Jakarta – Pelaksanaan ASO (analog switch off) atau perpindahan dari siaran TV analog ke siaran TV digital di Indonesia telah dimulai secara bertahap sejak 2 November 2022 lalu. Momentum tersebut semestinya melecut lari kita mengejar ketertinggalan dari negara lain yang telah lama bermigrasi ke siaran digital. 

Tidak hanya itu, momentum penghentian siaran TV analog ini berdampak terhadap rencana ulang membahas kembali Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tersendat. Harapan RUU Penyiaran disepakati menjadi UU Penyiaran baru, menggantikan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 yang dinilai sudah tertinggal dengan perkembangan media saat ini. Termasuk prioritas menguatkan posisi dan kewenangan lembaga pengawasnya (KPI).

“Kita ini, Indonesia, sebenarnya tertinggal jika melihat wilayah-wilayah ASEAN seperti Thailand, Vietnam, itu sudah digital sejak lama. Apalagi Malaysia, Brunei dan Singapura. Jadi keterlambatan ini harus kita kejar agar kita ini selaku masyarakat terbesar dan wilayah terluas untuk di wilayah Asia Tenggara ini bisa sesuai dengan tetangga-tetangga kita,” kata Anggota DPR RI, Dave Laksono Fikarno, saat menjadi pembicara kunci dalam kegiatan “Literasi dan Sosialisasi Pengawasan Isi Siaran” yang berlangsung di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (10/11/2022).

Pelaksanaan ASO, lanjut Dave, harus diikuti dengan pembangunan infrastruktur digital secara cepat. Pasalnya, masih banyak daerah yang belum dapat menerima siaran teresterial sehingga berpengaruh terhadap penerimaan siaran TV digital. “Ini tantangan dalam digitalisasi penyiaran. Jadi yang pertama yang harus dilakukan adalah merealisasikan percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendukung digitalisasi tersebut,” pintanya.  

Dia kemudian mengaitkan proses digitalisasi penyiaran dengan RUU Penyiaran yang pembahasannya berjalan lamban. Padahal, pembicaraan soal digitalisasi telah dimulai pada 2012. “Kita berharap pada masa sidang ini, tahun ini, bisa selesai dan tahun depan mungkin KPI sudah baru, sudah memiliki skup ukur yang lebih jelas dan lebih tegas,” katanya.

Terkait rencana ini, Dave berharap pada industri penyiaran untuk satu suara. “Hal ini penting saya sampaikan karena RUU Penyiaran ini kenapa sebegitu lambannya hingga 10 tahun lamanya tidak selesai. Ini karena industri sering kali berdebat karena mendorong kepentingannya masing-masing. Sering kali tidak sepaham, padahal RUU itu sebenarnya sudah selesai di Komisi pada 2017, yang kemudian dibawa ke Baleg tapi di patahkan lagi hingga 2019 tidak bisa disahkan. Sementara di DPR kalau misalnya tidak selesai di masa satu periode, tidak bisa carry over jadi harus dimulai dari awal. Akhirnya berulang lagi, hingga berproses sampai sekarang,” jelasnya.

Dave juga menyinggung rencana RUU Penyiaran yang akan memasukkan aturan tentang penyiaran baru seperti siaran streaming. Menurutnya, kejelasan aturan yang menaungi medium siaran baru ini dapat dimasukan ke dalam RUU Penyiaran. 

“Siaran streaming, baik itu TV maupun radio, makin mudah diakses. Bukan kita bicara Netflik atau video, yang sudah makin banyak dan semuanya tidak ada penyaringan dari masyarakat ataupun pemerintah. Semuanya bebas menyampaikan pesan yang mungkin tidak sesuai dengan kebudayaan kita dan berdampak tidak baik,” ujar Dave dan berharap dinamika dalam pembahasan RUU Penyiaran mampu melahirkan UU Penyiaran yang berdampak baik untuk kepentingan publik.

Dalam kesempatan itu, Dave menyoroti lambannya pembagian STB untuk masyarakat. Selama dua tahun sejak UU Cipta Kerja disepakati, distribusi STB untuk masyarakat tidak mampu tidak berjalan maksimal. 

“Untuk itu, kita terus meminta Kemenkominfo agar TV-TV swasta yang mendapatkan fasilitas digitalisasi ini untuk dapat membagikan STB kepada masyarakat. Orangnya jelas siapa, data ada, tinggal dibagikan, anggarannya juga sudah ada. Ini juga untuk kepentingan industri media agar terus menyampaikan hasil informasi yang lebih baik, jernih, dan membua peluang kanal baru,” kata Dave. 

