Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan (Kemhan) melakukan pertemuan di Kantor KPI Pusat, Kamis (5/4/2018). Pertemuan membahas masalah minimnya siaran nasional di wilayah perbatasan serta strategi penanggulangan dampak negatif dari luberan siaran asing di wilayah tersebut.

Pertemuan tersebut dihadiri Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono dan Kepala Sekretariat KPI Pusat, Maruli Matondang yang didampingi bagian Penelitian dan Pengembangan KPI Pusat. Sedangkan dari Kemhan diwakil Kabid Doksismet Puslitbang Strategi Pertahanan Balitbang Kemhan, Kolonel Kav. Mushadi.

Kolonel Kav. Mushadi mengatakan, pihaknya ingin mengetahui secara mendalam bagaimana kondisi penyiaran dan mencari data di wilayah perbatasan dari KPI Pusat. Informasi ini akan menjadi masukan pihaknya Puslitbang Kemhan untuk mengambil langkah yang tepat dan strategis. “Kami juga akan berupaya meningkatkan akses media massa di wilayah perbatasan demi memperkokoh nasionalisme,” kata usai pertemuan tersebut.

Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan sebagian wilayah perbatasan tidak mendapatkan siaran nasional salah satunya karena tidak ada dukungan infrastruktur sehingga akses lembaga penyiaran untuk masuk mengalami kesulitan. “Hal ini perlu ditinjau karena akses untuk masuk itu sangat penting,” katanya.

Menurut Mayong, yang penting dilakukan sekarang adalah bagaimana sinyal siaran bisa merata ke wilayah-wilayah tersebut. Dan, jika akses siaran sudah masuk ke perbatasan yang perlu ditindaklanjuti adalah pemeliharaan infrastrukturnya seperti menara pemancar dan lainnya. “Jangan sampai tidak terpelihara,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Sekretariat KPI Pusat, Maruli Matondang mengusulkan Kemhan untuk berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah atau KPID yang daerahnya berbatasan langsung dengan negara lain. Menurutnya, KPID memiliki data lengkap dan penguasaan masalah yang terdapat di daerahnya. “Ini dalam rangka kita menengakkan dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia,” paparnya.

Minimnya siaran nasional di perbatasan sudah lama jadi masalah. Pemerintah dan stakeholder terkait termasuk KPI berupaya menyelesaikan permasalahan tersebut karena kekhawatiran akan lunturnya rasa nasionalisme masyarakat setempat yang banyak dibanjiri siaran negara tetangga. ***

 

Palu -- Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2018 di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), resmi ditutup Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Selasa malam (2/4/2018). Dalam kesempatan itu, Ketua KPI Pusat menyampaikan terimakasih kepada Gubernur, Pemprov, KPID Sulteng serta seluruh elemen yang membantu suksesnya penyelenggaraan Rakornas KPI dan Peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-85 di Palu.

“Kami mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Provinsi, KPID dan masyarakat Sulteng. Terimakasih atas keramahan dan kehangatannya,” kata Andre, panggilan akrab Ketua KPI Pusat.

Sebelum menutup acara, Ketua KPI Pusat mempersilahkan KPID yang ingin mengajukan daerahnya sebagai tuan rumah penyelenggaraan Harsiarnas dan Rakornas KPI tahun 2019. Kesempatan itu dimanfaatkan 5 (lima) Ketua KPID antara lain dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Papua Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Jawa Tengah (Jateng).

Untuk mengajukan diri sebagai tuan rumah, KPI Pusat meminta kepada KPID untuk menyerahkan berkas permohonan sebagai tuan rumah dari Pemerintah Provinsi  setempat. Keputusan daerah mana yang akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Harsiarnas ke-86 dan Rakornas KPI tahun 2019 akan diputuskan melalui rapat pleno KPI Pusat merujuk kondisi, keseriusan dan kesiapan daerah yang mengajukan diri. ***

 

 

Palu – Kekuatan media penyiaran harus diarahkan untuk memperkuat ketahanan nasional dan budaya untuk memperkuat identitas kebangsaan di tengah percaturan global. Lewat media penyiaran, kontribusi untuk penguatan nilai-nilai kebangsaan dan institusi demokrasi dapat dilakukan lebih massif. Termasuk membangun Indonesia dari pinggiran, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia yang memiliki daya kompetitif di dunia internasional, serta mendorong kemandirian ekonomi. Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Yuliandre Darwis, dalam sambutan membuka Seminar Utama Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2018 di Palu, (2/4).

