Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan melayangkan surat sanksi teguran tertulis untuk program siaran drama “Revolutionary Love” di Trans TV. Drama TV asal Korea Selatan ini ditemukan menayangkan adegan tak pantas dan tidak sesuai dengan ketentuan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. 

Demikian ditegaskan KPI Pusat dalam surat teguran tertulis yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, dan telah disampaikan ke Trans TV, beberapa waktu lalu.

Dalam surat itu dijelaskan, adegan pelanggaran ditemukan tim pemantauan KPI Pusat dalam program siaran “Revolutionary Love” tanggal 11 Juni 2020 pukul 10.11 WIB. Bentuk pelanggaran berupa tampilan seorang wanita dalam keadaan mabuk dan berkurang kesadarannya dengan beberapa botol minuman di sampingnya. 

Menurut Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, selain melanggar aturan P3SPS, adegan di atas jelas tidak sesuai dengan nilai, budaya, dan norma yang berlaku di Indonesia pada umumnya. 

“Adegan tersebut tidak sesuai dengan budaya kita. Ini memberi contoh kurang baik bagi anak-anak dan remaja kita. Mereka bisa mencontoh meminum minuman keras dan mabuk atau menganggap hal seperti itu sebagai perilaku yang wajar. Terlebih tayangan ini dikategorikan sebagai tontonan remaja yang ditayangkan pada jam anak. Apalagi tayangan drama Korea sekarang banyak digandrungi tidak hanya oleh para remaja tapi juga anak-anak,” jelasnya, Kamis (16/7/2020).  

Berdasarkan rapat pleno penjatuhan sanksi, ada 6 (enam) pasal di P3SPS yang  tidak dilanggar oleh adegan tersebut. Keenam pasal itu adalah Pasal 14 ayat (2) P3, Pasal 18 P3, Pasal 21 ayat (1) P3, Pasal 15 ayat (1) SPS, Pasal 27 ayat (2) SPS, dan Pasal 37 ayat (4) SPS. 

“Pasal-pasal ini menyangkut ketentuan pelarangan dan pembatasan tentang muatan rokok, NAPZA dan minuman beralkohol. Selain itu juga aturan tentang penggolongan program siaran serta perlindungan terhadap anak dan remaja dalam isi siaran,” kata Mulyo. 

Dalam kesempatan ini, Mulyo Hadi Purnomo meminta Trans TV dan seluruh lembaga penyiaran untuk lebih teliti dan mampu mengkategori tayangan yang pantas masuk klasifikasi R (remaja). “Jangan sampai tayangan dengan klasifikasi R justru mengajarkan hal-hal negatif yang kemudian membenarkan perilaku yang tidak pantas tersebut kepada remaja dan anak-anak sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari,” tandasnya. ***

Jakarta - Dinamika dunia digital saat ini, dinilai tidak dapat lagi ditampung oleh regulasi yang ada, baik itu Undang-Undang Penyiaran atau pun Undang-Undang Pers.  Karenanya dibutuhkan regulasi yang relevan atas transformasi platform digital saat ini yang berkembang sebagai komponen penyiaran yang baru. Karenanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu mempersiapkan diri pada perluasan regulasi untuk melakukan pengawasan terhadap media baru, jika seandainya revisi Undang-Undang Penyiaran ke depan akan memberikan kewenangan tersebut pada KPI. Hal tersebut disampaikan anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris, saat menjadi nara sumber Literasi Media yang diselenggarakan secara daring oleh KPI dengan tema “Penyiaran Jurnalistik di Era Digital”, (15/7).

Yang terjadi saat ini, ujar Charles, media konvensional sekalipun sudah menggunakan platform digital untuk menyiarkan konten siaran mereka.  Bahkan untuk televisi yang memiliki format program berita, masyarakat dapat dengan mudah mengikuti siaran-siaran yang sudah lewat, karena tersedia dalam  platform digital. Charles yang merupakan anggota DPR RI dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berpendapat, harus ada yang meregulasi produk-produk jurnalistik di platform tersebut.  