Di akhir penyampaian, Dave menilai penting proses literasi untuk masyarakat terutama dengan makin banyaknya konten dalam siaran TV digital. Literasi ini untuk menanamkan sikap kritis dan evaluatif terhadap konten siaran. Pasalnya, konten ini terkait dengan isinya yang baik atau sebaliknya. 

“Literasi ini penting untuk penyadaran kepada masyarakat agar sigap dan cepat melawan hoax. Informasi hoax itu, makin lama makin canggih. Memberikan argumen-argumen dan membuat foto serta video yang kadang isinya tidak lebih dari 90 detik. Sehingga masyarakat harus cepat menyerapnya, kalau lebih lama pasti orang bosen. Perlu kesadaran masyarakat yang tidak hanya masyarakat bawah tapi juga yang di atas,” tandasnya. 

Setelah paparan Dave Laksono, acara dilanjutkan dengan forum diskusi yang menghadirkan narasumber antara lain Wakil Ketua KPID DKI Jakarta, Rizky Wahyuni, dan Akademisi, Hamdani Massil. ***/Foto: AR

 

 

Jakarta - Lintasan sejarah kemerdekaan Indonesia telah mencatat kiprah dunia penyiaran dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan juga berawal dari usaha Bung Tomo mengobarkan semangat arek-arek Surabaya untuk ikut mempertahankan kemerdekaan melalui siaran radio. Dalam usia republik yang masih sangat muda, pendudukan pasukan Inggris di Surabaya saat itu mendapat perlawanan yang hebat sehingga memberi sebuah pesan kepada dunia, bahwa Indonesia masih ada. 

Untuk itu, radio dan media lainnya sebagai medium menyebarkan informasi, di hari ini harusnya ikut menjadi medium untuk mengobarkan semangat generasi muda. Tidak lagi untuk berperang menggunakan bambu runcing sebagaimana 77 tahun lalu, tapi untuk berperang melawan hoax dan ujaran kebencian dan sebagainya.  Komisioner Bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Nuning Rodiyah, menyampaikan hal tersebut saat memberi sambutan dalam kegiatan Sosialisasi dan Literasi Hasil Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, di Balaikota DKI Jakarta, (10/11).

Dalam momentum Hari Pahlawan ini, ujar Nuning, seharusnya dimanfaatkan betul oleh seluruh media, termasuk media baru seperti streaming dan over the top untuk secara konsisten ikut memerangi segala bentuk disinformasi yang mampu memecah belah integrasi bangsa. “Hoax, ujaran kebencian, kekerasan, pornografi, menjadi sebuah residu di media yang harus diperangi,” ujarnya. 

Dimulainya era digital yang ditandai dengan Analog Switch Off pada 2 November 2022, juga menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam pengelolaan dan pemanfaatan informasi. Nuning berpendapat, dalam penyiaran digital ini kapasitas literasi masyarakat harus ditingkatkan. “Setidaknya ada empat kapasitas yang harus dimiliki,” ujarnya. Yang pertama, kapasitas akses informasi, di era digital. Nuning menyampaikan, sejak ASO ditetapkan, banyak masyarakat yang mengeluh karena televisinya mendadak banyak semut. Tentunya harus disosialisasikan juga, cara mengakses televisi yang benar. “Kalau memang masih menggunakan televisi analog, berarti harus pasang set top box,” ujar Nuning. KPI sendiri berkepentingan dalam menjamin masyarakat mendapatkan informasi secara layak, mengingat hak atas informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia. Karenanya distribusi set top box kepada masyarakat yang berhak tentu harus tepat sasaran.

Selanjutnya adalah kapasitas menganalisis konten siaran dan media, tambah Nuning. Menurutnya, dengan digitalisasi penyiaran, menjadi sebuah keniscayaan bagi masyarakat untuk dapat menikmati konten siaran televisi lebih banyak. “Jika dulu hanya ada 18 TV di DKI yang bersiaran, sekarang terdapat 46 saluran televisi,” tegasnya. Kondisi ini tentu mengharuskan setiap orang memiliki kapastitas untuk memilah dan memilih program siaran yang sesuai dengan kebutuhan. Kapasitas literasi selanjutnya adalah kapasitas evaluasi. Menurut Nuning, salah satu tugas KPI adalah pengawasan konten siaran. KPI berharap, adanya partisipasi masyarakat untuk ikut mengampaikan pengaduan dan keluhan terkait konten siaran televisi dan radio. “Bagaimana pun juga, ada perspektif yang berbeda antara KPI sebagai pengawas konten yang selalu merujuk pada regulasi, dan perspektif masyarakat yang punya kepentingan terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang juga harus dijaga di ranah penyiaran,” ujarnya. 

