonesia untuk melakukan analog switch off atau ASO pada 2022 mendatang. 

Menurut Widodo, perpindahan ini pun harus diikuti dengan pembangunan infrastruktur penyiaran yang memadai. Dan kerja ini harus dilakukan secara bersama semua stakeholder. “Bagaimana industri menyambut ini untuk kepentingan bersama termasuk soal SDM dalam spectrum frekuensi. Sektor ini memiliki nilai yang sagat strategies untuk memasukan 5.0. Kebiasaan baru ini menjadikan ekonomi digital jadi tulang punggung baru,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Widodo menyatakan pihaknya bersama dengan KPI dan industri penyiaran sedang melakukan sosialisai tentang siaran digital. Menurutnya, hal yang perlu dipahami masyarakat mengenai siaran TV digital adalah ini bukan TV streaming lewat digital atau satelit. 

“TV digital ini adalah melalui free to air (FTA) dan tidak perlu berlangganan dan penerimaannya bisa lewat antena rumah. Dan jika masyarakat belum punya TV digital bisa menggunakan set top box  atau decoder digital. Gambarnya jadi bersih, teknologinya canggig, suaranya jernih dan mengenakkan panca indra kita untuk menikmati produk  siaran. Tidak perlu biaya untuk siaran digital ini,” tegasnya.

Selain itu, lanjut Widodo, migrasi siaran ini diharapkan dapat mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara lain yang sudah terlebih dahulu melaksanakan siaran digital. “Ini menjadi tantangan kita dengan UU baru tersebut memberikan dampak positif dan konstruktif menyambut masa depan yang baik,” tandasnya.  ***

 

Jakarta -- Pembahasan isu tentang perempuan dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dinilai tidak banyak dan cenderung tenggelam oleh isu-isu lainnya. Mestinya, isu soal ini menjadi salah satu topik utama debat atau kampanye para kontestan Pilkada kemarin. Pasalnya, pemilih perempuan yang terdaftar dalam Pilkada 2020 jumlahnya lebih banyak dari pemilih laki-laki.

Minimnya bahasan soal perempuan dalam Pilkada lalu menjadi catatan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, yang disampaikannya dalam acara webinar Perayaan Hari Ibu yang diselenggarakan The Permata Maluku Faundation bersama Bawaslu Maluku dengan tema “Refleksi Peran Perempuan dalam Menyukseskan Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2020” Senin (28/12/2020).

“Penguatan isu-isu perempuan belum menjadi materi wajib pada debat kandidat dalam Pilkada lalu. Dan belum menjadi bagian dari visi dari mayoritas kontestan pilkada. Saya berharap ke depan, penguatan isu-isu perempuan menjadi bahasan utama atau program strategis dalam debat atau kampanye. Ini bisa jadi masukan untuk menjadi perhatian penyelenggara Pemilu,” kata Nuning dalam diskusi tersebut.

Berdasarkan data pemilih Pilkada 2020, jumlah DPT (daftar pemilih tetap) perempuan ada 50.194.726 dari 100.359.152 pemilih. Adapun calon dan pasangan calon dari kalangan perempuan berjumlah 159 perempuan dari 1474 kepala daerah. Jika dirosentase hanya sekitar 10% dari seluruh kontestan pilkada 2020. 

“Jumlah ini memang masih jauh dari harapan kita bersama. Karenanya, perlu upaya sosialisasi dan loteraai kepemiluan untuk menjadikan isu perempuan sebagai topik utama dalam proses pemilihan kepala daerah agar jumlah perempuan yang terjun dalam kontestasi ini terus meningkat dan mampu mencapai angka harapan atau ideal porsi perempuan dalam perpolitikan," kata Nuning. 

Pada kesempatan itu, Nuning yang banyak terlibat aktif dalam organisasi perempuan berharap kepada media untuk menjadi katalisator "isu perempun" di masa pilkada, dengan mendorong melalui materi-materi pemberitaan, bahasan pada program siaran. Dan selain itu berharap agar regulasi pilkada membuka ruang lebih luas bagi media untuk melakukan Sosialisasi tentang pilkada melalui pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye yang tidak hanya di kurun waktu 14 hari saja tetapi dapat dilakukan sepanjang masa kampanye dengan pembatasan frekuensi tayang setiap harinya. 

“Pilkada 2020 masih ditemukan adanya  ketidakberimbangan program siaran dalam memberi kesempatan kepada calon peserta Pilkada. Dan KPI telah memberikan sanksi kepada Lembaga penyiaran yang menayangkannya” tandas Nuning. 