Charles juga merinci tentang pengaturan terhadap dinamika perkembangan platform teknologi digital, diantaranya meliputi perluasan ruang lingkup pengaturan tersebut pada aturan hukum. Selain itu menurutnya harus ada pemberian pengaturan atas fungsi yang jelas dalam penyelenggaraan penyiaran melalui platform digital agar tetap terbangun kontrol sosial di masyarakat. Charles juga menilai pentingnya perluasan peran KPI dalam pengaturan penyiaran dengan teknologi digital yang didahului adanya penelitian terperinci tentang platform digital yang layak masuk dalam kewenangan KPI. “Bahkan perlu melihat best practice di Negara lain, bagaimana regulator penyiaran ikut juga mengawasi media baru,”ujarnya. 

Narasumber lain yang  ikut memberikan materi dalam Literasi Media tersebut adalah Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan, Hardly Stefano Pariela. Dalam membuat program jurnalistik di media penyiaran, menurutnya, haruslah senantiasa berada dalam tiga koridor, yakni kode etik jurnalistik, pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3 & SPS) serta orientasi kepentingan publik.  

Hardly memahami tantangan era digital saat ini demikian besar sehingga baik media lama dan media baru saling berkonvergensi dan juga bekerja sama untuk menghadirkan konten-konten menarik untuk masyarakat. “Saat ini media lama banyak mengambil berita dari media baru sementara media baru mengemas ulang berita dari media lama untuk kemudian diviralkan,” ujarnya. Namun demikian Hardly menegaskan setiap pemberitaan atau pun program jurnalistik, haruslah disiplin terhadap verifikasi. Hal ini penting untuk menghindari berkembangnya berita hoax dan disinformasi di tengah masyarakat. 

Terkait hoax sendiri, Hardly meyakini bahwa lembaga penyiaran bersih dari berita-berita hoax. Kalaupun didapat berita yang sejenis disinformasi, lembaga penyiaran pun selalu memberikan klarifikasi secepat mungkin guna melindungi publik dari informasi yang tidak tepat. 

Terkait framing dalam pemberitaan, Hardly menilai bahwa setiap media dimungkinkan untuk memiliki agenda setting, selama masih dalam bingkai KEJ, P3 & SPS dan berorientasi pada kepentingan publik. Berkaca pada munculnya polarisasi antara TV merah dan TV biru dalam Pemilu, Hardly menjelaskan bahwa KPI sudah  mengambil tindakan terulangnya kondisi di tahun 2014 pada Pemilu 2019 lalu. Namun demikian secara khusus Hardly menegaskan untuk tidak berharap agar semua informasi itu seragam.”Jangan juga kita berimajinasi atau berangan-angan bahwa semua informasi yang kita lihat dan kita dengar di televisi dan radio adalah informasi yang sama dan seragam,”ujarnya. Kalau itu yang menjadi imajinasi kita jangan-jangan kita sedang bermimpi kembali ke zaman orde baru, saat informasi hanya satu dan seragam dan  berasal dari apa yang dikatakan pemerintah atau negara.  Di era kebebasan ini, tentu televisi dan radio bahkan media-media baru bisa saja menyampaikan informasi dengan angle yang berbeda. Pada titik itulah, ujar Hardly, dapat dilakukan kontrol sosial. Adanya perbedaan sudut pandang dalam pemberitaan sebuah kebijakan, sah-sah saja dilakukan, selama masih dalam koridor regulasi dan juga orientasi kepentingan publik. 

Hardly memahami keluhan dari masyarakat tentang berbagai konten di televisi. KPI sudah memiliki saluran aduan untuk digunakan jika masyarakat menemui konten siaran televisi dan radio yang meresahkan. Namun demikian, Hardly juga berharap masyarakat pun dapat memberikan apresiasi terhadap siaran yang baik dan berkualitas. “Pada prinsipnya, pemirsa harus mampu mengenali dan memilih program siaran yang baik,”ujarnya. Selain kritis terhadap tayangan yang bermasalah, apresiasi publik terhadap siaran yang baik dapat membantu program-program lebih berkesinambungan. 

Literasi Media juga menghadirkan pembawa berita dari TV One, Brigitta Manohara sebagai narasumber. Kepada para peserta, Brigitta menyampaikan pengalaman berkiprah di program jurnalistik serta dinamika yang dihadapi ketika televisi akhirnya harus berhadapan dengan media baru seperti saat ini.

 

 

Jakarta -- Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengungkapkan, banyaknya hoax di media sosial membuat publik lebih memilih media televisi sebagai tontonan utama. Di tengah kondisi darurat Covid-19, televisi memang pantas menjadi sumber informasi terdepan, berkualitas dan terpercaya. 

Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI tahun 2019, jumlah stasiun televisi di Indonesia sebanyak 1.106. Angka ini membuktikan bahwa TV sebagai media mainstream masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam memperoleh informasi. Selain minat masyarakat pada televisi, media ini juga didukung adanya regulasi yang menaungi.

“Jangkauan sinyal internet yang tidak merata, membuat informasi lewat elektronik masih belum bisa mengalahkan eksistensi televisi di masyarakat,” kata Yuliandre saat mengisi diskusi berbasis daring yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas dengan tema “Pers Di Masa Pandemi” di Padang, Sumatera Barat, Selasa (14/7/2020).

Hasil riset Nielsen Media, mencatat akibat kebijakan tinggal di rumah sejak pertengahan Maret lalu, ternyata mempengaruhi kepemirsaan televisi. Bahkan, di Jakarta, kepemirsaan di segmen ini mencapai rating tertinggi yaitu 16 %. “Ini menjadi menarik karena penonton naik tapi pengiklan justru sepi,” kata Andre.

Presiden OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) Periode 2017-2018 ini menuturkan, KPI Pusat telah mengeluarkan imbauan untuk seluruh lembaga penyiaran terkait evaluasi muatan isi siaran selama masa pandemi Covid-19. Ada enam poin imbauan yang disampaikan KPI Pusat dalam surat imbauan bernomor 183/K/KPI/31.2/03/2020 diantaranya; 

1. Komitmen lembaga penyiaran untuk lebih masif menyampaikan informasi pencegahan dan penanggulangan COVID-19 terutama tindakan social/physical distancing melalui ILM di setiap program yang disiarkan atau setiap jam sekali. 

2. Memberikan contoh pelaksanaan social/physical distancing dengan tidak memuat program yang menampilkan visualisasi massa/penonton, baik secara live, tapping, maupun rekayasa editing kecuali diinformasikan secara jelas bahwa tayangan tersebut rekaman/recorded/re-run dalam bentuk running text atau caption di sepanjang penayangan program.

3. Menerapkan protokol pencegahan dan penanganan keamanan dalam bentuk physical distancing bagi host/presenter, kru penyiaran, jurnalis, narasumber, dan pendukung acara lainnya baik di dalam maupun di luar studio.

4. Mengingatkan kepada seluruh lembaga penyiaran agar patuh pada ketentuan terkait  perlindungan anak-anak dan remaja dengan: 

a) Memperhatikan ketersediaan program bagi anak pada pukul 05.00 hingga pukul 18.00 WIB dengan muatan, gaya penceritaan dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis anak-anak dan remaja;

b) selektif memilih materi tayangan agar tidak menstimulasi anak melakukan tindakan yang tidak semestinya ditiru atau dianggap lazim/lumrah seperti diberitakan akhir-akhir ini yaitu menikah pada usia muda, eksploitasi pernikahan dini, pengungkapan konflik rumah tangga, dan sebagainya;

c) Menampilkan konflik dan aksi/adegan kekerasan, bullying dalam rumah tangga, sekolah, dan lingkungan sosial lainnya;

d) membatasi adegan percintaan dan perselingkuhan.

5. Meminta lembaga penyiaran agar memperbanyak program siaran bertema pendidikan dan pembelajaran untuk membantu proses belajar mengajar anak di rumah.

6. Mengedepankan perbincangan yang konstruktif dan solutif dalam penanganan persebaran COVID-19 sebagai wujud kepedulian bersama. 

Sementara itu, Redaktur Pelaksana Harian Republika, Subroto Kardjo mengatakan, banyak bisnis di Indonesia hancur dihantam dampak dari Covid-19 dan salah satunya industri media. Mulai dari dari media cetak, online, radio, dan televisi semuanya terdampak. 

Menurutnya, berdasarkan pendataan yang dihimpun dari SPS terhadap 434 media hingga periode Mei 2020, sebanyak 50 persen perusahaan pers cetak telah melakukan pemotongan gaji karyawan dengan kisaran 2 hingga 30 persen. Sedangkan hasil pendataan dari 600 anggota Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) hingga Mei 2020 perusahaan radio sudah melakukan pemotongan gaji karyawannya sekitar 30 persen.

“Dunia pers sudah berusaha sekeras mungkin untuk melakukan penghematan dengan berbagai macam cara di tengah pandemi Covid-19,” katanya.