Yang terakhir, ujar Nuning, adalah kapasitas apresiasi. Jika kritik dan evaluasi kerap disuarakan publik terhadap konten siaran, seharusnya apresiasi terhadap program siaran yang berkualitas juga ikut digaungkan dan diviralkan. Harus diakui, belum ada kesadaran di  masyarakat dalam mengapresiasi konten positif dan berkualitas. Padahal, ketika program siaran berkualitas banyak penontonnya, maka televisi dan radio akan terus memproduksi. Di satu sisi, jika pasar menunjukkan penonton yang banyak pada konten mistik, horor dan supranatural, maka layar kaca pun akan dikuasai hal tersebut. Nuning mengingatkan, untuk memastikan konten siaran dipenuhi dengan yang positif dan berkualitas, maka yang harus dilakukan adalah menonton atau mendengarkan konten-konten positif. Ini adalah bukti usaha kita dalam mendorong agara konten siaran baik itu di televisi ataupun di radio, selalu berkualitas, pungkasnya. 

Foto: KPI Pusat/ Agung. R

 

 

Serpong – Momentum Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berlangsung setiap tahun, secara regulasi, memang merupakan forum pengambilan kebijakan terhadap isu penyiaran. Selain itu, tentu juga menjadi sarana bagi seluruh anggota KPI untuk berbagi pengalaman dalam menerapkan kebijakan yang prakteknya kerap kali tidak sama di masing-masing daerah. Beragam Isu yang dibahas dalam Rakornas KPI 2022, diantaranya migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital, pelaksanaan Analog Switch Off (ASO), serta penguatan kelembagaan KPI di daerah.  Dalam Sarasehan Rakornas KPI 2022 yang digelar seusai Pembukaan Rakornas, Maman Suherman selaku Pengamat Media tampil sebagai pemandu acara.

Isu penting lain yang mencuat dalam dunia penyiaran adalah tuntutan hadirnya keadilan regulasi, baik dalam regulasi usaha dan regulasi informasi antara media baru dengan lembaga penyiaran. Saat diminta tanggapan atas pernyataan Kang Maman ini, Gilang Iskandar dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menyatakan, kita dorong saja DPR dalam revisi undang-undang. Panitia Kerja (Panja) sudah bergerak sekarang. “Bagi kita, ini unfair treatment,” tegas Gilang. Di satu sisi hoax, ujaran kebencian, sex bebas dan LGBT tidak ada di televisi free to air, kalau pun ada sangatlah sedikit. Di sisi lain, konten tersebut ada banyak di media sosisal dan Over The Top (OTT).  

Sementara dengan aturan yang ketat, lembaga penyiaran harus menghadapi mereka yang sekali merdeka, merdeka sekali. Termasuk dengan pertumbuhan pasarnya yang sangat besar, sejak tahun 2014 mencapai 15,1 persen. “Jika bicara garda pertahanan karakter bangsa dan nasionalisme kita, ya seharusnya lembaga penyiaran dibantu agar tetap eksis. Di lain pihak, mesti diatur nih barang transnasional bagaimana caranya,” tegas Gilang. Hal itu dapat diwujudkan dengan keberanian sebagaimana Inggris dan Australia membuat regulasi. “Tinggal keberanian politik saja, mau atau tidak. Dan kita akan berhadapan dengan negara besar,” tambahnya. Tapi demi keselamatan bangsa, kita harus mendorong DPR memasukkan aturan tersebut. Masukan lanjutan dari Gilang, kalau ternyata DPR menetapkan yang mengawasi konten media baru adalah KPI, maka KPI harus dilengkapi dengan alat-alat pemantauan yang lebih canggih dan anggaran yang lebih besar.

Senada dengan Gilang, perwakilan Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) Mohammad Riyanto juga menilai perlunya peraturan yang lebih spesifik untuk menjangkau platform media digital. “Sehingga ada satu pemikiran, arah regulasi juga dapat membuat keseimbangan pasar di tengah masyarakat,” ujarnya. 