Dalam diskusi tersebut, turut hadir Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurni Tanjung, Komisioner Bawaslu RI, Dewi Petollo, Ketua Bawaslu Maluku, Astuty Usman, dan Akademisi dari Universitas Pattimura, Elsa Tolie. ***

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyampaikan usulan terhadap materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Sektor Pos Telekomunikasi dan Penyiaran (Postelsiar) kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). RPP Postelsiar ini merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk Klaster Penyiaran. 

Ketua KPI Pusat Agung Suprio menjelaskan, masukan untuk RPP Postelsiar merupakan respon KPI atas terjadinya beberapa perubahan dalam aturan penyiaran pada Undang-Undang Cipta Kerja. KPI sendiri mendukung semangat penyederhanaan sistem perizinan penyiaran yang ada dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Secara prinsip, KPI mendukung adanya jalur administrasi yang lebih pendek dan lebih simpel bagi pemohon izin penyelenggaraan penyiaran. 

Dalam kesempatan pertemuan terbatas yang dilaksanakan secara virtual antara KPI dengan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Dirjen PPI) Kemenkominfo (22/12/2020), Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Irsal Ambia memaparkan langsung usulan KPI terhadap RPP Postelsiar. Dalam proses perizinan, KPI mengusulkan untuk sedapat mungkin terlibat dalam proses lembaga penyiaran mendapatkan izin. Setidaknya, ujar Irsal, KPI mengusulkan adanya kewajiban lembaga penyiaran untuk menginformasikan tentang program siaran apa saja yang akan ditayangkan. Hal ini menjadi penting, ujar Irsal, dalam upaya KPI menjaga diversity of content. Secara teknis, ujar Irsal, ini adalah masukan KPI untuk pasal 68 RPP. Yakni untuk memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran, pelaku usaha harus mengajukan uji laik operasi penyiaran, memperoleh surat keterangan laik operasi penyiaran, dan mencantumkan format siaran dengan mempertimbangkan minat, kepentingan, dan kenyamanan publik.

Selanjutnya masukan KPI terkait Pasal 70 RPP Postelsiar yang mencantumkan kewajiban siaran konten lokal sebanyak dua puluh persen dari seluruh waktu siaran yang ditayangkan pada waktu siaran produktif sesuai dengan daerah yang dilayaninya. Menurut KPI, selayaknya aturan tersebut didasarkan pada waktu siaran keseluruhan per hari yang ditayangkan sesuai dengan daerah yang dilayani. Masih tentang pasal 70 ini, Irsal mengingatkan bahwa ketentuan yang menyebutkan lembaga penyiaran dengan cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia wajib memiliki cabang, tidak sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Penyiaran yang menyebutkan sistem penyiaran nasional dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Yang patut diingat adalah, dalam Undang-Undang Cipta Kerja, pasal ini tidak ada perubahan sehingga masih berlaku. 

Masukan lain dari KPI adalah untuk Pasal 78 tentang ketentuan persentase pembagian slot multipleksing. KPI menilai harus ada perimbangan dalam format siaran umum dan khusus dalam layanan dalam pembagian saluran di multipleksing. Hal ini diturunkan dengan ketentuan tentang kuota maksimal untuk format siaran umum dan kuota minimal untuk format siaran khusus. 

Catatan lain dari KPI disampaikan pula oleh Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo. Menurutnya evaluasi atas program siaran yang sudah berlangsung sangat penting. KPI harus juga memastikan bagaimana program siaran yang hadir inin tidak memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan RPP Postelsiar, ujar Mulyo, masih belum nampak dengan jelas pengaturan ini.  Selain itu, Mulyo juga menyoroti pendirian lembaga penyiaran yang terkonsentrasi di wilayah tertentu. “Perlu disebutkan dalam RPP, ketentuan yang memperhatikan keberimbangan cakupan wilayah layanan agar lembaga penyiaran tidak terkonsentrasi di wilayah tertentu saja yang secara ekonomi menarik,” ujarnya. 

Dirjen PPI Kemenkominfo, Prof Ahmad Ramli yang turut hadir dalam pertemuan tersebut mengaku senang dengan masukan yang disampaikan langsung oleh KPI. “Kami senang KPI dapat menyampaikan secara langsung, sehingga kami bisa mendapatkan “tone” nya seperti apa,” ujar Ramli. Direktur Penyiaran Dirjen PPI Kemenkominfo, Geryantika Kurnia menyatakan, masih ada beberapa pembahasan teknis terkait peraturan di bidang penyiaran. Gery memastikan akan mengundang KPI guna mendapatkan masukan lebih rinci, terutama soal sanksi administratif dan penjatuhan sanksi denda.

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.