Lebih jauh, Subroto mengungkapkan, hasil dari jejak pendapat Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) terhadap 1.038 jurnalis dari 77 negara di bulan April 2020 bahwa selama pandemi corona kondisi reporter berita di seluruh dunia memburuk. 

“Tiga dari empat jurnalis menghadapi berbagai larangan, halangan, dan intimidasi ketika meliput pandemi corona dan dua pertiga dari pegawai perusahaan media atau jurnalis lepas mengatakan mengalami pemotongan gaji sampai kehilangan pekerjaan,” tegas Subroto. 

Akademisi Universitas Andalas, Dr. Wannofry Samry, menuturkan peran media massa diharapkan berujung pada perubahan perilaku masyarakat dalam menyikapi pandemi. Banyak berita yang terus menerus bermunculan dan membuat bingung masyarakat yang ingin mengikuti perkembangan virus ini.  

Menurutnya, perkembangan industri 4.0 telah membawa dunia tanpa sekat. Dalam kondisi seperti ini, batas-batas itu jadi hilang. Jarak antara orang dalam komunikasi begitu dekat. “Komunikasi menjadi terbuka, transparan. Jadi menutupi sesuatu justru akan menjadi masalah. Sebab informasi itu datang dari berbagai arah, baik dari media massa maupun dari media sosial,” tutup Wannofry. */Foto: Agung R

Jakarta -- Rencana pengesahan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) disorot sejumlah pihak termasuk stakeholder penyiaran. Pasalnya, di dalam rencana UU itu terdapat klausul pasal yang mengatur tentang penyiaran seperti penyelenggaraan izin siaran, pengenaan sanksi, serta percepatan pelaksanaan digitalisasi penyiaran di tanah air. 

Sebelum UU ini disahkan, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) mencoba mendalami isi rancangan UU ini khusus tentang penyiaran dalam sebuah seminar bertajuk “Menyoal Regulasi dan Digitalisasi Penyiaran dan Omnibus Law RUU Cipta Kerja” di Gedung DPR/MPR, Senayan, Rabu (15/7/2020) kemarin. Pembahasan ini dengan tujuan mencari titik temu dan masukan agar UU tersebut tidak menjadi soal di kemudian hari.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, salah satu narasumber seminar itu, memaparkan tentang pentingnya posisi KPI dalam rancangan UU tersebut lewat penguatan di beberapa titik seperti kelembagaan, perluasan pemantauan konten dan penjatuhan sanksi. Penguatan ini sudah sepantasnya diwujudkan agar selaras dengan kemajuan dan dinamika teknologi dan sistem penyiaran ke depan. 

“Penguatan kelembagaan KPI seperti soal bagaimana bentuk hubungan yang pas antara KPI Pusat dan KPID. Lalu penganggaran secara terpusat melalui APBN agar tidak ada lagi permasalahan kesulitan anggaran di KPID. Lalu kemudian, mengubah wajah struktur kesekretariatan KPI menjadi kesekjenan termasuk durasi masa jabatan komisioner. Ini beberapa hal yang perlu ada dalam UU tersebut jika Revisi UU Penyiaran belum tuntas,” katanya.

Di bidang pengawasan isi siaran, Agung mengusulkan adanya redefinisi penyiaran yang lebih kontekstual dan mengikuti perkembangan teknologi. Pasalnya, posisi KPI saat ini, berlandaskan UU Penyiaran tahun 2002, hanya berwenang mengawasi media analog. Sedangkan untuk media baru belum dapat dijangkau karena permasalahan definisi penyiaran yang masih terbatas. 

“Ini pada akhirnya harus juga memberi kewenangan kepada kami untuk memperluas wewenang pengawasan konten secara menyeluruh dan tanpa batas, baik pengawasan media konvesional, digital maupun media baru,” pinta Agung.

Terkait soal pengawasan siaran, ruang lain yang harus menjadi perhatian dewan dan pemerintah adalah wewenang memberikan sanksi terhadap pelanggar penyiaran. Selama ini, KPI memiliki pedoman penyiaran (P3SPS) untuk lembaga penyiaran bersiaran. Aturan ini sepenuhnya berisikan acuan bagi lembaga penyiaran dalam bersiaran seperti apa bentuk kontennya. “Jika ada pelanggar siaran, dengan mengacu pada pedoman tersebut, KPI menjatuhkan sanksinya. Kami berharap ini, UU Cipta Kerja dan produk turunan di bawahnya tetap memberikan kewenangan mengatur tata cara dan pemberian sanksi lewat KPI,” ujar Agung.

