- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 11309
Jakarta - Dinamika dunia digital saat ini, dinilai tidak dapat lagi ditampung oleh regulasi yang ada, baik itu Undang-Undang Penyiaran atau pun Undang-Undang Pers. Karenanya dibutuhkan regulasi yang relevan atas transformasi platform digital saat ini yang berkembang sebagai komponen penyiaran yang baru. Karenanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu mempersiapkan diri pada perluasan regulasi untuk melakukan pengawasan terhadap media baru, jika seandainya revisi Undang-Undang Penyiaran ke depan akan memberikan kewenangan tersebut pada KPI. Hal tersebut disampaikan anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris, saat menjadi nara sumber Literasi Media yang diselenggarakan secara daring oleh KPI dengan tema “Penyiaran Jurnalistik di Era Digital”, (15/7).
Yang terjadi saat ini, ujar Charles, media konvensional sekalipun sudah menggunakan platform digital untuk menyiarkan konten siaran mereka. Bahkan untuk televisi yang memiliki format program berita, masyarakat dapat dengan mudah mengikuti siaran-siaran yang sudah lewat, karena tersedia dalam platform digital. Charles yang merupakan anggota DPR RI dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berpendapat, harus ada yang meregulasi produk-produk jurnalistik di platform tersebut.
Charles juga merinci tentang pengaturan terhadap dinamika perkembangan platform teknologi digital, diantaranya meliputi perluasan ruang lingkup pengaturan tersebut pada aturan hukum. Selain itu menurutnya harus ada pemberian pengaturan atas fungsi yang jelas dalam penyelenggaraan penyiaran melalui platform digital agar tetap terbangun kontrol sosial di masyarakat. Charles juga menilai pentingnya perluasan peran KPI dalam pengaturan penyiaran dengan teknologi digital yang didahului adanya penelitian terperinci tentang platform digital yang layak masuk dalam kewenangan KPI. “Bahkan perlu melihat best practice di Negara lain, bagaimana regulator penyiaran ikut juga mengawasi media baru,”ujarnya.
Narasumber lain yang ikut memberikan materi dalam Literasi Media tersebut adalah Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan, Hardly Stefano Pariela. Dalam membuat program jurnalistik di media penyiaran, menurutnya, haruslah senantiasa berada dalam tiga koridor, yakni kode etik jurnalistik, pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3 & SPS) serta orientasi kepentingan publik.
Hardly memahami tantangan era digital saat ini demikian besar sehingga baik media lama dan media baru saling berkonvergensi dan juga bekerja sama untuk menghadirkan konten-konten menarik untuk masyarakat. “Saat ini media lama banyak mengambil berita dari media baru sementara media baru mengemas ulang berita dari media lama untuk kemudian diviralkan,” ujarnya. Namun demikian Hardly menegaskan setiap pemberitaan atau pun program jurnalistik, haruslah disiplin terhadap verifikasi. Hal ini penting untuk menghindari berkembangnya berita hoax dan disinformasi di tengah masyarakat.
Terkait hoax sendiri, Hardly meyakini bahwa lembaga penyiaran bersih dari berita-berita hoax. Kalaupun didapat berita yang sejenis disinformasi, lembaga penyiaran pun selalu memberikan klarifikasi secepat mungkin guna melindungi publik dari informasi yang tidak tepat.
Terkait framing dalam pemberitaan, Hardly menilai bahwa setiap media dimungkinkan untuk memiliki agenda setting, selama masih dalam bingkai KEJ, P3 & SPS dan berorientasi pada kepentingan publik. Berkaca pada munculnya polarisasi antara TV merah dan TV biru dalam Pemilu, Hardly menjelaskan bahwa KPI sudah mengambil tindakan terulangnya kondisi di tahun 2014 pada Pemilu 2019 lalu. Namun demikian secara khusus Hardly menegaskan untuk tidak berharap agar semua informasi itu seragam.”Jangan juga kita berimajinasi atau berangan-angan bahwa semua informasi yang kita lihat dan kita dengar di televisi dan radio adalah informasi yang sama dan seragam,”ujarnya. Kalau itu yang menjadi imajinasi kita jangan-jangan kita sedang bermimpi kembali ke zaman orde baru, saat informasi hanya satu dan seragam dan berasal dari apa yang dikatakan pemerintah atau negara. Di era kebebasan ini, tentu televisi dan radio bahkan media-media baru bisa saja menyampaikan informasi dengan angle yang berbeda. Pada titik itulah, ujar Hardly, dapat dilakukan kontrol sosial. Adanya perbedaan sudut pandang dalam pemberitaan sebuah kebijakan, sah-sah saja dilakukan, selama masih dalam koridor regulasi dan juga orientasi kepentingan publik.
Hardly memahami keluhan dari masyarakat tentang berbagai konten di televisi. KPI sudah memiliki saluran aduan untuk digunakan jika masyarakat menemui konten siaran televisi dan radio yang meresahkan. Namun demikian, Hardly juga berharap masyarakat pun dapat memberikan apresiasi terhadap siaran yang baik dan berkualitas. “Pada prinsipnya, pemirsa harus mampu mengenali dan memilih program siaran yang baik,”ujarnya. Selain kritis terhadap tayangan yang bermasalah, apresiasi publik terhadap siaran yang baik dapat membantu program-program lebih berkesinambungan.
Literasi Media juga menghadirkan pembawa berita dari TV One, Brigitta Manohara sebagai narasumber. Kepada para peserta, Brigitta menyampaikan pengalaman berkiprah di program jurnalistik serta dinamika yang dihadapi ketika televisi akhirnya harus berhadapan dengan media baru seperti saat ini.