Denpasar -  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat secara resmi memberikan sanksi teguran tertulis kepada film animasi Spongebob Squarepants beberapa waktu lalu. Karena beberapa adegan dalam kartun tersebut mengandung unsur kekerasan. Namun terlepas dari itu, stasiun televisi (TV) memang menyajikan banyak tayangan. Mulai dari kartun hingga sinetron.

Lalu, seperti apa pengamatan Luh Ayu Aryani, sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Bali, ketika anak-anak ini disuguhkan oleh tayangan TV yang beragam, mulai dari kartun hingga sinetron?

1. Anak-anak cenderung tidak melihat satu tayangan TV saja

Aryani mengungkapkan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk janin dalam kandungan. Jumlah anak mencapai 34 persen dari keseluruhan populasi Indonesia.

"Kesukaan mereka soal film berbeda-beda. Ada yang suka film kartun, ada yang suka film pengetahuan, olah raga, sinetron, film budaya dan sebagainya," ujarnya saat dihubungi, Kamis (19/9) lalu.

Dari pengamatannya, anak-anak cenderung tidak melihat satu tayangan TV saja. Sebab hal ini dipengaruhi oleh banyak hal, satu di antaranya terkait pola asuh keluarga.

"Tidak semua anak suka satu jenis film saja. Kesukaan mereka biasanya sesuai dengan usia dan fase tumbuh kembang mereka, kondisi lingkungan, pola asuh keluarga, masyarakat dan negara yang selalu ada tantangannya," jelas Aryani.

2. Bukan sinetron maupun kartun yang dipermasalahkan, melainkan seberapa jeli orangtua mengasuh anaknya

Menurut Aryani, tidak masalah jika anak-anak menonton tayangan sinetron dibandingkan kartun. Asalkan jangan sampai kelewatan.

"Bukankah sinetron satu keniscayaan di lingkungan anak yang disuguhkan oleh semua saluran televisi? Jadi itu jangan terlalu dimasalahkan," katanya.

Aryani justru menekankan, sebenarnya yang menjadi masalah terletak pada orangtua yang harus jeli melakukan pengasuhan terhadap anak, bukan tayangan TV.

"Masalahnya justru pada orangtua. Seberapa jeli mampu melihat potensi dan bakat yang berkembang pada anak, untuk kemudian melakukan dimensi pengasuhan dengan baik dan tepat. Ini saya katakan, karena fase perkembangan setiap anak tidak ada yang sama. Di usia tertentu, anak satu lebih suka nonton sinetron, sementara anak yang lain lebih suka kartun," jelasnya.

3. Orangtua harus memberikan bekal pengetahuan pada anak

Orangtua sebagai guru rupaka atau orang yang melahirkan, memberi makan, mendidik, memberi identitas, melindungi dari marabahaya dan membangun karakter anak, hendaknya selalu positif pada anak. Misalnya membekali diri pengetahuan dan keterampilan pengasuhan anak dalam keluarga, masyarakat maupun negara.

"Orangtua juga harus mampu membangun komunikasi, memberi perhatian, cinta dan kasih sayang pada anak sehingga anak mampu mengontrol panca indranya ketika melihat kenyataan di luar dirinya dengan selektif, apakah itu baik atau buruk, apakah itu boleh atau tidak, apakah patut atau tidak untuk diterima, ditiru atau dilaksanakan," ungkapnya.

Kenapa orangtua harus ekstra keras melakukan hal seperti itu?

"Ini penting agar kita tidak selalu menyalahkan dan menghukum anak. Bahwa anak dengan mudah dan cepat meniru sisi berisiko dari sinetron. Saya yakin itu karena kurangnya fungsi dan peran orangtua dalam pengasuhan terhadap anak dalam fase tumbuh kembangnya," tambah Aryani.

4. Bagaimana jika anak-anak menonton sinetron yang ada adegan tawuran dan lainnya?

Dari penjelasan di atas, Aryani berharap orangtua mau introspeksi diri agar melakukan fungsinya dengan baik. Apalagi saat ini sudah memasuki era millennial.

"Karena itu, mari kita sebagai orang dewasa introspeksi diri, sudahkah melakukan fungsi pengasuhan dengan baik. Sudahkah membekali diri dengan pengetahuan, wawasan dan keterampilan pengasuhan dengan memadai di era millennial ini," ujarnya.

"Masalahnya bukan pada jenis filmnya kartun atau sinetron. Yang terpenting untuk anak, yang ramah anak. Tidak ada unsur kekerasan bullying, pornografi atau hal lain yang belum layak ditonton anak," imbuh Aryani.

Lalu bagaimana jika anak-anak menonton sinetron yang ada adegan tawuran, kenakalan atau percintaan? Menurut Aryani, apapun adegan yang disajikan dalam sinetron, orangtua perlu menjelaskannya pada anak secara jelas.