Kominfo dukung penguatan KPI

Masuknya klaster penyiaran dalam RUU Cipta Kerja banyak memunculkan pertanyaan seperti soal posisi dan kewenangan KPI. Sejumlah pihak mengkhawatirkan pasal-pasal dalam UU tersebut justru mereduksi kewenangan lembaga negara yang dilahirkan UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. 

Kekhawatiran itu kemudian diklarifikasi Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Kominfo, Prof. Ahmad M. Ramli. Hadir mewakili Kemenkominfo dalam seminar tersebut, Ramli menegaskan, pasal dalam UU Cipta Kerja tidak akan membuat KPI menjadi lemah. Bahkan, posisi KPI akan dikuatkan dengan kewenangan yang lebih luas dan kuat terkait pengawasan siaran. 

“Pemerintah tidak akan mereduksi KPI. Pemerintah justru memberi kewenangan penuh untuk KPI melakukan pengawasan konten. Kami tidak punya niat jelek hanya menginginkan industri penyiaran di tanah air sehat dalam berkompetisi,” katanya.

ATVSI dorong multi mux

Sementara itu, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mendorong DPR dan pemerintah menggunakan konsep multi mux  operator terkait pelaksanaan migrasi sistem penyiaran televisi analog menjadi digital dalam Omnibus Law dan RUU Penyiaran. Multi mux dinilai paling tepat karena akan melahirkan ekosistem penyiaran nasional yang sehat dibandingkan single mux.

"Kami di industri mengharapkan sistem multi mux yang dipakai," kata Ketua Umum ATVSI Syafril Nasution di seminar yang sama. Menurut Syafril, banyak nilai lebih multi mux dibandingkan dengan single mux.

Dia juga memaparkan sejumlah aspek yang membedakan antara kedua konsep tersebut. Dari jumlah operator, single mux hanya akan dikuasai satu badan hukum, yaitu Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI). Sementara jika multi mux, operator akan diserahkan kepada para industri yang tentunya tetap akan diatur pemerintah melalui tender maupun konsep-konsep lainnya.

Dari sisi persaingan usaha, Syafril menyebut single mux seolah-olah untuk melegalkan praktik monopoli. Dampaknya, sistem ini akan menciptakan persaingan usaha tidak sehat karena terjadinya posisi dominan. Dalam konteksi ini LPP RTRI akan menguasai seluruh proses produksi penyiaran.

"Nah ini kalau kita lihat di Pasal 2 dan Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengenai antimonopoli, itu sudah bisa dikatakan seperti monopoli, dikuasai oleh satu badan dan yang menentukan berapa biayanya. Ini akan tidak sehat," ujarnya.

Sebaliknya, jika konsep multi mux operator, ATVSI meyakini akan tercipta sistem penyiaran nasional yang sehat dan kompetitif. Sebab, Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) bebas menentukan pilihan untuk bergabung dengan multifleksing yang diinginkan.

Dari sisi infrastruktur, konsep single mux juga memiliki kelemahan. Pemerintah pasti akan terbebani karena harus membangun infrastruktur di seluruh Indonesia. Belum lagi, kata dia, pembiayaan operasionalnya. Sementara multi mux, pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia diserahkan kepada pemegang mux tersebut dan ini akan mengurangi beban pemerintah. ***

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan menjatuhkan sanksi teguran kepada dua program acara sinema elektronik (sinteron) di SCTV yakni “Buanglah Cinta di Hatiku” dan “Pesantren Rock N Dut”. Kedua tayangan ini ditemukan menayangkan adegan yang dinilai telah melanggar aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Demikian ditegaskan KPI Pusat dalam surat teguran tertulis untuk dua program tersebut yang telah dikirim ke SCTV, pekan lalu.

Berdasarkan laporan pengaduan masyarakat dan temuan tim pemantauan KPI Pusat, pelanggaran dalam sinetron  “Buanglah Cinta di Hatiku” terjadi pada 12 Juni 2020 pukul 15.10 WIB. Terdapat visualisasi pemeran pria mengenakan pakaian sweater bergambar payudara wanita. 

