Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, Mayong Suryo Laksono, Dewi Setyarini, dan Nuning Rodiyah, memberikan penjelasan kepada lembaga penyiaran terkait adanya kecenderungan eksploitasi kekerasan pada program siaran realty show, Selasa (10/4/2018).

 

Jakarta - Adanya kecenderungan eksploitasi kekerasan pada program siaran Reality Show di beberapa televisi, menjadi perhatian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Dalam kegiatan pembinaan program siaran untuk Reality Show, Komisioner KPI Pusat Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran, Hardly Stefano Pariela memaparkan tentang catatan yang dimiliki KPI atas program tersebut.

Hardly menilai, pemilihan tema reality show yang terpusat pada konflik percintaan dan perselingkuhan sangat berpotensi melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012. Karenanya dalam pembinaan tersebut, Hardly meminta penanggungjawab program siaran pada setiap televisi memberikan penjelasan atas pilihan diambil dalam program yang dikelolanya itu.

Komisioner KPI Pusat bidang Pengawasan Isi Siaran lainnya, Mayong Suryo Laksono juga mengaku prihatin dengan wajah layar televisi yang dipenuhi caci maki lewat Reality Show ini. Secara khusus, Mayong juga menilai acara ini sangat bising dengan konflik yang dibangun dan dimunculkan. Mayong memaklumi, secara ideal program seperti ini memiliki tujuan untuk menyelesaikan masalah. “Namun hal tersebut kerap kali tertutup dengan dominasi cacian dan makian yang muncul,” ujarnya. 

Dikatakan pula oleh Mayong, kelemahan terbesar pada produksi program siaran secara umum adalah tidak menyisihkan waktu untuk menggunakan kacamata sebagai penonton. “Padahal penonton juga butuh kenyamanan saat menonton siaran,” tambah Mayong.

Tentang munculnya kesan bising pada program ini, Hardly menjelaskan hal itu muncul ketika semua orang yang muncul pada layar kaca berbicara dengan nada yang tinggi. “Padahal komunikasi adalah cara kita menyampaikan pesan pada orang lain”, ujarnya. Kalau semua orang berbicara dengan intonasi dan nada yang tinggi, bagaimana pesan yang dibawa dapat tersampaikan. Pada titik inilah Hardly melihat, telah hilang kenyamanan bagi penonton untuk menikmati Reality Show.

Sebelum menutup acara pembinaan yang juga dihadiri pihak rumah produksi Reality Show, Hardly menegaskan setidaknya tiga hal yang harus diperhatikan pengelola televisi. Pilihan-pilihan tema yang cenderung tidak ramah pada anak sebaiknya dihindari. “Televisi harus membuka diri pada tema-tema lain yang jauh lebih positif dan memberikan inspirasi kebaikan untuk masyarakat”, ujarnya. Catatan lainnya alah pengelolaan konflik yang dibangun agar jangan didominasi pada dialog-dialog dengan intonasi tinggi yang berpotensi munculnya kekerasan verbal. Selain itu, Hardly juga meminta televisi mencegah adanya eksploitasi kekerasan, terutama pada program-program yang muncul di jam tayang anak, sehingga tidak ada hak-hak anak yang dilanggar saat menikmati siaran televisi. ***

Jakarta -- Mahasiswa Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga berkunjung ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dalam rangka kuliah kerja lapangan (KKL), Selasa (10/4/2018). Dalam kesempatan itu, mereka menyampaikan keluhan soal adanya tayangan realty show yang menurut mereka kurang etis dan tidak ada nilai pendidikannya.

“Ada tayangan program reality show yang tayang di salah satu lembaga penyiaran yang menurut kami terlihat sekali rekayasanya. Isinya pun tidak etis dan tidak mendidik,” kata Gesang, Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Salatiga.

Selain itu, Mahasiswa lain juga mengomentari tayangan mars lagu salah satu partai politik yang tayangan di sejumlah televisi. Menurut Dia, saking seringnya mars tersebut ditayangkan membuat anak-anak jadi lebih hafal. “Sangat disayangkan sekali jika yang dihafal anak-anak cuman hal itu. Harusnya ada hal lain yang bisa disuguhkan ke mereka tentunya yang memiliki nilai pendidikan,” katanya.