"Tawuran itu terjadi karena konflik sosial, kenakalan itu terjadi karena kurangnya perhatian dan kasih saya orangtua pada anak atau perpecahan keluarga, dengan percintaan itu adalah proses pengenalan karakter anak laki dengan perempuan untuk belajar tumbuh dewasa tetapi bukan untuk melakukan adegan dewasa," katanya.

Dengan penjelasan-penjelasan seperti itu, anak-anak telah dibekali oleh pengetahuan secara kognitif untuk menjalani hidupnya kelak.

"Dengan begitu, anak menjadi terbekali pengetahuan kognitif, dan sikap (Afektif) dan termasuk nantinya tindakan (Psikomotorik) dalam menjalani kehidupannya. Dampak menerima, menyerap, melakukan dengan meniru adegan kekerasan itu baru akan terjadi jika anak lepas dari penanaman nilai-nilai luhur dan kering akan kasih sayang dan perhatian orangtua plus keluarga yang terpecah," tutup Aryani. Red dari IDN Times 

 

Batam - Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Batam, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dan Dinas Kominfo Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) melakukan sosialisasi pada lembaga penyiaran se-Kepri terkait pengawasan dan tindak lanjut hasil pengawasan iklan dan obat tradisional (OT) dan suplemen kesehatan (SK), Kamis (20/9/2019) pekan lalu.

Di awal sosialiasi, Kepala BPOM Batam, Yosef Dwi Irwan mengatakan, pihaknya telah melakukan pengawasan terhadap iklan dan obat tradisional di seluruh media termasuk penyiaran di Kepri. Pengawasan ini melibatkan Kemkominfo dan KPI untuk pengawasan periklanan di media online, televisi dan radio. “Pengawasan iklan obat tradisonal dan suplemen kesehatan tidak dapat dipisahkan dari pengawasan keamanan dan mutu produk secara umum,” katanya.

Menurut Yosef, produk yang secara substansi telah dinyatakan aman dan bermutu tinggi namun informasi produk tersebut tidak diterima masyarakat secara lengkap dan tidak objektif serta menyesatkan akan menyebabkan kesalahan dalam penggunaan. Ini dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi kesehatan.

Saat ini, lanjut Yosef, banyak obat tradisional bertebaran di pasar. Tidak sedikit masyarakat cenderung memilih obat tradisional ketimbang ke rumah sakit. Penyebabnya, obat tradisional cenderung lebih murah.

“Iklan obat tradisional dan suplemen makanan harus sesuai dengan persetujuan yang telah disetujui BPOM,” katanya lagi.

Soal promosinya, kata Yosef, Iklan obat tradisional dan suplemen makanan harus menggunakan bahasa “Obat tradisional untuk mata, telinga, hidung, penyakit kanker, tuberkolosis, penyakit kelamin, impotensi, tipus, kolera, tekanan darah tinggi, diabetes dan liver dilarang beriklan,” tegasnya.

BPOM juga melarang menggunakan klaim berlebihan dalam beriklan obat tradisional dan suplemen makanan. Seperti klaim jaminan umur panjang, awet muda dan, kecantikan, aman dan tanpa efek samping sehingga mendorong penggunakan terus menerus.

“Iklan juga tidak boleh menampilkan gambar pahlawan, monumen, lambang kenegaraan dan, unsur diskriminalisasi. “Iklan makanan dan minuman tidak boleh mencantumkan klaim apapun,” jelas Yosef.

Tahun ini, lanjut Yosef, pihaknya telah menargetkan sejumlah perkara dan ada 6 perkara yang ditangani. “Yang paling banyak temuan bermasalah pada izin edar pada kosmetik dan pangan,” ujarnya.

BPOM menyatakan akan memberikan teguran pada produsen obat tradisional dan suplemen makanan jika melakukan pelanggaran. “Jika berulang kali melakukan pelanggaran dan tidak mengindahkan himbauan BPOM, ada sangsinya,” sebutnya.

Dalam kesempatan itu, Yosef mengimbau masyarakat agar menjadi konsumen cerdas. “Cek kemasan dan pastikan tidak rusak. Baca label, pastikan ada izin edar, pastikan tidak kadaluarsa dan jangan tergiur diskon,” katanya.

Sementara KPID Kepri, melalui Hengki Muhari menyebut, lembaganya turut mengawasi iklan di lembaga penyiaran televisi dan radio. Bahkan, kata dia, Kominfo cukup tegas menyelesaikan masalah ini. Ada beberapa lembaga penyiaran yang dicabut izinnya oleh Kominfo.

Menurut Hengki, iklan dapat merubah mindset seseorang jika tidak cerdas menanggapi iklan tersebut. “Jangan sampai masyarakat kita menjadi korban iklan,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Dinas Kominfo Kepri akan menindak dan memblok iklan-iklan kesehatan hoaks. Red dari Posmetro

 

Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis.