Yuliandre menjelaskan bahwa perubahan teknologi dan komunikasi telah mengubah cara masyarakat dalam mengonsumsi informasi,  sehingga berdampak pada perubahan cara kehidupan berbangsa. Selain itu dirinya menyinggung pula pekerjaan rumah yang besar bagi dunia penyiaran. “Belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Penyiaran, persoalan status anggaran kelembagaan KPID, hadirnya informasi hoax dan hatespeech yang mengarah pada ujaran kebencian, serta program siaran yang masih berorientasi rating dan ekonomi”, ujarnya. Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran sudah menegaskan, selain berfungsi ekonomi, media penyiaran seharusnya memberi informasi yang benar, mengedukasi publik, menjadi kontrol dan perekat sosial kebangsaan. Jika fungsi-fungsi ini dijalankan dengan seimbang maka lembaga penyiaran dapat telah menunjukkan peran dalam memperkuat nilai-nilai kebangsaan, memperkokoh NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

Dalam kesempatan tersebut hadir pula Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Dr. Moeldoko yang menjadi pembicara. Moeldoko menegaskan bahwa KPI baik di pusat maupun di daerah dapat menjadi pahlawan dalam mengawal perubahan di era Revolusi Industri 4.0. “Untuk bisa menjadi pahlawan, syaratnya harus menjadi pemberani. Berani bersuara dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, dalam menghadapi dunia yang berubah sangat cepat, kompleks dan penuh risiko,” katanya. Hal tersebut disampaikan Moeldoko dalam seminar utama Rakornas KPI yang bertema “Menjaga Keutuhan NKRI melalui Dunia Penyiaran yang Sehat dan Berkualitas”.

Selain Moeldoko, hadir sebagai narasumber antara lain Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI Asril Tanjung, dan pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr Jimly Asshiddiqie, SH. Seminar ini dihadiri oleh anggota KPI Pusat dan KPI Daerah dari seluruh Indonesia. 

Sekarang ini, menurut Moeldoko, masyarakat sering diombang-ambingkan dengan informasi yang simpang siur dan tidak benar. “Contohnya, seringkali pemerintah dituding hanya membangun fisik, membangun infrastruktur saja. Padahal, jika dipahami lebih jauh, dalam pembangunan fisik dan infrastruktur, di dalamnya terkandung upaya membangun konektivitas, membangun mentalitas masyarakat, membangun peradaban manusia. Jika hanya memperhitungkan aspek politik atau ekonomi saja, maka pembangunan hanya akan bertumpu di Pulau Jawa.

Sementara itu, Menkominfo Rudiantara mengatakan, “penyiaran yang sehat hanya bisa diwujudkan jika industrinya sehat. Bisnisnya harus berjalan baik dan berkualitas”. Hal itu pula yang  m enjadi dasar pemikiran diselenggarakannya proses pelayanan perizinan secara elektronik. Di samping itu menurut Rudi, Kemenkominfo mendapat tuntutan dari Komisi I DPR untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terutama dari sektor penyiaran. Menurut catatan Kemenkominfo, PNBP yang didapat kementerian yang dipimmpinnya mencapai 20 triliun. “Sumbangan PNBP dari sektor penyiaran sebesar 102 miliar dengan rincian 92 miliar dari televisi dan 10 miliar dari radio”, ujarnya. 

Pada kesempatan itu, pakar Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002 itu lahir dengan penuh kontroversi. “Ini adalah salah satu Undang-Undang yang tidak diteken oleh Presiden pada waktu itu. Kenapa tidak diteken, sumber masalahnya ada pada ketidaksukaan industri penyiaran terhadap Undang-Undang ini.” ujarnya.