Selain televisi, kebutuhan untuk aturan yang setara juga diserukan oleh pelaku penyiaran di radio. Ketika ditanya Kang Maman soal prediksi radio telah menjelang “sunset”,  Sekretaris Umum Pengurus Pusat Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) M Rafiq memaparkan terobosan yang ditempuh PRSSNI di era disrupsi digital. Di Indonesia yang berpenduduk 270 juta, ternyata smartphone yang online sebanyak 370 juta. “Artinya ada 100 juta orang yang memiliki telepon seluler lebih dari satu,” ujarnya. Ada 205 juta pengguna internet aktif di Indonesia, 93% mengakses internet menggunakan gadget. Dari 205 juta orang itu, tiga jam lebih dalam sehari bermain sosial media. “Alhamdulillah masih 2 jam 50 menit menonton televisi baik itu teresterial atau pun streaming. Celakanya yang mendengarkan radio tinggal 35 menit saja,” papar Rafiq. 

Dengan kondisi seperti ini, PRSSNI berusaha untuk tetap relevan dan hadir di 370 juta smartphone yang online selama delapan jam sehari. Saat ini PRSSNI bekerja sama dengan 3 aplikasi, diantaranya langit musik, sehingga 600 radio anggota PRSSNI akan dapat didengarkan siaran langsungnya melalui streaming di tiga aplikasi tersebut. “Dan kita juga siapkan audio on demand, podcast, features, sandiwara radio, playlist dan lain-lain,” terangnya

Tentu saja dengan kondisi seperti ini sangat diharapkan pemerintah membuat aturan terhadap konvergensi media. “Kenapa? Karena saya khawatir ada anggota PRSSNI yang nakal,” tegas Rafiq. Kita tahu persis bahwa iklan produk tembakau dan turunannya, iklan alkohol dan dan alat kontrasepsi diatur sangat keras untuk siaran teresterial. “Pada saat siaran streaming, saya khawatir pasti akan ada colongan. Pasti akan ada radio yang menayangkan iklan rokok tidak pada jamnya, toh streaming tidak apa-apa, kan tidak diatur, Kalau radio ditegur, pasti orang radio akan bilang kenapa tak kau tegur spotify?,” ungkapnya lagi. 

Diakui pula oleh Rafiq, saat ini dengan siaran yang konvergen tersebut, ada potensi menyiarkan lagu-lagu yang sebenarnya masuk daftar merah oleh KPI, yang disarankan tidak disiarkan kecuali setelah diedit. Tapi kalau siaran melalui streaming, tentu bukan pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Karenanya aturan konvergensi itu harus segera disusun supaya fair untuk kita semua, terangnya. 

Pengalaman di tahun 2019 misalnya, Rafiq memaparkan total radio expenditure mencapai 1,7 triliun. Tapi pada tahun yang sama, media order yang diterima oleh Spotify juga mencapai 1,7 triliun. Mungkin karena di sana dapat memutar lagu-lagu yang tidak bisa diputar di radio. Dia juga bisa pasang iklan yang tidak boleh disiarkan oleh radio, dan tetap aman. Jadi yang ditekankan adalah munculnya segera regulasi konvergensi media yang menyediakan ring tinju yang aman buat kita. “Yang diatur kita, tapi yang datang dari luar sana gak diatur,” tutup Rafiq. 

Foto: KPI Pusat/ Agung R

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kembali melanjutkan pembahasan tentang hak akses KPI dalam pelayanan permohonan penyelengggaraan perizinan penyiaran di dalam OSS (Online Single Submission). Hak akses ini untuk memudahkan KPI (KPI Pusat dan KPID) mengetahui lembaga penyiaran mana saja yang sudah berproses izin. 

Komisioner sekaligus Koordinator Pengeloan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat, Mohamad Reza, menyampaikan permintaan hak akses ini tidak lain untuk mengetahui secara terbuka daftar lembaga penyiaran yang telah melakukan proses perizinan penyiaran. “Ini untuk memudahkan kami untuk bisa mengetahui lembaga penyiaran mana saja yang sudah berproses perizinan. Kami juga ingin tahu secara legal penyelenggaraan perizinan seperti ini,” katanya.

Reza juga menyampaikan pihaknya telah menyiapkan alur bisnis yang telah dibuat KPI dan akan diserahkan kepada BKPM. “Tim IT dan legal sudah menyiapkan flowchartnya,” tambahnya.

Sementara Tim Pengembangan Teknis Aplikasi OSS, Agus, menyatakan telah menyiapkan dashboard (dasbor) atau papan istrumen untuk KPI dapat mengakses hak akses dalam OSS. Untuk bentuk dasbor seperti apa, semuanya diserahkan kepada KPI. “Nanti KPI perlu bersurat kepada BKPM yang tujuannya untuk meminta hak akses. Untuk formatnya, nanti kami akan sampaikan apa saja yang kami butuhkan untuk proses permintaan hak akses tersebut,” jelasnya.