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, yang menerima langsung kunjungan, menjelaskan bahwa tayangan yang tidak berkualitas justru banyak ditonton masyarakat seperti reality show dan mistik. Berdasarkan rating itu banyak pengiklan yang menaruh uangnya di program-program tersebut. “Mungkin bagi kita tayangan tersebut tidak berkualitas, tapi justru masyarakat yang menontonnya banyak,” katanya.

Menurut Agung, ada sejumlah faktor yang menyebabkan tayangan-tayangan seperti mistik muncul kembali di layar kaca, salah satunya soal kesadaran atau itikad yang belum optimal. Selain itu, pergantian orang di kalangan rumah produksi menyebabkan pandangan mengenai aturan dan etika yang awalnya sudah selaras dengan KPI menjadi berubah.

“Namun kami menggunakan berbagai metode supaya kalangan industri bisa lebih baik yakni melalui pembinaan rutin terhadap lembaga penyiaran selain memberi sanksi. Kami juga ada bimbingan teknis atau sekolah P3SPS bagi semua kalangan termasuk mahasiswa yang ingin memperdalam pengetahuan soal aturan penyiaran,” jelas Agung.

Dalam kesempatan itu, Agung menyatakan perlunya pengembangan kreatifitas dalam pembuatan konten siaran. Dia menilai tayangan yang berkualitas dan kreatif hasil produksi sumber daya dalam negeri masih kurang. “Negara harus ikut membantu mengalokasikan anggaran untuk membuat film atau tayangan yang berkualitas untuk mengimbangi tayangan tidak berkualitas tadi,” harapnya.

Sebelumnya, di awal pertemuan, Kepala Bagian Perencanaan dan Humas KPI Pusat, Umri, menjelaskan bagaimana tugas dan fungsi KPI. Dalam kesempatan itu, Umri mengajak mahasiswa untuk ikut mengkritisi media dan membantu meliterasi masyarakat tekait penggunaan media dan memilih tayangan yang pantas mereka tonton. ***

 

Jakarta – Radio menjadi salah satu sumber utama informasi yang penting bagi masyarakat. Bahkan dalam sejarahnya sebelum munculnya televisi, radio memiliki jasa besar sebagai alat perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Hal itu disampaikan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat), Dewi Setyarini, pada saat memberikan sambutan acara pembukaan Kongres III ARSSLI (Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia) di Sentral Hotel Jakarta, Senin (09/04/2018).

Di depan peserta kongres, Dewi menceritakan sejarah awal berdirinya radio milik anak bangsa dimulai dari lahirnya radio SRV (Solosche Radio Vereniging) 1 April 1933 atau 85 tahun silam di Solo. Menurutnya, kelahiran SRV menjadi tonggak awal dari perjuangan rakyat Indonesia untuk mandiri dan lepas dari penjajah.

Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi, Dewi mengharap insan radio menjaga eksistensi media ini sampai kapanpun. Menurutnya, pendengar radio memiliki khalayaknya sendiri sehingga media ini tidak akan ditinggalkan masyarakat.

“Meskipun perubahan teknologi dan komunikasi serta media baru terjadi, radio tidak akan ditinggalkan masyarakat. Untuk itu tetap penting untuk mengorganisir komunitas radio agar eksistensi radio tetap terjaga,” pintanya.

Dalam kesempatan itu, Dewi meminta insan radio untuk mengawal proses perubahan UU Penyiaran dengan harapan perubahannya dapat memajukan radio di Indonesia. “Kita juga sedang menunggu Kepres Hari Penyiaran Nasional yang saat ini tinggal menunggu tanda tangan Presiden. Ini juga harus diadvokasi bersama karena hal itu sebagai wujud perhatian serius pemerintah atas eksistensi penyiaran termasuk radio di Indonesia,” paparnya. ***

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis dan Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono, berfoto bersama dengan Menteri Negara Senior bidang Kesehatan dan Komunikasi dan Informasi Republik Singapura, Chee Hong Tat, dan Duta Besar (Dubes) Republik Singapura untuk Indonesia, Anil Kumar Nayar, usai pertemuan di Hotel Mandarin Jakarta, Selasa (10/4/2018).

 

Jakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis dan Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono, melakukan pertemuan informal dengan Menteri Negara Senior bidang Kesehatan dan Komunikasi dan Informasi Republik Singapura, Chee Hong Tat, dan Duta Besar (Dubes) Republik Singapura untuk Indonesia, Anil Kumar Nayar, di Hotel Mandarin Jakarta, Selasa (10/4/2018). Pertemuan di sela-sela sarapan pagi ini membahas berbagai isu seputar dunia penyiaran di kedua negara.