Jimly menambahkan bahwa sekarang ini, terdapat tiga pasar bebas yang sudah mendunia. Pertama bisnis pasar bebas. Di Indonesia, terdapat KPPU yang berfungsi mengendalikan pasar yang bebas tersebut. “KPPU diperlukan oleh negara untuk mengendalikan bisnis pasar bebas,” katanya.

Kedua, adalah politik pasar bebas. Mulai dari presiden sampai dengan kepala desa menjadi komoditas yang diperebutkan. “Artinya, jabatan politik itu diperebutkan. Itu perlu dikendalikan, sehingga KPU dan Bawaslu menjadi dibutuhkan,” papar Jimly. Ketiga adalah media pasar bebas. Pasar itulah yang seharusnya dikendalikan oleh KPI. Oleh karena itu, KPI tersebut harus diperkuat, karena keberadaannya merupakan amanat reformasi. 

Tterkait urgensi hadirnya regulasi penyiaran yang baru, jika draf undang-undang penyiaran tidak juga disahkan, Jimly berpendapat terobosan hukum yang dapat diambil untuk mengisi kekosongan hukum adalah Peraturan Presiden (Perpres). Menurutnya, Perpres lebih mudah diwujudkan ketimbang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Terkait penguatan KPI dalam regulasi penyiaran yang baru, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI Asril Tanjung menegaskan bahwa DPR telah sepakat dengan hal tersebut. Termasuk rencana format kelembagaan KPI dan KPI Daerah yang menjadi struktural.  Asril menegaskan, di negara demokratis manapun, media penyiaran senantiasa diatur oleh hukum. Media penyiaran memiliki regulasi ketat dibandingkan media cetak. Namun regulasi tersebut juga diharapkan bersifat demokratis bagi setiap pemangku kepentingan, pungkasnya.

Rekomendasi
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2018


A. Bidang Kelembagaan
1.    KPI Meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) (melalui surat) mengeluarkan Peraturan Mendagri (Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD KPI Daerah se-Indonesia melalui hibah berkelanjutan.
2.    Mendesak Presiden untuk segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang penganggaran dan kelembagaan KPID. Desakan ini dilakukan dengan mengirimkan surat kepada Presiden yang dilakukan secara bersama-sama antara KPI Pusat dan Perwakilan KPI Daerah, dengan memberikan tembusan surat kepada Kepala Staf Presiden.
3.    KPI Pusat bersurat kepada Gubernur se-Indonesia untuk memfasilitasi KPI Daerah dengan Anggaran dan SDM Aparatur Sipil Negara (ASN) non struktural minimal berjumlah 6 (enam) orang terdiri dari: 1 (satu) orang fasilitasi fungsi penyusunan program dan rencana kerja serta pelaporan, 1 (satu) orang fasilitasi pelayanan keuangan dan aset, 1 (satu) orang fasilitasi pelayanan fungsi bidang Isi Siaran, 1 (satu) orang fasilitasi pelayanan fungsi bidang PS2P, 1 (satu) orang fasilitasi pelayanan fungsi bidang kelembagaan, 1 (satu) orang SDM koordinator/penanggungjawab.
4.    Mendesak Pemerintah (DPR dan Presiden) untuk segera mengesahkan Revisi Undang-Undang Penyiaran di tahun 2018.
5.    KPI Pusat melakukan pemetaan terhadap kelembagaan KPI Daerah


B. Bidang Pengawasan Isi Siaran
1.    Implementasi, monitoring dan evaluasi pengawasan siaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
a.    KPI Pusat menyusun pedoman pengawasan siaran Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
b.    KPI Pusat dan KPI Daerah menyampaikan secara tertulis hasil pengawasan siaran Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
c.    KPI Pusat menyelenggarakan rapat koordinasi bidang Pengawasan Isi Siaran dalam rangka membahas hasil pengawasan siaran Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
2.    Optimalisasi pengawasan iklan dan program siaran tentang produk dan jasa  kesehatan, melalui:
a.    KPID melakukan kerjasama pengawasan dengan Balai POM dan Dinas Kesehatan
b.    KPID melakukan verifikasi potensi pelanggaran iklan dan program siaran tentang produk dan jasa kesehatan
c.    KPI Pusat dan KPI Daerah melakukan penindakan bersama dengan Badan/Balai POM dan Kementerian/Dinas Kesehatan terhadap pelanggaran iklan dan program siaran tentang produk dan jasa kesehatan sesuai dengan kewenangan masing-masing lembaga.
3.    Mendorong terwujudnya penyiaran ramah anak dan perempuan dengan melakukan kerjasama antara KPI Pusat/ Daerah dengan Kementerian/Dinas Pemberdayaan dan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) atau lembaga terkait.

