Jakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, menerima kunjungan Serikat Pekerja Indonesia (SPI) di Kantor KPI Pusat, Jumat (28/6/2019). Dalam kesempatan ini, Ketua KPI menyampaikan pentingnya pesiapan para pekerja menghadapi tantangan di era revolusi industri 4.0.
“Kita harus siap menghadapi era ke depan ini karena persaingannya akan semakin ketat meskipun di satu sisi revolusi ini mempermudah kita. Jika kita tidak mengikuti perubahan maka kita akan terpinggirkan, inilah konsekuensinya. Karena itu, pekerja harus ikut perubahan yang ada,” kata Andre, panggilan akrabnya.
Menurutnya, hampir semua aspek kehidupan terjadi perubahan semisal transportasi, belanja, dan bidang lainnya seperti adanya televisi streamin. “Televisi streaming bukan masuk ranah kami tidak ada aturan yang mengikat. Padahal TV ada aturan yang lebih ketat,” tambah Andre.
Dalam kesempatan itu, salah satu peserta menanyakan alasan media mainstream yang hanya meliput isu tertentu. “isu yang semisal pekerja illegal yang ada di Arab yang jumlah banyak tidak diliput. Kami hanya melihat di internet dan media sosial apakah hal itu tidak bisa atur oleh KPI,” kata Saleh, penanya tersebut.
Yuliandre mengatakan, pihaknya akan berupaya dengan kekuatan yang dimiliki tanpa harus melanggar Undang-undang yang ada yakni UU Penyiaran. ***
Solo - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI menggelar Sosialisasi Regulasi dan Kebijakan Penyelanggaraan Penyiaran tentang Pedoman Pendirian Lembaga Penyiaran Jasa Penyiaran Radio Siaran Frequency Modulation (FM) untuk Keperluan Khusus. Kegiatan yang digelar di The Alana Hotel Solo, menghadirkan Komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio.
"KPI akan berkomitmen mengawasi isi siaran Lembaga Penyiaran untuk keperluan khusus," ujarnya di depan hadirin yang berasal dari KPID dan Balai Monitor seluruh Indonesia serta beberapa asosiasi lembaga penyiaran, Kamis (27/6/2019).
Lembaga Penyiaran untuk keperluan khusus terdiri dari kebencanaan, pendidikan dan kesehatan masyarakat. "Isi konten siaran harus sesuai dengan keperluan khususnya atau bidangnya. Kalau kebencanaan ya 80 persen isinya kebencanaan. Berlaku juga bagi yang lain," lanjut Agung.
Sebagaimana dipahami dalam regulasi penyiaran, Lembaga Penyiaran yang didirikan untuk keperluan khusus wajib menyiarkan 80 persen siaran sesuai bidangnya dan 20 persen menyiarkan di luar kebidangannya. Keberadaan lembaga penyiaran keperluan khusus ini juga dinilai sangat mendesak karena kebutuhan masyarakat akan informasi tentang kebencanaan, pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Selain Agung Suprio, hadir juga Syaharuddin, Sudarmedi, Aditya Warman dan Hari Purnomo sebagai narasumber. Kegiatan Sosialisasi ini dibuka langsung oleh Direktur Penyiaran Kominfo Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Direktorat Penyiaran, Geryantika Kurnia. Met
Bogor – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyelenggarakan Sekolah P3SPS bagi kalangan media dan masyarakagt umum di Bogor, Jawa Barat, 25-26 Juni 2019. Sekolah ini diharapkan mampu membekali kalangan media khusus di media penyiaran kemampuan menghasilkan siaran yang ramah anak.
“Peran media sangatlah penting untuk mempengaruhi perkembangan tumbuh kembang anak, oleh karenanya dengan adanya kerjasama KPI dan KPPPA dapat menjadi bekal kepada para pelaku industri penyiaran untuk dapat mengahasilkan program-program siaran yang ramah anak,” kata Asisten Deputi Partisipasi Media KemenPPPA, Fatahillah.