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, salah satu pokok pembicaraan dalam pertemuan itu mengenai regulasi penyiaran politik. Dia mengatakan, dalam waktu dekat, pihaknya (Indonesia) akan menyelenggarakan Pemilukada di 171 daerah.

“Kami sudah membentuk gugus tugas dengan Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawasan Pemilihan Umum dan Dewan Pers, untuk pengaturan kampanye, iklan dan tayangan politik selama Pemilukada 2018 di lembaga penyiaran,” jelasnya.

Menanggapi itu, Menteri Negara Senior bidang Kesehatan dan Komunikasi dan Informasi Republik Singapura, Chee Hong Tat mengatakan, pemerintah Singapura juga mengatur porsi iklan kampanye dan penampilan setiap calon dalam Pemilu, baik partai maupun individual. Upaya tersebut bertujuan agar terwujudnya keadilan bagi semua peserta.

“Calon yang memiliki modal kuat tidak mengalahkan yang lemah,” katanya dikutip kpi.go.id dari keterangan yang diperoleh Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono.

Namun, kata Chee Hong Tat, pihaknya tidak mengalami kesulitan berarti untuk mengatur hal itu karena Singapura relatif tidak memiliki wilayah seluas Indonesia. “Karena itu, kami lebih mudah untuk menghandlenya,” katanya.

Chee Hong Tat mengatakan, Singapura tengah mengupayakan perubahan terhadap Undang-undang Penyiaran mereka yang dinilai perlu menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Perubahan aturan ini sedikit berbeda dengan yang dilakukan Indonesia. “Kami memisahkan antara teknologi dan infrastruktur  dengan konten. Kira-kira bobotnya lima puluh lima puluh,” tambahnya.

Sementara itu, Dubes Anil Kumar Nayar mengharapkan KPI dapat diperkuat kewenangannya untuk mengatur penyiaran khususnya menyangkut siaran Pemilu. Merujuk pada pengalaman Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2014 lalu, media televisi menjadi terbelah dua. “Semoga KPI memiliki perangkat hukum yang lebih kuat untuk bisa mengatur penyiaran Pemilu yang lebih berkualitas,” katanya.

Pertemuan yang berlangsung hangat dan dinamis tersebut turut membahas lembaga penyiaran berlangganan, teknologi telekomunikasi  dan “new media”, OTT (over the top television), serta maraknya media online. ***

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) memutuskan memberi sanksi teguran tertulis untuk program siaran “Brownis Tonight” di Trans TV karena menampilkan muatan yang membahas isu transgender. Hal itu ditegaskan Koordinator bidang Isi Siaran yang juga Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, kepada kpi.go.id, Senin (9/4/2018).

Hardly mengatakan, berdasarkan pengaduan masyarakat dan hasil analisis pihaknya, ditemukan muatan yang membahas isu transgender dalam program siaran “Brownis Tonight” yang ditayangkan Trans TV pada 28 Maret 2018 pukul 19.00 WIB dan 29 Maret 2018 pukul 18.52 WIB. 

Menurut Hardly, pembahasan isu transgender atau juga LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) dalam program siaran telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Jenis pelanggaran itu dikategorikan sebagai pelanggaran atas ketentuan tentang penghormatan terhadap hak privasi, perlindungan anak, dan perlindungan kepada orang dengan identitas gender tertentu. 

Pasal yang dilanggar yakni Pasal 13, Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 15 Ayat (1) huruf b Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), dan Pasal 13 Ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 Ayat (1), serta Pasal 17 Ayat (2) huruf b Standar Program Siaran (SPS). 

“Aturan dalam P3 & SPS itu sudah jelas, baik tentang penghormatan terhadap nilai dan norma kesusilaan dan kesopanan, ataupun tentang perlindungan anak dan remaja yang melarang adanya muatan yang mendorong anak dan remaja belajar tentang perilaku tidak pantas dan/atau membenarkan perilaku tersebut. Berdasarkan pelanggaran tersebut, KPI Pusat memberikan sanksi administratif teguran tertulis,” kata Hardly. 

Hardly mengingatkan seluruh lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio, untuk tidak memberi ruang promosi LGBT melalui program siaran apapun. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.