 
C. Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P).
1.    Bimbingan teknis e-Penyiaran bagi seluruh KPID.
2.    KPI Pusat segera menyusun surat edaran, dengan mengakomodasi saran/masukan KPI Daerah tentang:
a.    Legalitas Lembaga Penyiaran Berlangganan yang sedang dalam proses permohonan perizinan (IPP Prinsip):
b.    Penyaluran program siaran di Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB).
3.    Membentuk Tim Finalisasi Rancangan PKPI tentang Tata Cara dan Persyaratan Berkenaan Program Siaran Dalam Perizinan dan Penyelenggaraan Penyiaran, dengan target penetapan selambat-lambatnya bulan April tahun 2018
4.    Menerbitkan sistem monitoring Program Siaran Lokal (Sistem Stasiun Jaringan) SSJ, selambat-lambatnya bulan April tahun 2018.

 

Palu, 2 April 2018

Menkominfo Rudiantara menyampaikan presentasi di depan peserta Rakornas KPI 2018 di Palu.

Palu – Berlarut-larutnya pembahasan revisi Undang-undang Penyiaran di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, dan Pakar Hukum Tata Negara, Jimmly Ashidiqie, kembali angkat bicara. Mereka mendesak DPR segera menetapkan UU Penyiaran. Jika tidak, Pemerintah diminta mengambil alih dengan menerbitkan Peraturan Penganti Undang-undang atau Perpu.

“Undang-undang Penyiaran tahun 2002 sudah harus diganti dengan UU Penyiaran Baru. Jika tidak ada kemajuan di Baleg, sebaiknya Pemerintah mengambil alih saja,” Jimly Asshiddiqie pada saat menjadi narasumber Smeinatr Utama Rapat Koordinasi Nasional KPI tahun 2018, di Hotel Swiss Bell, Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Senin (2/4/2018).

Menurut Jimly, penetapan UU Penyiaran baru sudah sangat mendesak karena kepentingan besar terkait perkembangan teknologi dan media yang begitu cepat. Hal penting lainnya menyangkut aturan mengenai hubungan media dengan bisnis. “Hal ini sangat serius karena sekarang ini dunia sedang menghadapi persoalan tersebut,” katanya.

Jimly juga mendesak adanya penguatan kelembagaan KPI di UU Penyiaran baru. Peran KPI yang strategis di masa mendatang menjadi alasan utama harus diperkuat. “Dalam pasar bebas media nanti, KPI lah yang harus mengatur,” tegasnya.

Sementara itu,  Menkominfo Rudiantara, mengatakan alasan mendesak UU Penyaran harus segera ditetapkan karena nilai ekonomi yang tinggi. Menurutnya, 7 tahun setelah switch off pada 2020, nilai ekonomi yang ada dalam bisnis digital mencapai 39,9 milyar US Dollar atau setara dengan 500 trilyun Rupiah. 

“Dari nilai itu, pemasukan pajak yang diterima Negara dalam tujuh tahun itu mencapai 5,5 Trilyun. Selain itu, kesempatan untuk lapangan kerja juga semakin banyak. Setidaknya ada 230 ribu orang yang mendapatkan kesempatan bekerja. Hal ini lah yang paling penting,” kata Rudiantara. 

Rudi mengatakan pihaknya tidak memerpersoalkan teknologi multi mux atau single mux pelaksanaan digitalisasi karena yang paling penting adalah proses digitalisasi sudah berjalan dan sudah ada payung hukumnya yaitu UU Penyiaran baru. “Kami harap DPR segera menetapkan UU Penyiaran yang baru tersebut,” tandasnya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.