Kendari -- Berkembangnya teknologi informasi menuntut setiap individu memiliki kemampuan menyaring setiap informasi. Hal ini untuk mencegah masuknya informasi negatif yang beresiko merusak masa depan generasi bangsa, menimbulkan keresahan sosial, publikasi pornografi maupun radikalisme. Selain itu, menyaring informasi akan menutup ruang bias informasi.

Pendapat tersebut ditegaskan Ketua KPID Sulawesi Tenggara (Sultra), Fendy Abdillah Hairin, di sela-sela memberi sambutan acara Literasi media yang diselenggarakan KPI Pusat di Swiss Belhotel, Kendari (19/09/2019). Kegiatan literasi yang mengusung tema Cerdas Mermedia Menuju Penyiaran Berkualitas dihadiri ratusan peserta dari unsur Guru, Murid Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, yang didaulat menjadi keynote speech, mengapresiasi antusias masyarakat Kendari ikut literasi media. Literasi ini, merupakan upaya mendorong masyarakat untuk bijak mengkonsumsi media.  “Saat ini, TV masih menjadi sarana penyedia informasi utama masyarakat dibanding media baru. Faktor penyebabnya media konvensional hampir tak ditemukan hoax,” jelasnya.

Meskipun begitu, masyarakat harus cerdas menonton TV agar tidak terpengaruh dampak negatifnya. “Tidak dipungkiri, konten TV saat ini, masih terdapat tayangan yang tidak berkualitas. Namun dengan menjadi penonton cerdas, tentunya akan mampu memilih tayangan yang mengedukasi,” kata Andre, panggilan akrabnya.

Untuk membantu masyarakat memilih tayangan yang berkualitas, KPI memiliki telah melakukan Riset Indeks Kualitas Program SIaran TV Periode Pertama dan hasilnya sudah dipublikasikan. “Diharapkan hasil riset itu dapat menjadi acuan masyarakat memperolah dan mengkonsumsi tayangan yang mendidik serta berkualitas,” tutur Andre.

Sementara itu, Kepala Dinas  Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Sultra, H. Kusnadi, saat membeka acara, mengapresiasi program literasi media yang diselenggarakan KPI Pusat. “Saat ini, Kominfo sedang gencar melakukan literasi media kepada masyarakat, namun lebih concern kepada media baru. Dengan adanya kolaborasi positif antar lembaga ini, diharapkan akan mendorong terciptanya masyarakat yang melek serta cerdas bermedia,” imbuhnya.

Kusnadi menekankan pentingnya sikap bijak dalam menggunakan media bagi masyarakat khususnya warga Sultra. “Faktanya kurang ada ratusan masyarakat Sultra mengakses konten negatif dan itu terekam dalam jejak digital masing-masing individu,” tandasnya. Tim liputan literasi media Kendari

 

Peserta dan narasumber kegiatan literasi media KPI Pusat di Kendari menyampaikan salam literasi. 

Kendari -- Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengajak seluruh masyarakat menjadi agen penyiaran dengan mengajarkan orang terdekatnya seperti keluarga dan teman untuk memilih dan menonton tayangan berkualitas. Apabila cara ini dilakukan secara massif, tayangan TV berkualitas akan menjadi keniscayaan. Permintaan itu disampaikannya di depan ratusan peserta Literasi Media KPI Pusat di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Kamis (19/09/2019).

Menurut Nuning, KPI tidak bisa bekerja sendiri dan memerlukan peran aktif seluruh elemen masyarakat untuk menciptakan tayangan yang sehat. “Anak memiliki daya ingat yang kuat dan meniru apa yang dilihatnya. Mereka juga mengikuti perilaku orang tua, karena itu sebagai orang tua kita harus mencontohkan mereka menonton tayangan berkualitas dan mendidik,” jelasnya.

Untuk mewujudkan keinginan itu, KPI memiliki program Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa. Program ini rencananya akan menggandeng sejumlah Kementerian, Lembaga, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kota.

Dalam kesempatan itu, Nuning menceritakan fenomena yang sedang viral terkait sanksi KPI untuk Program Siaran Spongebob Squere Pants The Movie. Sanksi itu membuat banyak masyarakat menghujat lembaga ini. Dia menjelaskan, jika publik melihat secara utuh tayangan tersebut, ditemukan dalam salah satu segment visual adegan kekerasan melempar makanan ke wajah dan adegan memukul kepala, memecah piring ketika akan makan.