Hasil keputusan rapat pleno penjatuhan sanksi KPI Pusat menilai adegan tersebut telah melanggar 8 (delapan) pasal yang ada di P3SPS KPI antara lain Pasal 9 P3, Pasal 14 ayat (2) P3, Pasal 21 ayat (1) P3, Pasal 9 ayat (1) SPS, Pasal 15 ayat (1) SPS, Pasal 37 ayat (1) SPS, Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 3 ayat (4) SPS. Kedelapan pasal tersebut berkaitan dengan aturan tentang kewajiban menghormati nilai dan norma kesopanan serta kesusilaan dan perlindungan terhadap kepentingan remaja juga anak-anak.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan pihaknya telah meminta klarifikasi dari SCTV mengenai adegan dalam sinetron tersebut sebelum sanksi ini diputuskan. Pada saat klarifikasi itu, pihak SCTV  membenarkan jika ada tayangan gambar yang dimaksud dan menyatakan itu bukan kesengajaan. Meski tayangan tersebut rerun, mereka baru menyadari adanya temuan tersebut.

“Mereka telah meminta maaf atas ketidaksengajaan itu dan berupaya lebih jeli dan teliti agar tidak terjadi kesalahan serupa. Hasil klarifikasi tersebut kami bawa ke rapat penjatuhan sanksi dan memutuskan pelanggaran yang dilakukan program tersebut harus dikenakan sanksi teguran tertulis pertama,” jelasnya, Selasa (14/7/2020).

Mulyo menambahkan, tayangan sinetron “Buanglah Cinta di Hatiku” ini dilabeli klasifikasi  R yang artinya harus aman untuk penonton remaja. Sayangnya, penayangan gambar tersebut justru bertolak belakang dengan tujuan utama sebuah tontonan berkategori R yang ada dalam aturan P3SPS KPI.

“Padahal ceritanya sudah relatif baik, tapi sayang diciderai oleh gambar di sweater pemainnya. Sebenarnya kejadian gambar tak layak ini dapat dihindari dengan proses editing dan sensor internal yang ketat dan teliti. Bahkan ketika proses produksi, tim wardrobe dan crew lainnya harus sadar jika sinetron ini akan tayang di media publik. Temuan ini harus menjadi pelajaran bagi SCTV dan lembaga penyiaran lain untuk lebih jeli serta cermat dalam memproduksi dan melakukan sensor internal sebelum penayangan,” jelas Mulyo.

Sementara pelanggaran pada program siaran sinetron “Pesantren Rock N Dut” terjadi pada  1 Juni 2020 pukul 19.56 WIB. Terdapat adegan seorang pria yang melecehkan simbol agama yakni melakukan panggilan sholat dengan cara yang tidak semestinya. 

Ada 6 (enam) Pasal P3SPS yang dilanggar antara lain Pasal 9 P3, Pasal 14 ayat (2) P3, Pasal 21 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 37 ayat (4). Keseluruhan pasal terkait penghormatan nilai dan norma kesusilaan serta kesopanan dan juga perlindungan terhadap anak dan remaja dalam isi siaran.

Menanggapi kasus ini, Mulyo mengatakan, teriakan yang dilakukan pria di dalam cerita itu dinilai tidak mencerminkan penghormatan terhadap rumah ibadah (musala). Hal ini jelas berbenturan dengan aturan yang ada dalam P3SPS tentang kewajiban lembaga penyiaran menghormati nilai dan norma agama. 

“Meski ini hanya cerita dalam sinetron, tapi harus ada pemahaman tentang penghormatan terhadap nilai-nilai agama, termasuk bagaimana perilaku dan etika kita berada di rumah ibadah. Hati-hati dengan muatan-muatan sensitif. Jangan sampai  bermain-main dengan kreativitas yang justru bisa menyinggung nilai-nilai agama apa pun", jelas Komisioner KPI Pusat bidang Isi Siaran ini.    

Selain itu, lanjut Mulyo, elemen lain yang harus diperhatikan SCTV dan juga lembaga penyiaran lain adalah menepatkan kepentingan anak dan remaja sebagai salah satu kelompok rentan yang patut dilindungi dari isi siaran yang negatif. “Jangan sampai mereka menganggap kejadian tak pantas tadi sebagai hal yang lumrah atau biasa dalam kehidupan sehari-hari. Ingat, televisi bisa diakses dengan mudah oleh siapa pun termasuk anak-anak. Karena itu sensor internal harus berlaku dan mengacu pada P3SPS KPI,” tandasnya. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.