Diakui Fatahillah, saat ini sangat jarang televisi membuat program khusus anak. Malahan, dalam pemberitaan yang kontennya melibatkan anak-anak baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan tidak diblur wajahnya. “Bahkan, ketika ada bencana reporter cenderung mengeksploitasi anak-anak untuk diwawancarai terkait perasaan saat terkena bencana dan menjadi korban kejahatan,” tambahnya.
Seharusnya, kata Fatahillah, media harus memperhatikan hal itu karena anak-anak wajib mendapatkan perlindungan baik dari psikologisnya maupun fisiknya. Pasalnya, anak-anak sosok yang paling rentan terhadap traumatik.
Hal yang sama disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah. Perlindungan terhadap anak, kata Nuning, merupakan perhatian utama lembaganya. Karenanya, di berharap seluruh konten diharapkan sangat ramah dan berperspektif terhadap anak dan remaja. “Ketika bicara penyiaran terhadap anak artinya penyiaran anak itu penyiaran ataupun program siaran oleh anak yang pengisi acaranya adalah anak-anak,” katanya.
Meskipun demikian yang paling utama adalah pengaturan regulasinya. Menurut Nuning, anak tidak bisa diperkerjakan lebih dari jam anak. “Oleh karenanya, ketika kami temukan ada program televisi yang melibatkan anak-anak di luar jamnya, akan mendapatkan sanksi dari KPI,” katanya.
Nuning meminta lembaga penyiaran menghormati hak anak-anak yakni hak untuk istirahat, hak anak untuk bermain. Kemudian, penyiaran untuk anak yang aman untuk saat ini adalah program siaran yang ramah anak dan punya perspektif anak. “Bisa jadi sekarang ini ada program yang disinyalir diasumsikan ramah anak tapi banyak sekali kartun-kartun yang penuh dengan muatan kekerasan, seksualitas,” jelasnya saat membuka Sekolah P3SPS tersebut.
Sekolah yang berlangsung dua hari ini diikuti puluhan perwakilan dari media penyiaran, mahasiswa dan masyarakat umum. Sebagai peserta terbaik pada Sekolah P3SPS Angkatan XXXIX, Ahmad Alhafiz dari MNC TV. ***
Jakarta – Dalam dunia penyiaran, fakta harus membentuk opini, bukan sebaliknya. Ini menjadi pedoman wajib bagi kerja jurnalistik di dunia penyiaran yang diawasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Hal ini ditegaskas Ketua KPI, Yuliandre Darwis dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat bertajuk “Pers di Pusaran Demokrasi” di Ruang Serba Guna, Kemenkominfo, Jakarta, Rabu (25/6/2019).
Ia menambahkan bahwa dalam kondisi arus informasi yang begitu gencar dengan banyaknya saluran media yang terjadi adalah opini membentuk fakta.”Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama,” tukasnya.
Menurutnya harus ada literasi publik yang maksimal agar publik paham dalam memilih informasi yang benar termasuk di media penyiaran.
“Sayangnya KPI bukan lembaga negara yang superior. Belum memiliki kekuatan untuk mengeksekusi apapun bentuknya,” jelasnya.
Ditinggalkan Pemirsa
Selama ada KPI, Media penyiaran kata dia, akan berjalan sesuai koridor UU yang berlaku.
“Media arus utama juga masih dipercaya masyarakat, jika ada yang turut menyiarkan hoaks maka akan ditinggalkan oleh pemirsanya,” imbuhnya.
Ia menambahkan bahwa media arus utama harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Juga dapat bertahan dengan arus informasi dari berbagai saluran yang begitu deras.
Dalam kasus Pemilu 2019, KPI memiliki petunjuk sesuai dengan ukuran proporsionalitas berdasarkan etika jurnalistik yang dilakukan oleh media penyiaran.
Untuk masa Pemilu 2019, KPI mengawasi 16 jaringan TV nasional, 800 TV lokal dan 2000 radio di seluruh Indonesia. “Alhamdulillah berjalan dengan baik sesuai dengan petunjuk yang kita buat untuk dipatuhi,” tegasya.
