- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 17292
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), mulai menyosialisasikan kesepakatan yang ditandatangani beberapa waktu lalu tentang pengawasan iklan dan publikasi bidang kesehatan pada lembaga penyiaran, Senin (5/2/2018), di kantor KPI Pusat, Jakarta Pusat. Sosialisasi ini diharapkan memberi pemahaman lembaga penyiaran untuk lebih berhati-hati ketika menyampaikan informasi kesehatan melalui iklan dan program siaran lainnya.
Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengatakan pihaknya punya semangat yang sama dengan Kemenkes dan BPOM soal penyampaian informasi tentang produk atau siaran kesehatan di media penyiaran. “Pesan yang disampaikan tidak boleh menyesatkan publik, tidak boleh superlatif, tidak mengesankan produk itu bisa menyembuhkan segala hal, terlalu berlebihan, serta tidak lengkap infomasinya,” katanya di depan perwakilan lembaga penyiaran yang hadir dalam acara sosialisasi itu.
Terkait hal itu, perlu ada pengawasan serta penindakan yang melibatkan lembaga terkait. Menurut Hardly, P3 dan SPS KPI tidak cukup detail mengatur persoalan kesehatan. Karenanya, harus ada semacam rekomendasi dari lembaga terkait seperti Kemenkes dan BPOM untuk KPI.
“Tadi sudah ada titik terangnya dengan BPOM. Komitmennya dengan KPI sudah sejalan. Selama ini yang sering kita bicarakan bahwa kalau ada potensi pelanggaran dalam iklan sebuah produk makanan, obat-obatan untuk komestik, maka BPOM akan memberikan sanksi berupa peringatan kepada produsen dan meminta produsen dalam waktu tiga puluh hari untuk menghentikan tayangan iklannya dan KPI akan bekerja setelah tiga puluh hari BPOM selesai. Kalau masih ada yang menayangkan iklan sebagaimana yang dimaksud BPOM, maka KPI akan menyisir dan akan memberikan peringatan kepada lembaga penyiaran,” jelas Hardly.
Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik & Produk Komplemen BPOM RI, Indriaty Tubagus, salah satu narasumber sosialisasi menyatakan, BPOM memiliki mekanisme aturan periklanan yang mengedepankan prinsip obyektivitas, tidak menyesatkan dan kelengkapan informasi. “Seharusnya iklan yang terkait produk kesehatan maupun makanan sebelum beredar harus izin ke BPOM. Prosedur pre market istilahnya,” tambahnya.
Menyangkut hal itu, Hardly Stefano, menyatakan perlu tindak lanjut karena dinilai ada ruang kosong terkait salah satunya adalah mekanisme pre market pengawasan iklan sebelum tayang yang dibuat BPOM.
“Ternyata pre market BPOM ini tidak pernah atau belum menjadi bahan untuk keluarnya surat tanda lulus sensor dari LSF. Maka kami mendorong kalau ada pertemuan lanjutan agar melebarkan lagi peserta yang dilibatkan yakni dengan mengundang LSF untuk memastikan pre market yang dibuat BPOM dengan melakukan analisa pra tayang dari iklan itu menjadi bahan pertimbangan bagi LSF. Artinya selain hal-hal teknis sebagaimana diatur dalam regulasi penyensoran, LSF sebaiknya mempertimbangkan rekomendasi dari BPOM. Jadi kita tidak hanya menyelesaikan permasalahan di hulu tapi juga di hilir. Itu harapan dari KPI,” rinci Hardly.
Hardly juga menyoroti persoalan dengan kemenkes yang meminta dihentikannya siaran produk-produk yang sifatnya produk umum yang dapat izin dari kementerian perdagangan tetapi memiliki klaim-klaim kesehatan. Permasalahan ini tidak serta merta dapat diselesaikan secara sepihak karena jika hanya merujuk pada regulasi penyiaran, maka belum ditemukan potensi pelanggaran. Perlu rujukan dari regulasi terkait lainnya baik dalam bidang perdagangan maupun kesehatan.
“Tetapi ketika ada keberatan, kami akan mengadakan forum khusus untuk klarifikasi dengan menghadirkan kemenkes, supaya kita bisa menentukan persoalan secara proposional dan memutuskan tindakan. Akan tetapi, jika menyangkut pengobatan tradisonal dan klinik tradiosionalnya, kita akan mengikuti semua rekomendasi. ketika Kemenkes bilang itu klinik yang tidak boleh tayang di lembaga penyiaran kita akan menertibkan,” tegas Hardly.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, meminta perhatian soal perlindungan anak dan remaja terkait dengan siaran kesehatan. “Anak-anak dan remaja menjadi fokus perlindungan kami dari siaran atau tayangan kesehatan yang informasi menyesatkan serta tidak dapat dipertanggungjawab,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, Oscar Primadi, mengatakan tujuan utama kerjasama ini untuk membebaskan masyarakat dari tayangan kesehatan yang tidak benar. “Masyarakat harus dilindungi dan menghindarkan mereka dari bahaya dan dampak informasi yang tidak benar serta kerugian material akibatnya. Kami juga akan berbicara dengan Ikatan Dokter Indonesia atau IDI dalam kaitan ini.Kami bertekad menyelesaikan hal ini, tidak hanya di hilir tapi juga di hulunya,” jelasnya. ***