Menanggapi keterangan pihak penyelenggara OSS dan BKPM yang menerima permintaan KPI untuk mendapatkan hak akses, Reza menyampaikan apresiasinya. Menurutnya, KPI tidak akan menambah-nambah dan akan menyesuaikan dengan Undang-undang yang berlaku. “Kami tidak ingin menjadi lembaga yang diambil tupoksinya karena tidak menjalankan tugas fungsinya,” tegas Echa, panggilan akrabnya.  

Kepala Sekretariat KPI Pusat, Umri, berharap proses ini dapat berjalan baik dan memperkuat bentuk SOP (standar operasional prosedur) agar aplikasi ini tidak disalahgunakan serta tepat guna. ***

 

 

Serpong- Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2022 merupakan momen pertama kalinya bagi KPI Pusat periode 2019-2022 untuk bertemu secara langsung dengan anggota KPI Daerah seluruh Indonesia. Setelah dua kali kesempatan dijalani dengan online, Rakornas 2022 yang digelar offline juga bertepatan dengan momentum migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital atau yang lebih dikenal dengan Analog Switch Off (ASO) pada 2 November 2022. 

Usai pembukaan Rakornas yang dilakukan oleh Deputi VII Kementerian Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia Arif Mustofa, agenda Rakornas dilanjutkan dengan sarasehan yang mengangkat dinamika penyiaran kontemporer. Dipandu Maman Suherman, sarasehan diawali dengan pembahasan ASO. Ketua KPID Papua Rusni Abaidata menyampaikan permasalahan penyiaran digital di Papua. Dia mengatakan, sebelum 2 November 2022, KPID Papua menyelenggarakan diskusi bersama Pemerintah Daerah dan Lembaga Penyiaran yang mengungkap sulitnya distribusi Set Top Box (STB) di wilayah Papua I oleh lembaga penyiaran penyelenggara multiplekser. Salah satu kendalanya adalah kurangnya SDM untuk melakukan distribusi dan teknis pendataan penerima STB dengan infrastruktur daerah yang lebih menantang. 

 

Secara konten, pelaksanaan digitalisasi penyiaran sebenarnya menjadikan keragaman konten sebagai sebuah kemestian. Ketua Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) Eris Munandar menyampaikan, jaminan kualitas memang merupakan tantangan tersendiri di era televisi digital. Terlebih semangat penting dari penyiaran digital adalah demokratisasi penyiaran yang salah satu unsurnya adalah keberagaman konten. “ASO sebagai starting point bangsa ini untuk beralih total dari analog ke digital,” ujarnya.  Saya pikir, era digital ini bukan sekedar keniscayaan dan alih teknologi, tambah Eris. Tapi ada satu hal yang sangat dinantikan masyarakat, salah satunya keberagaman konten. Hal ini yang menjadi tantangan bagi televisi lokal dalam penyiaran digital ke depan. “Termasuk runtuhnya oligarki informasi,” tambah Kang Maman sebagai pemandu acara. 

Sementara itu masukan lain disampaikan oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Santoso, yang hadir melalui sambungan video conference. ATVLI, ujar Santoso, mendukung migrasi penyiaran digital dan ASO yang memang merupakan sebuah keniscayaan. Tapi diantara masalah yang muncul dalam migrasi sistem penyiaran adalah keberadaan televisi lokal di daerah yang tidak mendapat perlindungan secara investasi dan hukum. “Salah satu kendala adalah biaya sewa multiplekser (mux),” ujar Santoso. Tahun lalu, TVRI mematok harga 14 juta, tahun ini 27 juta. Kemudian para pemegang multiplekse juga sudah mengedarkan surat pemberitahan adanya kenaikan harga sewa mux pada periode mendatang. “Bagaimana televisi lokal bisa hidup sedangkan pertumbuhan iklan saat ini juga harus bersaing dengan media baru,” ujar Santoso. 

Dirinya juga menyinggung tentang amar putusan Mahkamah Agung terkait mux yang menetapkan tidak boleh ada sewa menyewa mux. “Di mux ini ada indikasi sewa menyewa frekuensi”, tegasnya. Dari segi investasi, televisi lokal sudah menjadi korban dalam pelaksanaan penyiaran digital. Jangan sampai menjadi korban juga dalam hal hukum terkait sewa menyewa mux. Menurut Santoso, hal ini sebenarnya bukan masalah bagi televisi lokal saja, tapi juga televisi besar yang tidak punya mux di daerah sehingga harus sewa dari yang lain.

Foto: KPI Pusat/ Agung R

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.