Menurut Nuning, adegan itu dikhawatirkan jadi bahan tiruan. KPI menilai adegan telah melanggar aturan dalam P3SPS KPI. Dia menambahkan, yang paling penting diperhatikan dalam program anak harus adanya standar yang lebih dibanding program siaran lainnya. “Dengan selalu mengedepankan prinsip perlindungan terhadap anak, nir kekerasan dan nir eksploitasi,” jelasnya

Selain masalah sanksi, Nuning menceritakan bagaimana kualitas tidak sejalan dengan rating. Bahkan, yang terjadi justru banyak tayangan berkualitas sepi penonton sehingga umur program tersebut tidak panjang. “Jika sebagian besar masyarakat menonton tayangan yang berkualitas, maka secara tidak langsung lembaga penyiaran akan mengubah pandangan dengan mengikuti apa yang menjadi selera masyarakat,” kata Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan ini.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Jerry Sambuaga, mengapresiasi kinerja KPI Pusat sebagai regulator penyiaran. Menurutnya, pengawasan terhadap media konvensional yang dilakukan KPI dinilai efektif dan baik. “Seperti adanya jam malam atau dewasa, batasan konten asing, aturan sensor serta sanksi yang akan diberikan berdasarkan P3SPS,” katanya.

Dia juga berpesan pada peserta agar menyaring setiap informasi yang diterima.“Sering kali jari lebih cepat dibandingkan otak kita. Ini akan menyebabkan potensi penyebaran hoax ataupun ujaran kebencian,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Politisi Partai Golkar ini berharap kinerja KPI semakin baik ke depannya. “Seperti yang diketahui baru-baru ini, KPI mengeluarkan sanksi terhadap salah satu promo film Gundala karena adanya umpatan kasar pada salah satu scene. Ke depannya diharapkan akan ada aturan yang lebih mendetail terkait definisi umpatan kasar agar ada persamaan persepsi,” imbuhnya.

Kegiatan yang dimoderatori Komisioner KPID Sultra, Hesdiana, juga menghadirkan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Sultra Prof. Dr. Nasruddin Suyuti. Pada kesempatan itu, Nasruddin, ikut mengapresiasi kinerja KPI Pusat.

“Kita jangan selalu menyalahkan kinerja KPI Pusat, namun lembaga penyiaran juga harus patuh terhadap regulasi penyiaran agar tercipta tayangan yang berkualitas. Selain itu, masyarakat dituntut untuk lebih cerdas dalam mengkonsumsi tayangan TV,” katanya sekaligus menutup acara. Tim liputan Literasi Media Kendari

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, saat menyampaikan presentasi di Pelatihan Keberagaman Media yang diadakan Kemendikbud dan UNESCO, Rabu (18/9/2019).

Jakarta -- Mewujudkan keberagaman konten atau diversty of konten dalam penyiaran tak hanya soal aturan tapi lebih dari itu, diantaranya komitmen dan pelaksanaan. Pendapat itu disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, disela-sela acara Diskusi dan Pelatihan tentang Keberagaman Media yang diselenggarakan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan bersama UNESCO di Hotel Century, Jakarta, Rabu (18/9/2019).

“Persoalan keberagaman konten ini disebutkan dalam Undang-undang Penyiaran tahun 2002. Undang-undang yang lahir hasil dari gerakan reformasi menginginkan adanya keberagaman atau keadilan isi dalam penyiaran terutama untuk porsi konten lokal. Jadi, isi siaran itu tidak hanya datang dari Jakarta saja,” kata Mulyo.

Selain itu, keberagaman konten harus didukung dengan keberagaman kepemilikan atau diversty of ownership. Pasalnya, tanpa ada keberagaman kepemilikan akan mustahil keberagaman isi siaran di penyiaran Indonesia terwujud sepenuhnya. 

“Keberagaman kepemilikan ini sangat mempengaruhi konten. JIka kepemilikan media itu hanya dikuasi segelitir kelompok, isinya akan sama. Seperti yang terjadi sekarang, yang ada lebih banyak keseragaman konten meskipun ini juga dipengaruhi faktor seperti adanya rating dari lembaga survey tertentu,” lanjut Komisioner bidang Isi Siaran ini.

Namun demikian, Mulyo tetap optimis keberagaman konten dapat diimplementasikan dalam penyiaran di tanah air. Salah satu alternatif untuk mewujudkan adanya keberagaman tersebut melalui pelaksanan sistem penyiatran digital. “Di dalam penyiaran digital, banyak kanal yang dapat dimanfaatkan untuk menanyangkan konten dengan tema tertentu seperti budaya misalnya. Sayangnya, untuk merealisasikan ini harus menunggu revisi Undang-undang Penyiaran di DPR,” ungkapnya.

Dia juga menegaskan pihaknya akan tetap mendorong keberagaman konten dalam penyiaran secara berkelanjutan. “Walapun ada yang mengatakan konten lokal ini tidak seksi, tapi kami yakin suatu saat akan menjadi produk yang menguntungkan,” tandasnya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.