- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 8018
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berupaya menertibkan konten siaran yang mengandung unsur hipnotis atau hypnosis untuk tujuan yang tidak tepat. Saat ini, berdasarkan pemantauan KPI Pusat, praktis hipnosis (atau dengan sebutan lainnya) mulai marak tayang di sejumlah program acara di televisi. Kebanyakan untuk mengungkap kehidupan pribadi, aib orang lain, atau ngerjain talent.
Dalam sebuah diskusi kelompok terpumpun atau FGD tentang hipnosis yang diselenggarakan KPI Pusat, pekan lalu, dibahas tentang hal ini. Tujuan menggunakan praktik hipnosis dalam siaran lebih banyak untuk kepentingan hiburan atau mengorek kasus antar pribadi. Padahal dalam aturan penyiaran, ada kewajiban dan juga larangan agar isi siaran tidak mengumbar aib, kehidupan pribadi, atau merusak reputasi orang.
Menurut Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, praktik hipnosis banyak ditemukan di acara reality show, variety show, dan infotainmen. Dan, bicara hipnosis di TV, lebih dominan mengangkat konflik rumah tangga. Contoh terbaru adalah kasus hipnosis Dewi Persik yang menyebabkan keluarnya sanksi teguran bagi sejumlah program siaran.
“Perilaku hipnosis digunakan untuk mengerjai talent. orang yang takut ular disugesti untuk tidak takut tetapi pada adegan berikutnya kesadaran dikembalikan sehingga muncul ketakutan yang luar biasa agar penonton terhibur oleh polah ketakutannya. Ketika kami melakukan panggil untuk pembinaan atau klarifikasi, banyak yang berkilah hal tersebut bukan hipnosis, orang yang bersangkutan dalam kondisi sadar, atau sekedar adegan gimmick. Lebih banyak hiburan daripada tujuan pengobatan. Hipnosis sebenarnya bisa digunakan untuk tujuan kesehatan, masyarakat dapat diajarkan untuk bisa mengatasi kondisi psikis tertentu dengan cara ini,” kata Mulyo saat menjabarkan presentasinya di acara tersebut.
Lebih lanjut, dia menilai hipnoterapi sebaiknya ditujukan untuk sesuatu yang bermanfaat atau baik. “Ada dua sisi, manfaat baik dan buruk, ada juga yang mengenalnya sebagai ilmu. Kalau bicara manfaat baik ini yang kita harapkan. Jangan stage hipnotis hanya untuk kebutuhan entertaint. Dalam masyarakat kita, terbiasa disuguhi adegan penderitaan orang untuk menimbulkan tawa atau simpati yang salah tempat. Dalam kaitan penyembuhan, jangan pula dimunculkan adegan dengan visual yang cenderung dikategorikan merendahkan martabat orang, meraung-raung, merangkak layaknya binatang. Ada atau tanpa izin hal tersebut juga dilarang ditayangkan di layar kaca,” pinta Mulyo.
Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat, Mimah Susanti, menambahkan pentingnya batasan terkait muatan hipnosis di layar kaca. Menurutnya, surat edaran yang pernah dilayangkan KPI terkait persoalan hipnosis dapat menjadi rujukan bagi lembaga penyiaran dalam penayangan program acara.
“Kami mengkhawatirkan hal ini dan berharap menjadi perhatian kita bersama. Kita harus memperhatikan komitmen bersama memberikan perlindungan anak dan remaja yang menjadi tujuan dalam P3SPS,” ujarnya.
Sementara itu, narasumber lain, Psikolog Ivan Sujana, menyatakan setiap profesi seperti hipnoterapi memiliki kode etik tersendiri. Menurutnya, perlindungan pada talent yang dilibatkan dalam acara sangat vital. Mereka jangan dibuat sampai tidak nyaman. “Talentnya dan masyarakat jangan sampai dirugikan,” katanya.
Dia menambahkan, peran penghipnosis juga sangat krusial untuk mengontrol pasiennya. Menurut Ivan, penghipnosis harus memilah apa saja yang akan dia tanya ke talen. “Apa dampak negatifnya, hal ini harus dia ketahui betul,” paparnya.
Tayangan seperti ini, lanjut Ivan, akan menimbulkan adanya potensi pelanggaran dan banyak hak orang terlanggar. Terlebih jika hal ini bicara soal masyarakat secara umum. "Jika ini alasan gimik atau rekayasa, buat saya alasan itu tidak sah. Masak hanya segitu saja kreativitasnya. Kalau itu dipakai buat gimik atau ngaku-ngaku, profesi orang lain bisa terdampak,” jelasnya.
Host yang juga ahli hipnoterapi, Rommy Rafael, yang juga narasumber diskusi menceritakan bagaimana dia belajar ilmu tersebut dan mempraktikannya untuk pertama kali di layar kaca. Dia juga menjelaskan bagaimana proses hipnosis terjadi pada orang lain.
“Definisi hipnosis kapan pun dia fokus dan relaks itu hipnosis. Pada saat seperti itu, orang yang dihipnosis tidak bisa mengeluarkan unek-unek,” katanya.
Menurut Rommy, kesalahpahaman praktisi hipnoterapi adalah mereka punya kontrol 100% terhadap objeknya. Karena itu, hal ini harus menjadi perhatian masyarakat dan menjadi pengetahuan bagaimana membedakan orang yang ahli dan yang tidak dalam proses hipnosis.
“Di Indonesia itu banyak orang yang minggu lalu ikut pelatihan hypnoterapi lalu langsung praktik. Siapa pun yang punya kamera SLR itu menganggap dirinya fotografer. Orang yang baru ikut kelas 3 jam menganggap Romy saingannya dia. Di era sekarang, banyak coach yang enggak jelas. Banyak orang tidak pernah nyemplung ngajarin orang berenang,” tandasnya dalam diskusi yang dimoderatori Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia. ***