Jakarta - Negara punya kewenangan untuk menilai suatu keadaan, karenanya negara juga tidak boleh didikte oleh pemilik media terhadap kualitas tayangan yang muncul di penyiaran. Hal tersebut disampaikan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Meneg PAN-RB), Yuddy Chrisnandi, saat menjumpai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di kantor Kemeneg PAN-RB, (6/2).

Dalam pertemuan tersebut, Ketua KPI Pusat Judhariksawan menjadi pimpinan delegasi yang datang beraudiensi, didampingi komisioner KPI Pusat lainnya yaitu Bekti Nugroho, Fajar Arifianto, Amiruddin, dan Agatha Lily, serta Sekretaris KPI Pusat Maruli Matondang.

Kepada Meneg PAN-RB tersebut, Judha menyampaikan mengenai kewenangan KPI yang ada di Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Termasuk juga beberapa masalah yang KPI hadapi terkait tayangan-tayangan berkualitas buruk namun mendapat rating tinggi, yang berarti memberikan pendapatan besar bagi lembaga penyiaran yang menayangkan. Namun menurut Yuddy, sebanyak apapun penonton dari sebuah program, tapi jika merusak bangsa, harus dihentikan. Karenanya, politisi dari Partai Hanura ini mengatakan, negara tidak boleh kalah oleh swasta selama tetap berada dalam rel konstitusi.

Keberadaan KPI dan pemerintah, menurut Yuddy, haruslah tetap dalam kerangka berpikir idealis untuk masyarakat. Sedangkan pemilik televisi, memang sudah kodratnya berpikir bisnis dan keuntungan semata.  Karena itulah KPI, sebagai regulator, harus tegas dalam menegakkan aturan penyiaran tanpa padang bulu.

Yuddy juga sepakat bahwa KPI harus dapat menjatuhkan sanksi yang berefek jera. Untuk itu, ia akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) agar hal tersebut dapat direalisasikan lewat regulasinya. “Intinya bagaimana sanksi yang ada berefek jera pada media, agar tidak semena-mena mendikte publik”, ujarnya.

Dirinya mengaku prihatin dengan muatan televisi saat ini yang sarat dengan hedonisme, kehidupan glamour, termasuk kehidupan borjuis di sekolah. “Bagaimana jika hal ini ditiru oleh anak-anak yang orang tuanya tidak mampu, apa tidak mungkin anak-anak akan mencari jalan untuk bisa mengikuti gaya hidup seperti di televisi?” tanya Yuddy. Keprihatinan ini pula yang membuat Yuddy melarang penggunaan alun-alun kota Bandung untuk acara Ngunduh Mantu selebriti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.

Selain itu, mantan anggota Komisi I DPR RI ini juga berharap KPI mempunyai langkah preventif yang efektif atas sebuah tayangan yang diduga akan melanggar aturan. Lebih jauh Yuddy berpendapat seharusnya Kemenkominfo mempunyai alat untuk mematikan siaran televisi seketika, jika sudah memenuhi persyaratan sanksi penghentian. “Pemerintah harus punya alat yang lebih powerfull dari pemilik media”, tegas Yuddy.
 
 

Jakarta - Komisi I DPR RI telah mengagendakan revisi undang-undang penyiaran sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tidak hanya itu, revisi undang-undang ini pun merupakan usul inisiatif DPR untuk periode 2014-2019. Hal ini disampaikan Elnino Husein, anggota Komisi I DPR RI saat menjadi pembicara Diskusi Terbatas di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, (5/2).

Elnino mengatakan bahwa hampir seluruh partai dan fraksi memiliki semangat dan keprihatinan yang sama terhadap media televisi dan online saat ini. “Banyak muatan-muatan yang menyebabkan manusia di Indonesia pikirannya tercerabut dari nilai luhur bangsa ini”, ujar Elnino. Belum lagi, orientasi pada kepentingan publik oleh media penyiaran yang ternyata masih diperdebatkan.

