- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 2444
Jakarta - Munculnya fenomena konten viral media sosial yang muncul di televisi, pada prinsipnya tetap harus berpatokan pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2012. Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, Hardly Stefano Pariela mengatakan, dinamika media saat ini memang membuat pengelola siaran di televisi dan radio untuk berbuat kreatif dalam menjaring penonton melalui program siaran. Karenanya dapat dimengerti kalau konten viral media sosial diangkat di televisi, dengan tujuan mendapatkan pemirsa yang besar.
Namun demikian, konten viral media sosial tak bisa serta merta diadopsi begitu saja di medium penyiaran, tanpa ada seleksi yang ketat. Pada prinsipnya aturan di media sosial dan media penyiaran berbeda. Untuk itu, jika ingin mengangkat konten media sosial di platform teresterial, cobalah pada sisi yang berbeda dari media sosial. “Sehingga konten viral tersebut dapat dikelola untuk menjadi lebih bermanfaat bagi publik,” ujar Hardly.
Hal ini disampaikan Hardly dalam talkshow TV Parlemen bersama anggota Komisi I DPR RI Bobby Rizaldi, di Gedung Nusantara II, (30/1). Talkshow yang bertajuk “Harapan Baru Komisi Penyiaran Indonesia”, membahas tantangan Komisioner KPI Pusat yang baru terpilih dalam mengawal konten penyiaran selama tiga tahun ke depan. Dalam kesempatan tersebut hadir pula anggota Komisi I DPR RI Bobby Rizaldi dari Fraksi Partai Golkar.
Menurut Bobby, kinerja KPI saat ini sudah cukup baik. Namun untuk KPI periode selanjutnya, dia mengharapkan dapat bekerja lebih baik lagi. Tantangan paling dekat bagi KPI adalah pengawasan penyiaran pada masa kampanye Pemilihan Umum 2024. Bobby mengatakan, saat ini regulasi terkait pengawasan penyiaran masa kampanye sudah ada. Yang dibutuhkan tinggal ketegasan dari KPI dalam menindak semua pelanggaran dalam rangka menjaga keberimbangan dan keadilan bagi seluruh kontestan pemilu.
Terkait tahun politik ini, Hardly mengingatkan peran media dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. “Kampanye kan ajang sosialisasi agenda dan wahana untuk pendidikan politik. Media harus mengambil peran di sana,” ujarnya. Belajar dari Pemilu 2019 lalu, Hardly berharap KPI ke depan dapat memastikan keberimbangan pada penyiaran Pemilu 2024. “Yang juga penting adalah mendukung peran serta media dalam mengawasi penyelenggaraan Pemilu agar tetap berlangsung secara jujur dan adil,” tegasnya.
Komisioner KPI juga harus paham bahwa dinamika penyiaran ke depan memerlukan inovasi dan ketangkasan dalam pembuatan regulasi. Hardly berterima kasih pada Komisi I DPR RI yang memberikan dukungan besar pada KPI, termasuk untuk melakukan modernisasi alat pemantauan langsung di KPI Pusat. Bobby sendiri berharap, kinerja KPI semakian meningkat dengan penegakan mutu kualitas siaran yang akan memberi kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. “KPI ini mukanya Komisi I di masyarakat,” ujar Bobby.
Sebagai perwakilan masyarakat, tentu KPI pun harus terbuka menerima semua masukan dan kritik dari masyarakat melalui dinamika yang unik. Prinsipnya, KPI harus mampu berinovasi dengan perkembangan teknologi, responsif pada masyarakat dan komunikatif pada DPR, ujar Hardly. Ruang komunikasi dengan Komisi I DPR RI harus dibuka dengan baik, agar KPI selalu mendapat dukungan dalam menjaga tugas dan fungsi sebagaimana arah dan tujuan terselenggaranya penyiaran menurut undang-undang.
(Foto: KPI Pusat/ Agung R)