Ia mengatakan bahwa media arus utama yang terkena sanksi berupa teguran ada juga namun belum sampai pada sanksi yang berat seperti pencabutan izin siaran.
KPI kata Darwis selalu berkolaborasi juga dengan Dewan Pers khususnya penerapan kode etik jurnalistik dalam pemberitaannya.
Menurutnya, hingga pemilu selesai pemberitaan pemilu di media arus utama cukup proposional.”Bahkan hoaks yang diributkan di media arus utama ternyata salah. Karena yang disebarkan tu adalah berita lama yang diedit dan disebarkan di media sosial sehingga menjadi viral,” tukasnya.
Turut hadir sebagai narasumber dalam FMB 9 kali ini antara lain Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S Depari dan Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga Dewan Pers Agus Sudibyo. Red dari pontas.id
Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, menjadi salah satu narasumber seminar nasional di Konferensi Penyiaran Indonesia yang berlangsung di Padang, Selasa (25/6/2019).
Padang – Perubahan Undang-undang (UU) Penyiaran No.32 tahun 2002 harus segera dilakukan untuk mengatisipasi cepatnya perkembangan teknologi. Selain itu, jika tidak dilakukan kemungkinan Indonesia akan banyak mengalami kerugian. Hal itu ditegaskan Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, ketika menjadi salah satu narasumber Seminar Komunikasi dan Media Penyiaran pada Konferensi Penyiaran Indonesia di Padang, Sumatera Barat, Selasa (25/6/2019).
Sampai saat ini, kata Agung, Indonesia belum mengubah sistem penyiaran nasional dari analog ke digital yang mengakibatkan penggunaan frekuensi jadi berlebih dan tak ada ruang untuk internet. Efek lain yang muncul akibat ini, lemahnya pertumbuhan industri kreatif di dalam negeri.
Menurut Agung, yang harus segera dilakukan adalah DPR segera mengesahkan rancangan UU Penyiaran. Jika UU Penyiaran perubahan ini tidak diketuk, pemerintah harus ambil alih dengan membuat semacam peraturan atau permen tentang migrasi dari analog ke digital.
“Hampir seluruh negara di dunia sudah melakukan migrasi ini. Di Asia Tenggara, tinggal dua negara yang belum melakukannya yaitu Myanmar dan Indonesia. Butan negara yang kecil dan jarang terdengar sudah melakukan perpindahan itu. Teknologi semakin berkembang cepat dan tak terbendung. Oleh karena itu kita harus cepat mengadaptasinya,” kata Agung di depan peserta seminar.
Akademisi dari Univeristas Padjajaran, Atwari Bajari, mengatakan pergeseran yang terjadi harus menjadi perhatian khususnya bagi lembaga penyiaran konvensional seperti radio. Media penyiaran harus mampu berdaptasi dan juga mereorganisasi.
“Revenew pada media konvensional sudah mengecil. Ketika hal itu diambil media baru, mereka sudah tidak kebagian jatah iklan dan hal itu sudah terjadi pada radio di Bandung. Sebenarnya pasti akan ada perlawanan terhadap perkembangan tersebut dengan proses kreatif. Reorganisasi ini telah dilakukan di Cina dan New Zealand,” kata Atwari yang menjadi salah satu narasumber seminar.
Menurut Atwari, tidak ada pemenang di era konvergensi. Polemik di ruang virtual akan selesai dengan sendiri. Melalui prose itu, ada pembelajaran atas ketidastabilan menuju kepada kestabilan. “Dalam era ini tidak ada yang menang. Ketika AS menjadi super power, Cina justru mengintip kelemahan negara adidaya tersebut. Dan, muncullah 5G,” tambahnya.
Sementara itu, Datuk Prof. Ismail Sualman, Akademisi Komunikasi dan Penyiaran dari Universitas Teknologi Malaysia (UTM), mengatakan teknologi harus bisa dipresdiksi karena akan terus berkembang. Karenanya, kalangan perguruan tinggi khususnya mahasiswa harus ikut terlibat dengan ikut berpikir sekaligus beradaptasi sejalan dengan perkembangan tersebut. ***