Secara substansi, Komisi I sepakat untuk memberikan penguatan pada KPI, baik secara struktur ataupun kewenangan. Bagaimanapun juga, KPI adalah lembaga independen yang berbicara atas nama publik, karenanya butuh penguatan secara kelembagaan.
Selain itu, menurut Elnino, mengenai muatan asing yang memenuhi siaran di lembaga penyiaran swasta memang harus ada pembatasan. Anggota DPR dari Gorontalo ini berpendapat pembatasan baiknya ditetapkan berdasarkan durasi waktu, tanpa persentase, sehingga memudahkan perhitungan. Sedangkan kembali terkait kewenangan KPI, dirinya sepakat dengan adanya usulan untuk memberikan kewenangan pada KPI untuk menghentikan lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran berat.

Komisi I saat ini memiliki perhatian yang sama terkait penyiaran, ujar Elnino. Dalam rapat Komisi I dengan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, sudah dibahas soal tercerabutnya ideologi bangsa ini di masyarakat. Salah satu jalan keluar mengatasi masalah ini adalah memperbaiki regulasi-regulasi, diantaranya tentang penyiaran dan telekomunikasi.

Jakarta - “Pers harus menjalankan fungsi kontrol sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik, diantaranya diantaranya akurasi, independensi dan cover both side. Karena prinsip-prinsip itulah yang membedakan media dengan pihak lain dalam memerankan fungsi kontrol”. Hal itu disampaikan Imam Wahyudi, anggota Dewan Pers, dalam acara dialog dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama TV One terkait aduan dari masyarakat atas program siaran jurnalistik Kabar Petang dan Apa Kabar Indonesia, (3/2). Sebelumnya KPI menerima aduan melalui kuasa hukum H.  Ahmad Parwez terkait dua program siaran jurnalistik yang tayang di TV One tersebut, mengenai perdagangan manusia.

Pada diskusi tersebut, Komisioner KPI Pusat yang hadir adalah Bekti Nugroho, Rahmat Arifin, Agatha Lily, Azimah Subagijo dan Danang Sangga Buwana. Sedangkan perwakilan dari TV One adalah Ecep S Yasa, Raldy Doy dan Deny Hafiz.

Aduan yang diterima KPI dari kuasa hukum H. Ahmad Parvez tentang pemberitaan yang disiarkan oleh TV One melalui program KAbar Petang (2/12) berjudul perdagangan manusia, dengan isi berita “Korban bernama Dorce berasal dari Nusa Tenggara Timur dan mengaku sudah 2 (dua tahun disekap di rumah tersebut”. Serta tayangan Apa Kabar Indonesia (3/12)berjudul perdagangan manusia, dengan isi berita “Sebelum Kepolisian Resort Kota Medan juga sudah menggeledah rumah dari Kakak Tersangka atas nama Kaka, di sana pun ditemukan 1 (satu) orang pembantu rumah tangga yang sudah bekerja kurang lebih 2 (dua) tahun tanpa digaji”. Dalam surat pengaduan tersebut, dinyatakan berita itu adalah bohong dan fitnah,  disertai penjelasan bagian mana saja yang tidak benar.

Dalam acara yang dipimpin Rahmat Arifin, Komisioner KPI Pusat Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran, Imam Wahyudi menyampaikan beberapa pertanyaan terkait penegakan prinsip jurnalistik oleh redaksi TV One atas tayangan ini. Diantara pertanyaan Imam adalah sampai sejauh mana usaha yang dilakukan redaksi untuk mendapatkan konfirmasi dari pihak yang menjadi tersangka pada kasus ini? Serta, bagaimana proses yang dilakukan redaksi dan effort yang sudah dikeluarkan untuk menemukan keberimbangan?

Kepada forum dialog tersebut, Ecep S Yassa sebagai GM News Gathering TV One menjelaskan mengenai usaha konfirmasi yang dilakukan agar berita yang ditayangkan memenuhi azas cover both side. Namun demikian, sampai beberapa sejak peristiwa terjadi, pihak yang menjadi tersangka menolak untuk diwawancra. “Kami terus berusaha melakukan konfirmasi bertingkat setiap hari”, ujar Ecep. Baru pada pekan selanjutnya sejak kasus ini muncul, pihak pengacara bersedia dihubungi dan dapat dihadirkan dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan live dari Medan, Sumatera Utara.

