- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 11890
Jakarta - Pengaturan media baru jangan dipahami sebagai upaya mengekang kebebasan berpendapat ataupun berekspresi di tengah masyarakat. Perkembangan sosial baik secara global dan regional sekalipun, tentunya sudah tidak memungkinkan lagi untuk kembali pada era saat dikekangnya kebebasan berekspresi. Pengaturan ini diperlukan untuk mencegah dampak negatif sekaligus untuk mengoptimalkan dinamika digital saat ini agar berdampak positif bagi publik. Komisioner bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Hardly Stefano Pariela menyampaikan hal tersebut dalam Seminar Daring yang diselenggarakan Lembaga Sensor Film (LSF) dengan tema “Realitas dan Kebijakan Media Baru di Indonesia”, (06/8).
Hardly menegaskan bahwa kita tidak mungkin melawan gerak sejarah peradaban manusia yang semakin maju dalam era digital ini. Namun harus dipahami pula, bahwa keyataan saat ini menunjukkan media baru memiliki pengaruh yang demikian kuat di tengah masyarakat serta dampak sosial yang besar melebihi media konvensional yang lebih dahulu eksis. Jika saat ini media yang dianggap arus utama mendapatkan pengaturan, ujar Hardly, seharusnya media baru pun menerima perlakuan yang serupa.
Dalam kesempatan itu Hardly memaparkan perbandingan kondisi media baru dan media lama atau media konvensional seperti radio dan televisi saat ini. Menurutnya perlu konsensus bersama untuk menyepakati hal-hal yang harus mendapat pengaturan lebih rinci dalam media baru, seperti misalnya konten kekerasan, seksualitas, dan radikalisme. Hardly berpendapat harus ada pengaturan yang seragam baik di media baru atau pun media lama guna memberikan perlindungan bagi publik atas muatan siaran yang dianggap berbahaya dan menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat.
Pengaturan media baru ini, menurut Hardly, harus juga mencakup perlindungan atas konten karya anak bangsa, diantaranya mencegah terjadinya pembajakan baik secara sengaja ataupun tidak. Termasuk juga memberikan kesempatan bagi karya dalam negeri ini untuk terakomodasi dalam berbagai platform media. “Data yang ada menunjukkan pengguna internet di Indonesia mencapai 174 juta, tentu menjadi pasar potensial bagi sineas dalam negeri,” ujarnya. Selain itu, Hardly juga memandang perlunya pengembangan industri konten kreatif dalam negeri serta pecegahan dampak dari konten yang negatif. Hal penting yang perlu diperhatikan juga adalah terkait pendapatan negara dari industri konten ini. Dengan adanya pengaturan terhadap media baru, potensi pendapatan negara juga meningkat.
Sedangkan terkait kelembagaan pengawasan, Hardly menegaskan lembaga apapun yang akan mengawasi media baru menjadi kewenangan dari pembuat undang-undang. Namun menurutnya yang penting lembaga tersebut haruslah representasi dari civil society. “Bukan merupakan representasi ataupun kekuatan negara,” tegasnya. Harus perwujudan dari masyarakat sipil yang mampu melakukan pengaturan secara dinamis berdasarkan partisipasi publik.
KPI sendiri hingga saat ini tetap menjalankan amanat undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, yakni bersama masyarakat ikut mengawasi televisi dan radio. Harapannya di tengah disrupsi digital ini, televisi dan radio dapat menjadi referensi siaran baik dan berkualitas, minimal dengan dampak negatif yang jauh lebih kecil.
Selain regulasi, dalam era disrupsi informasi saat ini, Hardly menilai kapasitas literasi media masyarakat menentukan kualitas informasi dan hiburan yang diproduksi, direproduksi maupun disebarkan. Dengan kapasitas literasi yang baik, Hardly meyakini masyarakat dapat terlibat dalam membangun peradaban digital, dan bukan menjadi residu atau sampah peradaban digital. “Sehingga ke depan kita dapat membangun peradaban digital berbasis berbagai konten lokal di Indonesia,”pungkasnya.