Koordinator bidang kelembagaan KPI Pusat, Bekti Nugroho mengingatkan bahwa jurnalistik televisi harus lebih berhati-hati dalam menayangkan kasus kejahatan, apalagi isunya soal human trafficking. “Konfirmasi atau cover both side  itu harus ada dalam setiap berita”, ujar Bekti. Lebih jauh Bekti juga menjelaskan kalau memang redaksi kesulitan mendapatkan konfirmasi, maka publik harus terinformasikan kesulitan tersebut. “Kalau tidak mendapatkan narasumber, stand up di depan kamera, di lokasi rumahnya untuk menunjukkan ke publik bahwa narasumber tidak bersedia diwawancara”, ujarnya.

Usai pertemuan diskusi ini, KPI melanjutkan pembahasan aduan bersama Dewan Pers. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Nota Kesepahaman antara KPI dan Dewan Pers dalam mengatasi adanya aduan atau dugaan pelanggaran terhadap program siaran jurnalistik.

Jakarta - Sistem penyiaran nasional pada dasarnya memiliki prinsip desentralisasi. Hal itu ditunjukkan dengan adanya aturan mengenai sistem siaran jaringan dalam undang-undang penyiaran. Karena itu, pemegang waralaba penyiaran diperkirakan akan kesulitan membentuk cabang atau jaringan mengingat adanya persyaratan administrasi dan teknis yang cukup ketat dalam penggunaan frekwensi untuk penyiaran free to air. Selain itu, prinsip perizinan penyiaran di Indonesia adalah kontekstual-lokalistik, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini dikemukakan oleh anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Amiruddin, dalam acara Diskusi Terbatas tentang Pengaturan Waralaba (Franchise) di bidang Penyiaran, (5/2).

Selama ini sistem waralaba, khususnya untuk merk asing, sudah menjadi fenomena bisnis baru yang berkembang di Indonesia.  Praktek waralaba yang dikenal adalah untuk toko-toko retail, usaha makanan dan minuman, apotek dan perhotelan. Namun semua praktek waralaba tadi merupakan usaha privat, dan belum ada pengaturan waralaba untuk jasa penyiaran. Menurut Azimah Subagijo, Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat, saat ini praktek waralaba sudah masuk ke dunia penyiaran. Padahal penyiaran adalah ranah publik karena menggunakan frekwensi yang merupakan sumber daya alam terbatas. “Tentu dampak yang diakibatkan dari waralaba penyiaran berbeda dengan waralaba di bidang privat, mengingat pengaruh yang ditimbulkan penyiaran sangatlah besar dan strategis”, ujar Azimah

Amiruddin memahami praktek waralaba penyiaran sebagai salah satu usaha memenangkan persaingan bisnis mengingat beberapa keunggulan bisnis waralaba, diantaranya meminimalkan resiko gagal usaha dan merk usaha yang sudah lebih dikenal oleh masyarakat. Namun demikian, jika melihat dari aturan yang ada, terdapat larangan pendirian lembaga penyiaran asing di Indonesia. Sedangkan mengenai konten siaran asing, dalam regulasi penyiaran, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 42 tahun 2009.

Untuk itu KPI mendorong pemerintah untuk membuat aturan yang lebih khusus tentang waralaba asing di penyiaran ini. “Agar keuntungan dalam bisnis waralaba tetap diperoleh, tapi kerugiannya dapat dihapus”, ujar Azimah. Misalnya kerugian tersebut adalah kontrol yang sangat besar dari pemberi waralaba yang sangat besar, karena tidak ingin brand yang dimilikinya rusak atau tidak mengikuti standar waralaba pusat. “Mungkin untuk waralaba retail, hal tersebut wajar. Namun jika menyangkut penyiaran, hal ini akan berpengaruh dengan ketahanan nasional dan kondisi sosial masyarakat”, tegas Azimah.

Hal serupa juga diusulkan oleh anggota Komisi I DPR RI, Elnino M Husein Mohi. Menurutnya, harus ada terobosan aturan untuk menutup lubang regulasi terkait waralaba asing di dunia penyiaran ini. “Kenapa Indonesia tidak belajar dari pemerintah China untuk memproteksi warganya dalam serbuan informasi asing”, tanyanya. Meski tidak perlu mengadopsi secara utuh kebijakan negara Tirai Bambu tersebut, seharusnya Indonesia dapat lebih moderat sehingga informasi yang masuk tidak kebablasan. Bahkan Elnino menilai wilayah udara Indonesia sebenarnya sudah tidak ada lagi.

Elnino menyarankan kalau memang menunggu revisi Undang-Undang Penyiaran dinilai memakan waktu yang lama, KPI dapat mengusulkan diterbitkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden untuk mengatur lebih rinci soal waralaba asing di penyiaran.  Usulan ini pun disambut baik oleh Brigjen Abdul Hafil Fuddin perwakilan dari Kementrian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, yang hadir memberikan materi tentang Respon Pemerintah Berkenaan Ekstensifikasi dan Efektivitas Clearing House atas Pengawasan Unsur Asing dalam Penyiaran Indonesia.

Dalam diskusi tersebut hadir pula komisioner KPI Pusat lainnya, Danang Sangga Buwana, KPI Daerah Jawa Tengah, KPI DKI Jakarta, KPID Gorontalo, serta perwakilan dari Kementerian Luar Negeri. Azimah berharap, jika regulasi tentang waralaba asing di penyiaran ini sudah ditetapkan, lembaga penyiaran yang sudah terlanjur bersiaran dapat ditinjau ulang agar dapat sesuai dengan regulasi.  Sejalan dengan itu, Amiruddin juga menganggap kajian tentang waralaba asing di penyiaran ini untuk melindungi kepentingan nasional, kepentingan usaha penyiaran dalam negeri, serta  kepentingan publik.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menerima aduan masyakarat tentang siaran televisi akhir-akhir ini. Aduan berasal dari Gerakan Muslim Penyelamat Aqidah (Gempa) yang langsung mengunjungi Kantor KPI Pusat bersama sekitar sepuluh perwakilan anggota lembaganya.

Kunjungan diterima oleh Komisioner KPI Pusat Bidang Isi Siaran Sujarwanto Rahmat Arifin dan Agatha Lily, serta didampingi Tenaga Ahli Ajudikasi Irvan Sanjaya. Dalam pertemuan itu Rahmat mengatakan tugas pengawasan penyiaran tidak akan bisa dilakukan sendiri oleh KPI tanpa dukungan dari masyarakat.

"Pengawasan penyiaran ini menjadi tugas bersama dalam mengantisipasi dampak penyiaran yang tidak kita inginkan," kata Rahmat di Ruang Rapat KPI Pusat, Selasa, 3 Februari 2015. 

Sementara itu Ketua perwakilan Gerakan Muslim Penyelamat Aqidah Syafrizal Syah menilai sebagian besar program siaran televisi saat ini dianggap tidak mendidik dan tidak sesuai dengan budaya ketimuran. Dalam acara itu Syafrizal juga menyerahkan dokumen aduan resmi ke KPI Pusat. "Stasiun televisi harus menghindari penayangan seperti mengumbar kekerasan, disriminasi, dan pelecehan," kata Syafrizal.

Rahmat yang juga Koordinator Bidang Isi Siaran KPI Pusat menjelaskan tentang langkah dan kebijakan yang telah dilakukan KPI terhadap program siaran yang melanggar Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang menjadi acuan dalam penyiaran. Mulai dari pemberian teguran hingga sanksi administrasif pengehentin sementara 

"Semua masukan dari masyarakat tetap kami jadikan masukan dalam perbaikan ke depan. Ini juga sekaligus sebagai bentuk publik terhadap penyiaran dan kita memiliki visi yang sama dalam menjaga penyiaran agar lebih baik," ujar Rahmat.

Komisioner KPI Pusat Agatha Lily mengatakan aduan dan masukan masyarakat ke KPI adalah bentuk lain dukungan publik. "Inti pertemuan kita hari ini, KPI memiliki tujuan yang sama dalam penyiaran. Kita sama-sama menjaga bangsa ini dari dampak tayangan yang buruk bagi masyarakat. Kehadiran saudara semua di sini akan jadi dukungan yang kuat bagi kami ke depan," kata Lily.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.